“The Santri”, film besutan sineas muda Livi Zheng bekerjasama dengan PBNU, sejatinya tayang pun belum. Tetapi trailer filmnya yang sudah dipublish di kanal youtube NU Channel sudah mengakibatkan reaksi pro kontra yang meramaikan jagat dunia maya.
Pesan utama film ini sebenarnya bagus. Sangat bagus. Ia hendak menggambarkan bahwa santri bisa mewujudkan impiannya, apapun impian tersebut asalkan positif. Maka keluarlah tagline “Sutradara Livi Zheng angkat santri Indonesia sampai AS”. Dalam trailer tersebut kita bisa mengintip sedikit adegan ketika pemeran santri putri, Wirda Mansur yang berhasil mewujudkan mimpinya pergi ke negeri Paman Sam. Meski saya masih belum tahu juga, dia ke sana mau ngapain.
Pesan bagus kedua ialah menggambarkan betapa santri memiliki peran yang sangat besar dalam menjaga toleransi dan kerukunan antar umat beragama di Indonesia ini. Ya meskipun adegan yang ditampilkan agak lebay. Dua orang santri putri nampak membawa tumpeng masuk gereja, mempersembahkannya pada para pemuka non-muslim, entah itu dalam konteks acara apa, saya kurang paham. Saya katakan lebay karena setahu saya memang santri tidak masalah bergaul dengan non-muslim, tapi ya nggak sampai masuk ke tempat peribadatan mereka juga. Paling Cuma main ke rumahnya, bergaul di ruang publik seperti sekolah dan sebagainya. Belum pernah juga saya liat tiba-tiba ada non-muslim yang “literally” masuk ke dalam masjid. Paling mentok ya Cuma di serambinya doang. Lagian masuk mau ngapain?
Adegan masuk gereja dan adegan saling bertatapan serta bertemu di tempat sepi antara santri putri dan santri putra, dua hal itulah yang kemudian menjadi kontroversi. Sudah ada beberapa tokoh publik yang membahasnya. Satu di antaranya ialah menantu Habib Rizieq Shihab, Imam Besar FPI, yakni Hanif Alathas, yang mengatasnamakan diri sebagai Ketua Forum Santri Indonesia (FSI), ia menyatakan boikot terhadap film “The Santri”.
Komentar yang paling panas sepertinya dipaparkan oleh Ustadz Maher At-Thuwailibi. Lewat akun instagramnya, ia bahkan menyebut “The Santri” sebagai “The ******”, kawan-kawan liat sendiri lah di akun instagram beliau, pokoknya komentarnya negatif, kiranya tak perlu saya ceritakan ulang di sini. Ustadz Maher yang terkenal karena sering mengeluarkan sumpah serapah lewat videonya, khususnya ketika masa Pilpres kemarin mengalamatkan postingan tersebut kepada Ustadz Yusuf Mansur yang ia sebut sebagai “kawan yang tersesat”. Ustadz Yusuf Mansur yang notabene adalah ayah dari Wirda Mansur diingatkan oleh Ustadz Maher akan ceramahnya dulu yang pernah mengharamkan pacaran dan meniadakan istilah “pacaran islami”.
Perang komentar pun terjadi. Postingan Ustadz Maher yang terasa keras kemudian dibalas oleh Ustadz Yusuf Mansur dengan pernyataan meminta doa. Permintaan doa tersebut lantas diaminkan oleh Ustadz Maher sambil menegaskan semoga permintaan doanya bukan playing victim.
Intinya adalah, terjadi saling balas komentar antara dua orang ustadz di ruang publik dengan kata-kata yang cukup kasar, yang bisa disaksikan oleh umat secara keseluruhan. Syaratnya cuma satu agar umat bisa mengetahui perdebatan itu. Punya kuota untuk stalking di media sosial.
Apakah bijak berdebat di ruang publik lebih-lebih jika itu dilakukan oleh dua orang ustadz, sebuah profesi yang semestinya diharapkan oleh banyak orang menjadi pihak yang meneguhkan sebagaimana prinsip dasar islam yang menjadi rahmatan lil alamin?
Terkait ruang publik, secara ideal, Habermas mengkonsepkan ruang publik sebagai suatu realitas kehidupan sosial yang didalamnya terdapat suatu proses pertukaran informasi dan berbagai pandangan berkenaan dengan pokok persoalan hingga tercipta pendapat umum.
Tetapi sekali lagi, itu adalah konsep idealnya. Realitanya seringkali ruang publik justru dijadikan sebagai ruang debat terbuka dengan bumbu kata-kata kasar yang tidak mengenakkan bagi nurani sehat untuk membacanya. Alih-alih yang tercipta adalah pendapat umum, yang hadir malah meruncingnya konflik yang selama ini bisa dicegah terjadinya.
Tapi tak mengapalah, biarkan dua orang ustadz itu saling balas komentar. Toh saya yakin umat di Indonesia ini sudah pandai. Lain soal kalau yang berdebat adalah ulama. Bisa-bisa jadi fitnah buat umat. Eh tapi, apakah ustadz juga termasuk ulama?