Dalam beragama kesalehan seseorang tidak diukur dengan banyaknya simbol keagamaan yang melekat pada tubuh. Simbol berupa warna hitam pada jidat, jubah dan sorban yang panjang, cadar atau kerudung yang besar, celana yang cingkrang, semuanya bukan menjadi standar ketakwaan seseorang di hadapan Tuhannya.
Isa al-Masih ketika didatangi para sahabatnya yang mengenakan baju para agamawan pada masanya, yakni para rahib, tidak menyambutnya dengan gembira. Melainkan justru menegur sembari memberikan nasihat akan pentingnya mengelola batin dalam beragama.
Kepada para sahabatnya, Isa a.s berkata:
مَا لَكُمْ تَأْتُوْنِيْ وَعَلَيْكُمْ ثِيَابُ الرُّهْبَانِ وَقُلُوْبُكُمْ قُلُوْبُ الذِّئَابِ الضَّوَارِيْ اِلْبَسُوْا ثِيَابَ الْمُلُوْكِ وَأَمِيْتُوْا قُلُوْبَكُمْ بِالْخَشْيَةِ
“Kenapa kalian mendatangiku menggunakan pakaian biarawan, sementara hati kalian bagai hati serigala yang buas. Berpakaianlah seperti para raja dan matikanlah hati kalian dengan takut kepada Allah.” (Al-Ghazali, 2004: III, 452).
Bagi Al-Masih, menggunakan pakaian biarawan namun hati penuh dengan kesombongan (takabbur) atau sifat tercela lainnya sangat berbahaya, karena simbol-simbol tersebut hanya akan memperdaya khalayak yang melihatnya. Lebih baik mengenakan pakaian raja, yakni simbol kemewahan dan kesombongan, namun hati justru selalu tunduk dan takut kepada Allah (al-khasyyah).
Beragama dalam pandangan Al-Masih bukan dengan memamerkan aktivitas ritual di muka publik, melainkan berlaku baik, menolong sesama dan peduli terhadap orang-orang tertindas. Salah satu pesannya kepada para pengikutnya seperti dikutip Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) dalam karyanya, Az-Zuhd, yaitu beribadah tanpa orang lain tahu bahwa ia sedang atau telah beribadah.
Isa a.s berkata:
إِذَا كَانَ صَوْمُ أَحَدِكُمْ فَلْيَدْهِنْ لِحْيَتَهُ، وَلْيَمْسَحْ شَفَتَيْهِ؛ حَتَّى يَخْرُجَ إِلَى النَّاسِ يَقُولُونَ: لَيْسَ بِصَائِمٍ
“Jika kalian menjalankan puasa, maka minyakilah jenggotmu dan usaplah kedua bibirmu, hingga ketika engkau berjumpa dengan orang-orang maka mereka akan mengatakan bahwa engkau bukan orang yang sedang puasa.” (Ahmad bin Hanbal, 1999: 50).
Maksud dari pesan tersebut yaitu privatisasi ibadah. Bagi Isa, ritual ibadah bukan untuk dipamerkan, tapi dilakukan dalam ruang sunyi dan tersembunyi, yakni menjadi urusan personal dalam menjalin hubungan dengan Tuhan (munajat). Jika ibadah dilakukan dengan khusyu’, spiritualitas meningkat, maka lahiriah seseorang tergerak untuk menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Taat kepada Allah berarti memenuhi perintah-Nya dalam berinteraksi dengan makhluk-makhluk-Nya, yaitu berbuat baik (at-ta’amul ma’a an-nas bi akhlaqi al-hasanah).
Pesan Isa al-Masih di atas semakna dengan sabda Nabi Muhammad yang juga menekankan perlunya beragama dengan memperhatikan “isi”, bukan kulit. Nabi Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh dan bentuk kalian, tapi yang Allah lihat adalah hati kalian.” (HR. Muslim, No 2564).
Jadi, menjadi saleh bukan dengan berganti pakaian, atau pinjam istilah muslim perkotaan, “hijrah”; dari celana panjang ke celana cingkrang, dari batik “hijrah” ke jubah, dari bando ke cadar, tapi saleh adalah memenuhi hati dengan rasa takut kepada Allah atau al-khasyyah. Itulah pesan Isa Al-Masih dan Muhammad Saw.