Korban Kekerasan Seksual Sulit Mendapatkan Haknya, Mana Suara Ulama?

Korban Kekerasan Seksual Sulit Mendapatkan Haknya, Mana Suara Ulama?

Korban Kekerasan Seksual Sulit Mendapatkan Haknya, Mana Suara Ulama?
Foto: Suara.com

Insiden memalukan terjadi di salah satu kampus terbaik nasional, Universitas Gadjah Mada (UGM). Kasus kekerasan seksual yang menimpa Agni (nama samaran), seorang mahasiswi UGM, diselesaikan lewat jalan damai dan mengabaikan keadilan dengan menghindari jalur hukum. UGM diketahui menangani kasus ini dengan lambat dan berusaha menyembunyikannya demi “menjaga nama baik institusi”. Ironisnya, tindakan ini malah menimbulkan kegegeran di kalangan publik.

Di waktu yang hampir bersamaan, kasus kekerasan seksual juga menimpa seorang staf BPJS Ketenagakerjaan berinisial RA yang menjadi korban atasannya, seorang petinggi institusi tersebut. Seperti dialami Agni, korban juga mesti menghadapi jalan terjal ketika mengadukan kasus ini ke lembaga berwenang di BPJS Ketenagakerjaan.

Dari Mataram, NTB, mengemuka nama Baiq Nuril, seorang guru yang dilecehkan berulang kali oleh atasannya. Rekaman suara peristiwa pelecehan tersebut tanpa sepengetahuannya disebar oleh seorang rekan dan berujung menjadi kasus hukum, yang justru malah menjerat Baiq Nuril yang sejatinya seorang korban.

Mengetahui kasus-kasus tersebut, publik menyampaikan kritik terhadap penerapan hukum lewat berbagai cara. Mulai dari yang serius, sampai dengan gaya jenaka khas netizen Indonesia. Para pegiat sosial angkat suara, begitu juga berbagai organisasi sosial terkait. Berbagai media massa memberitakan kasus ini secara gamblang dan intens. Yang kurang terdengar adalah suara dari kelompok ulama.

Sikap diam para ulama terhadap berbagai kasus kekerasan seksual seperti menjadi budaya yang wajar di Indonesia. Seolah perkara agama cuma berurusan dengan lomba maraton ke surga, tidak ada kaitannya dengan persoalan sosial yang konkret dan serius seperti kekerasan seksual. Ironisnya, para ulama cenderung percaya bahwa doktrin agama punya jawaban terhadap semua persoalan kehidupan, mulai dari yang pribadi sampai sosial.

Komnas Perempuan mencatat 4.475 kasus kekerasan seksual yang terjadi sepanjang 2014. Di tahun 2015 tercatat 6.499 kasus, disusul 5.785 kasus pada tahun 2016. Sementara pada tahun 2017 tercatat 2.979 kasus. Jumlah tersebut diperkirakan hanya sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya terjadi. Di setiap kasus pada umumnya terulang cerita serupa, tentang sulitnya korban kekerasan seksual memperjuangkan haknya di depan hukum. Belum lagi tekanan masyarakat yang cenderung menyudutkan korban. Dengan kata lain, kasus Agni, RA dan Baiq Nuril hanyalah secuil sampel dari gunung es kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual adalah persoalan sosial yang serius.

Dalam budaya patriarki yang akut seperti di Indonesia, pelecehan seksual kepada perempuan bahkan bisa dimaklumi dan dianggap sebagai hak prerogatif laki-laki. Siulan, godaan, candaan sensual, sampai menyentuh, bisa dilakukan di ruang publik di luar kemauan korban dan dianggap wajar. Bahkan korban tindakan kekerasan seksual berat seperti perkosaan pun justru sering jadi pihak yang disalahkan.

Yang lebih menyedihkan, asumsi-asumsi keagamaan sering dijadikan perangkat untuk memaklumi praktik pelecehan dan kekerasan seksual. Mulai dari dalil superioritas laki-laki atas perempuan, sampai dalil kebolehan laki-laki memiliki empat istri.

Di tengah kondisi tersebut, seberapa sering kita mendengar isu kekerasan seksual menjadi bagian dari topik khutbah keagamaan? Seberapa jauh komitmen kelompok ulama untuk memahami persoalan secara menyeluruh dan terlibat dalam upaya menyelesaikan dan mencegahnya? Upaya yang terlihat sampai saat ini masih minim meski bukan tidak ada.

Di antara yang sedikit, ada sosok ulama asal Cirebon K.H. Husein Muhammad, yang dikenal punya kepedulian tinggi terhadap persoalan-persoalan sosial perempuan. Selain menuangkan gagasannya dalam buku Fiqh Perempuan, ia juga terlibat langsung dalam persoalan perempuan lewat organisasi Rahima dan sempat menjadi komisioner Komnas Perempuan selama dua periode. Sepak-terjangnya membuatnya dijuluki sebagai “Kiai Feminis”.

Sementara kalangan ulama perempuan menunjukkan gebrakan lewat Kongres Ulama Perempuan (KUPI) pertama yang digelar pada 2017 lalu. Lewat forum yang dimotori Nyai Badriyah Fayumi ini, ratusan ulama perempuan mengeluarkan fatwa yang mengharamkan kekerasan seksual dan mewajibkan semua pihak untuk melakukan pencegahan dan penanganan.

Mengingat pentingnya posisi agama dalam persepsi masyarakat Indonesia, kita memerlukan lebih banyak suara-suara sejenis dari kalangan ulama. Jika selama ini ulama kerap mendapat tempat spesial di kalangan masyarakat, giliran masyarakat menagih komitmen ulama dalam persoalan-persoalan sosial konkret seperti kekerasan seksual.

Selengkapnya, klik di sini