Kontestasi Simbol Hagia Sophia dan Pengukuhan Erdoganisme di Turki

Kontestasi Simbol Hagia Sophia dan Pengukuhan Erdoganisme di Turki

Ataturk berhasil menjadikan Hagia Sophia museum. Erdogan berhasil mengembalikannya menjadi masjid. Sekularisme dan Islam di Turki sudah impas dan terbayar “lunas”.

Kontestasi Simbol Hagia Sophia dan Pengukuhan Erdoganisme di Turki
Presiden Erdogan telah mencabut status Hagia Sophia sebagai museum. Mengembalikannya menjadi masjid.

Turki adalah negara dengan simbol-simbol yang kentara: bendera negara yang menjadi “totem modern”, foto Ataturk (pendiri republik) yang kekal, masjid-masjid, dan lambang-lambang yang menandaskan spirit nasional(isme). Romantisme terhadap simbol ini pun sekaligus meringkus kesadaran rakyat Turki itu sendiri, yang tidak boleh tidak telah melahirkan fanatisme pada ranah nasionalisme, sekulerisme, agama, maupun ideologi-ideologi lainnya. Bahkan, sikap ekstrim dan berlebihan (aşırı) terhadap beragam simbol yang menyimpan pengerasan identitas begitu sangat gamblang dijumpai di seantero Turki.

Salah satu kontestasi simbol terbaru dan menarik adalah pencabutan identitas museum untuk Hagia Sophia di Istanbul. Keputusan pengadilan tinggi Turki untuk mengembalikan Hagia Sophia menjadi masjid sudah diketuk palu, dan langkah hukum ini berarti sekaligus mencabut keputusan sebelumnya bernomor 2/1589, 24/11/1934. Keputusan pengembalian identitas masjid untuk Hagia Sophia sangat menarik dicermati, yang bagi saya, menjadi bagian dari pengukuhan (simbolisme) Erdoganisme.

Erdoganisme

Istilah Erdoganisme sebenarnya sudah cukup akrab dalam kajian politik dan pemerintahan. Erdoganisme muncul medio 2014 khususnya setelah perhelatan pemilihan presiden secara langsung pertama dalam sejarah Republik Turki, yaitu pada 10 Agustus 2014. Pemilu presiden saat itu, seperti dilaporkan Harian Sabah, dimenangkan oleh Erdogan dengan meraih suara mayoritas dengan jumlah 51,79%, mengalahkan dua seterunya yaitu Ekmeleddin Ihsanoğlu dari kelompok sekuler dan Selahattin Demirtaş dari komunitas Kurdi.

Sejak tahun itu, sebutan-sebutan yang menglorifikasikan Erdogan seperti tek adam (the only man) dan reis (pemimpin) yang menegaskan tentang kekuatan posisi dirinya di pentas nasional sudah muncul. Sebutan tek adam berkelit kelindan dengan tuduhan diktator, seperti dilaporkan dalam Sputnik News.

Dalam kolomnya di harian Cumhuriyet berjudul Erdoğanizm Türkiyesi (Turkinya Erdoganisme, 10 Juli 2018), Ahmet İnsel mengakui bahwa istilah Erdoganisme tidak bisa dipastikan kapan pertama kali dipakai,  tetapi sebutan tersebut digunakan setelah pemilu presiden 10 Agustus 2014. Dengan menyaring persepsi dari gelombang massa, İnsel menyebutkan bahwa pengertian yang berkembang di balik gelombang Erdoganisme adalah serupa dukungan kepada presiden Erdogan dengan nilai-nilai yang sudah diperjuangkannya seperti dindar (religius), muhafazakâr (konservatif), milliyetçi (nasionalis) dan sadık (loyal). Sebagai wartawan, İnsel secara seksama mengamati konsep-konsep yang sudah terbangun di balik Erdoğanisme dan menemukan tiga prinsip, yaitu muhafazakâr, milliyetçi dan dinî kimliği (identitas agama).

Sementara di kancah internasional, fenomena Erdogan telah diangkat sebagai topik khusus dengan beragam sebutan dan perspektif: majalah Time menurunkan laporan khusus berjudul Erdogan’s Way (28 November 2011), The Economist dengan judul Erdogan’s New Sultanate (6 Februari 2016) dan media-media internasional lainnya. Kehadiran mereka dalam diskursus kajian ketokohan—dengan para ahli dan peneliti yang berperan besar di dalamnya—mampu menelisik aspek-aspek penting yang telah menjadi kunci gerakan Erdogan yang menguasai Turki sejak 2003.

Erdogan telah sempurna menjadi tokoh terkuat Turki setelah Ataturk dengan beragam narasi yang berkembang di internal Turki maupun di pentas internasional. Statemen terbuka dari mantan Secretary General NATO ke-12 Anders Fogh Rasmussen pada acara simposium di Universitas Hasan Kalyoncu, Gaziantep, 19-20 Desember 2014, bahwa Erdoğan, Atatürk’ten sonraki en güçlü lider (Erdogan adalah pemimpin paling kuat setelah Ataturk) telah menambah legitimasi ketokohan Erdogan di publik internasional (Sujibto, 2019).

