Pembatasan media sosial beberapa hari lalu menjadi kritik oleh sejumlah aktivis sosial. Selain dianggap mengekang kebebasan berekspresi, pemerintah dianggap tidak mampu mengelola demokrasi dalam masyarakat. Dengan begini, bagi mereka, pemerintah memiliki watak ke arah otoriter. Selain itu, penangkapan sejumlah orang yang dianggap ingin melakukan makar, juga dianggap bagian dari tindakan illiberalisme; melakukan tindakan dan kebijakan di luar nilai-nilai prosedural demokrasi sebagai bagian nilai liberalisme dalam demokrasi. Ini karena, Jokowi dianggap telah mengekang orang untuk berpendapat dan menyatakan hak individunya untuk bersuara.
Tindakan ini membuat pemerintah Jokowi oleh beberapa akademisi nasional dan internasional dianggap sebagai rejim yang mengarah otoriter, menciderai spirit kebebasan dalam elan demokrasi. Di sisi lain, situasi semacam itu juga dieksploitasi habis-habisan oleh kubu 02 terkait dengan dua stereotip tersebut. Stereotip ini tentu tidak salah, meskipun sesungguhnya tidak tepat juga. Ada tiga alasan mengapa tidak tepat. Di sini, menjelaskan tiga faktor untuk menjelaskan konteks yang hilang dalam tuduhan tersebut menjadi penting.
Pertama, propaganda hoaks dan watak media sosial. Harus diakui, meskipun ada UU ITE, sampai sekarang kita belum memiliki mekanisme bagaimana melakukan pencegahan terhadap hoaks secara efektif.
Dalam platform terbuka seperti YouTube, Facebook, Twitter, dan Instagram, memutus mata rantai hoaks sangat mudah dan pelakunya lekas bisa dicari. Tapi, ini tidak mudah untuk WhatsApp yang sifatnya semi privat dan tertutup. Setiap hoaks yang muncul dalam WhatsApp sangat sulit untuk diklarifikasi kecuali dalam anggota grup WhatsApp sendiri. Di sisi lain, orang seringkali juga mencari aman sehingga lebih baik diam.
Akibatnya, propaganda dan hoaks bisa berkecambah dan beranak pinak. Yang terdampak bukan hanya orang yang berpendidikan rendah, melainkan mereka yang sudah sampai level S3 dan bahkan di bidang humaniora yang seharusnya memiliki tindakan mekanisme proteksi hoaks dengan analisis keilmuan yang dimilikinya. Bisa dibayangkan kalau kerusuhan kemarin tidak ada pembatasan media sosial, dampak destruktifnya akan jauh lebih massif. Ini karena, narasi yang digunakannya memakai bahasa agama yang sangat memudahkan untuk mengamflipikasi menjadi kemarahan yang berlipat ganda. Tujuan ini yang sebenarnya diinginkan oleh dalang di balik kerusuhan tersebut agar terjadi seperti peristiwa Mei 1998.
Kedua, kantong algoritma. Sistem ini sebenarnya digunakan dalam internet dalam mekanisme marketing. Orang yang sering melihat sebuah barang, akan disuguhkan oleh barang-barang yang terkait dengan hal itu. Begitu juga makanan dan tempat wisata. Nah, dalam isu politik, kantong algoritma ini juga berlaku. Pendukung 01 mau tidak mau akan menerima informasi yang sesuai dengan keinginannya saja yang disuguhkan oleh mesin algoritma. Begitu juga sebaliknya.
Akibatnya, mekanisme ini tidak hanya membelah masyarakat menjadi cebong dan kampret, melainkan juga konsumsi kita mengenai kebenaran. Kata curang yang diungkapkan oleh kubu Prabowo dan tim pendukungnya, meskipun tidak memiliki bukti kuat sedikit pun, itu benar-benar dianggap sebagai sebuah kebenaran bagi para pendukungnya. Terlepas apakah itu ada keganjilan rasionalitas penjelasan yang dibangun sekalipun untuk menjelaskan.
Ketiga, demokrasi dan egaliter. Pasca rejim Orde Baru, kita memiliki dua buah positif tersebut. Namun, seringkali hal ini dimaknai secara berbeda oleh masyarakat, yang seakan tidak memiliki batas hukum. Atas dalih kebencian dan kemarahan yang disulut oleh hoaks sebelumnya, tidak sedikit dari individu masyarakat yang dengan enteng menghina orang nomor satu di Indonesia dengan ragam ejekan yang ditembakkan.
Di sini, elit politik dan tokoh agama turut melakukan proses deligitimasi terjadi orang nomor satu di Indonesia ini. Tidak sedikit dari mereka yang menyulut provokasi tajam di media sosial. Akibatnya, ketika ada penegakan hukum, referensi mengenai rejim otoriter justru menjadi ingatan kuat untuk memberikan label kepada Jokowi. Di sisi lain ketika tidak tegas, ia dianggap bukan seorang maskulin layaknya sosok militer.
Persis di sini, imajinasi negara kuat dan adanya pengaturan harus dilihat konteksnya. Berbeda dengan rejim Orde Baru di mana mereka represif karena itu berdasarkan dari kehendak individunya. Sementara itu, pasca rejim Orde Baru justru itu berasal dari imajinasi masyarakatnya yang seakan menuntut dan sekaligus menguji pemerintahnya untuk bertindak demikian. Namun, saat Jokowi bertindak tegas, justru stereotif otoriter yang akan diterimanya. Wacana ini yang terus-menerus diartikulasikan oleh para aktivis dan akademisi, baik dalam dan luar negeri. Sikap dilematis juga yang harus dilakukan oleh pemerintah bagaimana cara menyikap hal tersebut. Ini terlihat dari sejumlah kebijakan yang dan preventif dilakukan.
Dengan demikian, tiga faktor itu yang tidak dilihat oleh sejumlah aktivis dan akademisi, yang mengakibatkan melakukan proses generalisasi dengan membandingkan pemerintahan Jokowi dengan rejim otoriter. Tanpa menjelaskan tiga konteks ini, penyederhanaan perbandingan tersebut menjadi salah kaprah di tengah kemunculan sisa-sisa kekuasaan anak rejim Orde Baru yang menganggap bahwasanya Pilpres ini jauh lebih buruk ketimbang yang terjadi dan dilakukan saat bapaknya memimpin.