Beberapa pekan terakhir, umat Islam di seluruh dunia sedang meradang karena ulah Emmanuel Macron, orang nomor satu di Prancis, yang menanggapi aksi terror terkait pembunuhan seorang guru sejarah di Paris. Macron menyatakan bahwa dunia Islam sedang dalam krisis. Tidak hanya itu, sikapnya untuk tetap membiarkan majalah Charlie Hebdo untuk menerbitkan kartun Nabi Muhammad dengan dalil “kebebasan berekspresi” pun turut menuai reaksi keras dari umat Islam, tidak terkecuali di Indonesia dengan jumlah muslimnya yang lebih dari 90 persen.
Beragam komentar terhadap Macron banyak dilontarkan oleh para pendakwah di Indonesia, tak terkecuali seorang Maaher At-Thuwailibi alias Soni Eranata. Di jagad media sosial, ia dikenal memiliki imej yang keras dalam berdakwah. Teriakan dan kata-kata sinis sangat lekat dengannya. Tidak heran jika kata-katanya kerap menyinggung berbagai pihak, contohnya seperti ketika ia menghina Gus Dur dan mengejek kepolisian Indonesia dengan monyet berseragam. Beberapa hari ini, ia menulis “fatwa” kontroversial di akun twitternya terkait dengan pernyataan Macron.
“Kata Si Babi Perancis, menghina Nabi Muhammad adalah bentuk ‘kebebasan ber-ekspresi’. Dalam perspektif fiqih islami, memenggal leher penista Nabi Muhammad juga merupakan bentuk Prestasi”, begitu cuitnya di Twitter.
Tentu, amarah umat Islam memang tidak bisa dihindari jika Nabi dan panutannya dihina. Namun, apakah memang harus seperti itu dalam mensikapi para pelaku penghinaan ini. KH. Yahya Cholil Tsaquf, tokoh dialog antar agama internasional, mengatakan bahwa menanggapi penghinaan terhadap Nabi secara brutal dan tanpa ilmu, apalagi dengan propaganda untuk membunuh terhadap pelaku penghinaan, merupakan tindakan biadab dan melampaui batas yang berpotensi memicu ketidakstabilan yang meluas.
Bukan hanya dalam cuitan Twitter, Maher at-Thuwailibi juga mengungkapkannya lewat video di kanal youtube, ia mendasari ucapan keharusan membunuh pelaku pencaci Nabi dengan kasus Ka’ab bin al-Asyraf, seorang tokoh dari Yahudi Bani al-Nadhir sekaligus seorang penyair berpengaruh saat itu yang seringkali menciptakan syair-syair yang mengandung celaan terhadap Nabi Muhammad.
Dalam ceramahnya, Maher at-Thuwailibi mengatakan bahwa Ka’ab bin al-Asyraf dipenggal kepalanya oleh sahabat Muhammad bin Maslamah atas restu Nabi karena sering mencela Nabi, Nabi bahkan memuji dan mendoakan Muhammad bin Maslamah ketika ia berhasil membawa kepala Ka’ab bin al-Asyraf di hadapan beliau.
Di sisi lain, Prof. Quraish Shihab, dengan menukil dari ‘Abbas Mahmud al-‘Aqqad dalam ‘Abqariyyat Muhammad, menulis bahwa kasus Ka’ab al-Asyraf itu tidak bisa dijadikan legitimasi untuk melakukan teror dan pembunuhan terhadap siapapun, lebih-lebih di masa damai. Salah satu sebabnya adalah kasus Ka’ab bin al-Asyraf yang beragam sehingga dia dibunuh, ia pernah mengkhianati Piagam Madinah hingga berkhianat dengan musuh dan mengajak untuk melakukan makar, alasan yang sepertinya lebih relevan untuk dilakukan pembunuhan karena berpotensi merugikan seluruh umat Islam di Madinah dibandingkan menghina Nabi yang sangat pemaaf.
Ya, Nabi memang sangat pemaaf. Tidak bisa dibayangkan apabila seluruh penghina Nabi, ketika beliau hidup, diharuskan untuk dibunuh. Pastinya akan banyak sekali mengingat pada saat itu banyak orang kafir yang menjelek-jelekkan Nabi yang bahkan diabadikan Allah dalam al-Qur’an, contohnya Nabi disebut sebagai orang gila atau majnun (QS. al-Hijr: 6), orang yang kena sihir (QS. al-Isra’: 47), dan orang yang mengada-ada (QS. an-Nahl: 101).
