Saat ini memasuki era 4.0 di mana ruang publik semakin melebar, interaksi sosial offline dan online, ditandai dengan dunia maya dan medsos yang sangat pesat, kita menjumpai pendapat-pendapat dan fatwa-fatwa dari orang-orang bodoh yang tidak memiliki kapasitas keilmuan Islam. Inilah yang disebut dengan ‘matinya kepakaran’. Fatwa-fatwa dari orang-orang bodoh tersebut dampak dari jargon Islam tanpa mazhab yang digulirkan Wahabi, dengan menafsirkan dan berpendapat sesuai dengan keterbatasan akal dan pengetahuannya yang dangkal. Boleh dikata, Islam tanpa mazhab ala Wahabi itulah yang ‘membunuh kepakaran’ jauh sebelum era matinya kepakaran.
Mungkin matinya kepakaran itu muncul lantaran media sosial dan dunia maya memberi panggung bebas tanpa batas bagi siapa saja yang ingin berpendapat, berkata, dan berekspresi apapun, sehingga baik pakar atau tidak atau bahkan orang bodoh sekalipun bisa berkata dan berpendapat apa saja. Wahabi mengafirmasi dan mengokohkan matinya kepakaran, lantaran pandangan Islam tanpa mazhabnya itulah yang membunuh kepakaran.
Sebab, dengan tanpa mazhab dan tanpa modal khazanah klasik Islam, setiap orang berpendapat dan berfatwa menurut akal dan pandangan pribadinya yang dangkal, tendensius, dan sulit lepas dari bias kepentingan atau kecenderungan politik pribadinya. Hadratus Syekh menyatakan bahwa adalah wajib taqlid bagi orang yang tidak memiliki kapasitas ijtihad.Allah SWT berfirman “maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. An-Nahl: 43). Taqlid merupakan sikap apresiasi dan pengakuan terhadap kepakaran dan keilmuan seseorang. Taqlid juga sikap tawadhu’ (rendah hati) dan kejujuran ilmiyah dengan merujuk pendapat-pendapat para ulama serta melihat perdebatan akademik yang terjadi di kalangan para ulama.
Setiap bidang ada pakarnya. Persoalan agama pun ada pakarnya. Tak sembarangan dan tak semua orang bisa berfatwa dan berpendapat atasnama agama. Hanya pakar yang memiliki kapasitas keilmuan Islam yang berhak berpendapat dan mengeluarkan fatwa. Di saat Wahabi sedang mengajak umat Islam ‘membunuh kepakaran’ dengan kampanye anti madzhab dan nihilisme khazanah klasik, Handratussyekh justru melakukan counter narasi sebagai arus balik dengan mengajak umat Islam untuk menghargai dan menghormati kepakaran dengan cara bertanya dan mengikuti pendapat pakar keislaman yang kapabel dan kredibel dalam menyampaikan pendapat atau fatwanya.
Hal ini selaras perkataan Imam al-Juwaini dalam kitab ushul fikih al-Waraqat, bahwa:
“Di antara syarat mufti (seorang yang berhak mengeluarkan fatwa) adalah seorang mujtahid, yakni seorang yang mengetahui seluruh pengetahuan fikih: pokok-pokoknya fikih (ushul), cabang-cabangnya (furu’), khilafiyah (perbedaan pendapat para ulama), dan madzhab; Mufti disyaratkan seorang yang menguasai piranti-piranti ijtihad secara kamil (komprehensif) dan memahami sesuatu yang dibutuhkan dalam penggalian hukum syariat (istinbath al-ahkam), yaitu memahami nahwu (gramatika Arab), pengetahuan bahasa, mengetahui para perawi hadits agar mengambil riwayat yang diterima dan bukan riwayat dari perawi yang cacat alias ditolak (al-marjuh); Mufti harus mengetahui tafsir ayat-ayat yang menjelaskan tentang hukum-hukum syariat dan mengetahui hadits-hadits yang menjelaskan tentang hukum-hukum syariat..”
Pandangan-pandangan yang intoleran dan ekstrim yang mengarah kepada terorisme pun tersedia di internet. Tidak sedikit para teroris bermula dari bacaan-bacaan keagamaan berpaham intoleran dan ekstrim yang terdapat di internet. Bahkan merakit bom hasil belajar di internet. Hal ini menurut saya, selain faktor yang kompleks, terdapat ketidakpastian bagi umat muslim yang tanpa madzhab dalam memilih dan memilah bahan bacaan. Sedangkan bagi umat muslim yang bermadzhab memiliki filter berupa kitab-kitab yang bisa dirujuk, rumusan keagamaan yang outoritatif, seperti hasil bahtsul masail di kalangan NU, dan sejumlah ulama atau kiyai yang dihormati yang bisa diambil pendapatnya.
Kencerungan moderat muslim Nusantara—yang disebut Hadratussyekh dengan muslimu al-aqthari al-Jawiyah—dibangun sejak lama berdasarkan madzhab yang berkembang yang dalam sejarahnya memang terlahir sebagai arus moderasi di antara madzhab-madzhab yang ada. Dalam fikih bermadzhab Syafii, sebuah madzhab yang moderat dan berusaha sebagai arus tengah antara ahli al-hadits Imam Malik di Madinah dan ahli al-rayi (rasional) Imam Abu Hanifah di Irak; dalam teologi mengikuti Abu Hasan al-Asy’ari yang moderat di antara Qadariyah/Muktazilah dan Jabariyah serta menggabungkan dalil naqliy (tekstual) dan dalil ‘aqliy (rasional); dalam tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali, Abu Hasan al-Syadzili yang moderat dengan mensinergikan antara syariat dan tasawuf. Kecenderungan moderat inilah yang menjadikan muslim Nusantara tidak support terhadap pemahaman yang ekstrim.
Bermadzhab pun dalam pengertian luas juga ber-manhaj. Sebab setiap madzhab memiliki manhaj (metodologi) dalam menggali hukum syariat dan merumuskan sikap keagamaan terdapat dalam kitab ushul fikih, maqashid al-syariah, qawa’id al-fiqhiyyah, dan al-mashalih al-mursalah. Sehingga bermazhab menjadikan seseorang dalam beragama berlandaskan nalar metodologis dan tidak ngawur.
Bersambung