Ketua Lakpesdam PWNU DIY, Hairus Salim, mengatakan bahwa penanganan krisis spiritual, krisis sosial, dan krisis lingkungan/alam memerlukan koordinasi antar pembuat regulasi dan kebijakan tentang lingkungan hidup, termasuk pemuka-pemuka agama.
Hal itu dia utarakan dalam Forum R20 bertajuk “Simposium Dialog Lintas Iman” di University Hotel UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Diskusi bertema “Mencari Jawaban Agama atas Krisis Alam” ini dilaksanakan selama dua hari, yaitu 18 dan 19 Februari 2023.
“Masalah lingkungan ini, selain harus diatasi bersama, kita harus bersikap kritis terhadap arah pembangunan dan bentuk-bentuk kebijakan yang selama ini dibuat oleh negara. Kegembiraan kita dari hasil eksploitasi alam itu sebenarnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan penderitaan yang kita harus tanggung, baik karena sumber daya itu semakin terbatas juga karena dampak-dampaknya yang sangat luas,” paparnya di depan perwakilan agama Hindu, Buddha, Konghucu, Penghayat Sapta Darma, Ahmadiyah, Syiah, Kristen, Protestan, dan komunitas-komunitas lintas agama lainnya.
Para tokoh perwakilan agama yang hadir di Forum R20 berdiskusi dan merumuskan jawaban-jawaban atas krisis iklim yang menjadi perbincangan dunia hingga saat ini.
Mart Widarto, penanggungjawab forum diskusi, mengatakan bahwa momen ini menjadi pertemuan yang diharapkan menjadi baik ke depannya. Ini adalah pertemuan yang menyatukan hati untuk menjawab krisis iklim, khususnya yang ada di DIY dan Jawa Tengah.
“Salah satu isu utama yang dibahas dalam forum adalah bagaimana tokoh-tokoh lintas agama akhirnya tidak hanya bicara soal kutipan ayat lalu disampaikan dan selesai, tetapi memastikan amalan umat beragama sudah mengarah pada proses-proses merespon krisis iklim yang terjadi,” tutur Mart.
Forum R20 diproyeksikan menjadi semacam laboratorium kegiatan bagi teman-teman organisasi kemanusiaan berbasis agama dan kepercayaan dalam hal kemanusiaan dan adaptasi perubahan iklim.
Salah satu resolusinya, tokoh-tokoh lintas agama membuat deklarasi bersama yang dibacakan di Sungai Gajah Wong Yogyakarta pada hari Minggu, 20 Februari 2023.
Deklarasi itu bernama “Deklarasi Gajah Wong”. Ini menjadi poin penting dari tonggak awal kerja lintas agama ini.
Banu Subagyo, Ketua Badan Pengarah Jakomkris PBI (Jejaring Komunitas Kristen Untuk Penanggulangan Bencana di Indonesia), mengatakan bahwa forum tersebut juga membincang pengalaman-pengalaman di lapangan soal praktik-praktik intoleransi, terutama saat situasi bencana.
“Kode etik kemanusiaan telah menegaskan bahwa mereka akan bekerja mendahulukan siapa yang paling menderita, tidak memandang pada agama, suku, maupun golongan. Krisis iklim dan bencana seringkali menjadi pemicu lahirnya tindakan-tindakan intoleran. Oleh karena itu, dalam forum ini, para pemuka agama dan kepercayaan mendorong umat beragama untuk bersama-sama melakukan tindakan nyata yang toleran,” tegas Banu.
Senada dengan Banu, David Efendi, perwakilan dari Muhammadiyah DIY, memuji prakarsa yang diselenggarakan oleh PWNU DIY tersebut.
Menurut David, ajakan teman-teman NU serta tokoh-tokoh lintas agama dan kepercayaan melahirkan komitmen yang sangat bagus untuk mengingatkan siapa saja yang menjadi bagian dari afiliasi kita, terutama yang diamanahi sebagai pejabat publik dan sebagai pimpinan dari masing-masing daerah, bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil baik politik maupun ekonomi, harus senantiasa memperhitungkan kelestarian alam.
“Beberapa dekade terakhir, pembangunan menjadi agenda yang sangat elitis berbasis investor dan korporasi. Forum ini menjadi momen pengingat bagi siapapun yang percaya bahwa menjaga planet bumi adalah tugas dan kewajiban umat beragama di seluruh dunia,” terang dosen Prodi Ilmu Pemerintahan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tersebut.
Pendeta Kristiono, peserta diskusi perwakilan agama Kristen, menyampaikan bahwa kita perlu melakukan pertobatan ekologis dan segera menjadi agen perubahan untuk melakukan langkah-langkah konkret demi kelanjutan kita untuk melanjutkan pengelolaan dan perawatan alam semesta dengan semboyan “memayu hayuning bawono” (memperindah keindahan dunia).
Sebagai upaya mewujudkan langkah konkret untuk mencegah percepatan krisis iklim, faith-based organization telah bersepakat merumuskan beberapa kegiatan bersama.
Salah satunya adalah pengelolaan sampah di Yogyakarta. Beberapa tokoh agama sepakat untuk membuat gerakan olah sampah, di mana ini berhubungan dengan amalan umat beragama yang dikerjakan dalam laboratorium bersama ini.
“Kenapa sampah sih pilihannya? Karena beberapa teman-teman menganggap bahwa sampah, apalagi sampah makanan, menjadi penyumbang atas pemanasan global yang cukup tinggi sehingga teman-teman ada yang membuat ide bagaimana memproduksi eco-enzym dan mengelola sampah organik selesai di lingkup keluarga,” terang Mart Widarto.