Lalu bagaimana Allah menyuruh kita bersikap? Al-Qur’an yang kita yakini sebagai kalamullah, tidak menganjurkan bagi siapapun, khususnya umat Islam, untuk membalas celaan terhadap Nabi Muhammad, apalagi untuk menghabisi nyawa pelakunya. Nabi Muhammad adalah kekasih yang paling dicintai Allah, harusnya jika memang demikian, sangat logis jika Allah memberi perintah untuk membalas siapapun yang menghina kekasihnya. Walaupun sangat mampu, tapi Allah tidak melakukannya. Kita tentu tahu bahwa cinta Allah kepada Muhammad jauh lebih besar daripada umat Islam mencintai Nabinya sendiri.
Bukankah itu menjadi sebuah pelajaran bagi kita, yang mengaku sebagai hamba Allah, bahwa manakah yang lebih baik, mempelajari hikmah al-Qur’an atau mengikuti hawa nafsu. Betul memang jika ada beberapa kejadian yang mengandung kekerasan dalam hadis-hadis Nabi yang biasa dijadikan dalil untuk hukum penodaan agama era sekarang, namun bagaimana bisa beberapa dalil kekerasan itu tampak menafikan banyak sekali ajaran-ajaran penuh rahmat yang bertebaran dalam ayat atau hadis lainnya?
Banyak hadis-hadis lain menerangkan bahwa Nabi itu adalah orang yang adil, yang pemalu, yang pemaaf, yang membalas keburukan dengan kebaikan, dan seterusnya. Bukankah itu pula akhlak yang diperintahkan Nabi sendiri untuk diikuti umatnya? Mengapa umat-umat sekarang justru cenderung memilih jalur kekerasan sebagai solusi terakhir, seperti yang dilakukan Maher at-Thuwailibi.
Apakah orang-orang seperti ini tidak takut akan wajah Islam yang semakin ke sini semakin dipandang sebagai agama kekerasan yang haus darah? Jangan-jangan justru Macron benar akan ucapannya bahwa Islam adalah agama yang sedang krisis karena berisi orang-orang semacam Maher at-Thuwailibi ini? Wallahu a’lam. Pertanyaan pertama sangat penting sebagai bahan kita mengevaluasi diri, Islam seperti apa yang akan kita bawa dan kita kenalkan terhadap dunia?
“Sekularisme ekstrem” Prancis yang tampak diterapkan Macron tentu harus dikritik karena sudah mengorbankan hati umat Islam atas kebebasan berekspresinya, namun di atas segalanya kita harus mengutamakan akal sehat dalam bertindak. Bukannya lalu membiarkan orang-orang yang melecehkan simbol-simbol agama, khususnya Islam, namun perlunya kita untuk cermat dalam mengestimasi dampak dari respons yang kita lakukan.
Bukankah sikap kita justru menimbulkan kerusuhan yang lebih besar? Bukankah pembunuhan terhadap pelaku penghinaan tidak akan memperparah sentimen Barat terhadap Islam?
Terkait akan kebijaksanaan dalam bersikap, al-Qur’an telah mengajarkan kita dalam QS. al-An’am: 108 dan 68 sebagai berikut:
وَاِذَا رَاَيْتَ الَّذِيْنَ يَخُوْضُوْنَ فِيْٓ اٰيٰتِنَا فَاَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتّٰى يَخُوْضُوْا فِيْ حَدِيْثٍ غَيْرِهٖۗ وَاِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطٰنُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرٰى مَعَ الْقَوْمِ الظّٰلِمِيْنَ
Apabila engkau (Muhammad) melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka hingga mereka beralih ke pembicaraan lain. Dan jika setan benar-benar menjadikan engkau lupa (akan larangan ini), setelah ingat kembali janganlah engkau duduk bersama orang-orang yang zalim. (QS al-An’am: 68)
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًاۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْۖ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. (Qs al-An’am: 108)
Intisari kedua ayat tersebut adalah bahwa jika ada sekelompok orang yang mengolok-olok ayat-ayat Allah, maka tinggalkanlah mereka hingga mereka berhenti membahas itu, karena jika kita membalasnya, mereka akan melakukan balas mencela hingga melampaui batas tanpa dasar ilmu. Dengan kata lain, kita tidak bisa memperkirakan secara persis kekacauan yang akan terjadi akibat saling balas membalas kekerasan. Sampai kapan kita akan berputar dalam konflik semacam ini kalau kita terus ngotot seperti Maher at-Thuwailibi?
Dalam kedua ayat ini, Allah bukan bermaksud membiarkan para penghina-Nya. Al-Qur’an mengajarkan kita untuk bertindak sebagai peace maker, pihak yang menginisiasi perdamaian. Bukankah seperti itu seharusnya Muslim bersikap?
Wallahu a’lam bisshawab.