Ataturk vs Erdogan

Hari-hari ini, jika kita mencermati ruangan di banyak kantor pemerintahan Turki sebelum dan sesudah Erdogan menjadi presiden, ada suatu yang berubah dan sebenarnya cukup kentara: yaitu penambahan foto diri Recep Tayyip Erdogan. Saya tidak menahu dengan pasti kapan pigura dengan foto Erdogan mulai ditempel sejajar dengan foto Ataturk dan apakah ada aturan untuk kantor apa saja yang boleh/tidak boleh memasangnya. Yang pasti, setelah sistem negara Turki resmi berubah dari parlementer ke presidensial pada 2017 dan kemudian mengukuhkan Erdogan menjadi presiden ekskutif pada pemilu 2018, foto Erdogan sudah mulai mudah dijumpai di kantor-kantor pemerintahan Turki.

Simbol dua tokoh yang berbeda ideologi tetapi sama-sama mempunyai kekuatan esktra untuk Turki bersanding! Kedua nama besar ini sudah sangat muskil terhapus dari belantara politik dan ingatan rakyak Turki ke depan. Ataturk tetap menyala sebagai Bapak Republik yang sekaligus menjadi pahlawan bagi rakyat Turki, sementara Erdogan akan terus tumbuh sebagai tokoh kebesaran yang mampu membangun Turki semakin maju dan disegani.

Menjadi museum tahun 1934, Hagia Sophia adalah produk politik sekuler yang oleh banyak kalangan disebut sebagai simbol bagi proses sekulerisasi Turki. Kala itu, tokoh kuat yang menggawangi proses modernisasi dan westernisasi Turki adalah Mustafa Kemal Ataturk, di mana selain menyulap Hagia Sophia menjadi museum, Bapak Republik ini juga membekukan beberapa pendidikan madrasah di beberapa daerah di Turki.

Kala itu, dalam kenangan dan memori orang-orang Turki berhaluan ideologi kanan dan mereka yang secara khusus menolak sekularisme, ada sebuah upaya sistemik “menjauhkan” masyarakat Turki dari Islam dan segala identitas berbau Arab khususnya. Kala itu, identitas-identitas ke-Anatolia-an diteroka dengan sejernih mungkin dan sekaligus diintrodusir secara masif ke tengah masyarakat. Kala itu, wajah Turki “menghadap” ke Barat.

Peresmian Hagia Sophia menjadi masjid pada tanggal 10 Juli 2020 adalah produk politik Islamis yang oleh banyak kalangan ditengarai sebagai kebangkitan Islam. Jika bersepakat dengan pandangan bahwa pemuseuman Hagia Sophia adalah penegasan identitas proses sekularisasi, pengembalian ke masjid adalah kontestasi kasatmata dari kelompok Islamis. Tokoh kuat di balik keputusan ini, dengan tetap melalui jalur hukum resmi, adalah Erdogan. Ke depan, khususnya bagi generasi muda penerus Turki, keputusan terhadap Hagia Sophia akan terus merefleksikan nama satu tokoh, yaitu Erdogan, seperti halnya museum Hagia Sophia yang selama bertahun-tahun memantulkan nama besar Ataturk.

Pendek kata, jika Ataturk berhasil menjadikan Hagia Sophia museum, Erdogan juga sudah berhasil mengembalikannya menjadi masjid. Jika simbolisme ini kita pasang berhadap-hadapan, sekularisme dan Islam sudah impas dan terbayar “lunas”. Tetapi apakah keputusan itu selesai di sini? Tentu saja tidak. Teramat besar ongkos yang harus dibayar oleh pemerintah dan rakyat Turki, dari aspek politik, ekonomi, dan relasi kemanusiaan umat beragama (Islam-Kristen).

Selain aspek simbol dan patron, tentu saja ada banyak perspektif yang bisa dipakai untuk menganalisis Hagia Sophia. Perdebatan dan pembahasan tentangnya secara terbuka terus berlangsung baik di Turki maupun dunia internasional yang menegaskan betapa urgen situs yang direbut oleh Sultan Fatih pada 1453 itu.

Akhirnya, saya meninjau dengan yakin bahwa Erdoganisme semakin kukuh dengan ikhtiar politik berupa keputusan terhadap Hagia Sophia. Sebagai magnet besar bagi dua agama, bekas katedral ortodoks bernama Latin Sancta yang dibangun tahun 537 di bawah kekuasaan Justinian ini bisa dibaca sebagai kontestasi simbol yang dinamis dan juga menentukan arah politik Turki ke depan, baik dengan Erdogan. [rf]