Konflik Sunni-Syiah, Qassem Suleimani, dan Favoritisme Umat Islam Indonesia

Konflik Sunni-Syiah, Qassem Suleimani, dan Favoritisme Umat Islam Indonesia

Bagaimana melihat relasi Sunni-Syiah dalam terbunuhnya Jenderal Qassem?

Konflik Sunni-Syiah, Qassem Suleimani, dan Favoritisme Umat Islam Indonesia

Beberapa waktu lalu, umat Islam di tanah air disibukkan dalam serangkaian aksi solidaritas mendukung muslim Uighur di Xinjiang China baik dalam bentuk kampanye daring melalui tagar maupun melalui aksi protes dan demonstrasi turun ke jalan. Dibandingkan dengan kasus Uighur, kasus terbunuhnya Jenderal Iran Qassem Suleimani tampaknya kurang menarik perhatian luas kaum muslim Indonesia, kecuali bagi sebagian kalangan pencinta Ahlul Bait, penganut Syiah, ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU), dan juga pengagum tradisi pemikiran intelektual Syiah seperti Murtaddha Muthahari, Thabhatabhai, Ali Syariati, Abdolkarim Soroush, Seyyed Hossein Nasr, dll.

Beberapa alasan kurangnya perhatian umat Islam terhadap kasus terbunuhnya Jenderal Qassem Suleimani adalah karena isu mengenai China jauh lebih seksi untuk disorot mengingat sebagian umat Islam Indonesia masih belum bisa move-on dari wacana anti komunisme (yang dianggap anti Tuhan) dan juga anti China yang merupakan sisa-sisa perang wacana di era Pilpres 2019. Alasan lainnya adalah karena Iran diidentikkan dengan Syiah dan Syiah dianggap bukan bagian dari Islam.

Perlu kita ketahui bahwa pandangan negatif terhadap Syiah baru menjadi masif belakangan ini khususnya pasca runtuhnya era Orde Baru. Di era reformasi, kontestasi antar ideologi keagamaan menjadi mengemuka dan mewarnai perdebatan di ruang publik.

Di era Orde Baru, pemikiran intelektual Syiah seperti Ali Syariati dan Murtadha Muthahari sangat menginspirasi para kalangan anak muda untuk melakukan perubahan sosial di tengah keterbatasan mereka dalam mengekspresikan pandangan politik dan keagamaannya.

Pemikiran intelektual Syiah tersebut sangat relevan pada zaman itu karena dianggap mengandung semangat perlawanan dan heroisme dalam menentang rezim yang zalim, yang dalam hal ini adalah Orde Baru yang otoriter dan anti kritik. Pemikiran para intelektual Syiah tersebut berhasil mencuri perhatian kalangan anak muda karena dianggap berpihak pada kaum marginal dan tertindas.

Populernya pemikiran para intelektual Syiah di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari meletusnya Revolusi Islam Iran di tahun 1979 yang dimotori oleh Ali Khomeini. Revolusi ini telah menjalar di berbagai penjuru dunia dan telah mewarnai corak pemikiran Islam dan politik di level nasional dan global.

Pada tahun 1982, terjadi pelarangan penggunaan jilbab di sekolah-sekolah negeri akibat adanya kebijakan standardisasi pakaian oleh rezim Orde Baru. Jilbab kala itu dicurigai oleh rezim karena dianggap memiliki nilai ideologis yang condong pada ekstrim kanan. Para muslimah akhirnya berbondong-bondong mengenakan jilbab sebagai simbol perlawanan terhadap Orde Baru yang diinspirasi dari fenomena kebangkitan Islam pasca Revolusi Iran yang telah menjatuhkan rezim Shah Pahlevi yang sekuler.

Pasca keluarnya kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) di tahun 1978 yang melarang seluruh aktivitas politik mahasiswa di dunia kampus, kampus diiramaikan dengan fenomena meningkatnya studi club keagamaan yang di dalamnya membahas pemikiran tokoh-tokoh Islam, seperti Hasan Al Banna dan Sayyid Qutb (Ikhwanul Muslimin), Maududi (Jamaat-e-Islami), Ali Syariati dan Murtadha Muthahari (Syiah), guna mengisi kevakuman aktivitas kemahasiswaan.

Melihat kuatnya pengaruh ideologi revolusioner Syiah di kalangan anak muda yang dianggap berpotensi mengancam status quo, maka rezim Orde Baru menggunakan aparatusnya untuk membatasi ruang gerak pemikiran Syiah. Para mahasiswa dan buku-buku yang mempromosikan pemikiran Syiah dikejar-kejar dan disita oleh intel Orde Baru. Rezim Orde Baru juga menggunakan tangan ormas buatannya, yakni Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengeluarkan fatwa ‘politis’ pada tahun 1984 yang berisi tentang kewaspadaan akan ajaran Syiah.

Dalam fatwa tersebut digambarkan beberapa perbedaan pokok antara Sunni dan Syiah. Di akhir fatwa itu juga ditekankan perlunya umat Islam mewaspadai ajaran imamah (pemerintahan). Poin imamah sangat ditekankan karena dianggap berpotensi menganggu stabilitas kekuasaan rezim.

Dalam konteks Indonesia, ajaran Syiah telah hadir sejak awal hadirnya Islam yang ditandai dengan adanya Kerajaan Perlak yang didirikan oleh para pedagang dan pelaut Muslim yang berasal dari Persia, Arab, Gujarat, dan India. Salah satu orang yang turut ikut dalam rombongan pedagang dan pelaut itu adalah Sayyid Maulana ‘abd al-Aziz Shah yang kelak bertakhta sebagai sultan dan penguasa di Kerajaan Perlak. Hanya saja ajaran Syiah pada waktu itu tidak tumbuh dengan pesat sebagaimana ajaran Sunni (Syafii). Ajaran Syiah menjadi menggaung kembali dan menarik minat para kalangan terdidik di Indonesia pasca meletusnya peristiwa Revolusi Iran.

Secara kultural, batas antar Sunni dan Syiah di Indonesia cenderung sangat cair karena beberapa tradisi yang sering dianggap sebagai tradisi Syiah, seperti shalawatan, tahlilan, maulidan, ashura, tawassul, ziarah kubur, membuat kubah pada kuburan hingga pemuliaan kepada para ahlul bait (keturunan Nabi Muhammad melalui garis pernikahan Ali Bin Abi Thalib dengan Fatimah), telah menjadi budaya Islam Indonesia yang dipraktikkan oleh kelompok Sunni khususnya di kalangan Islam tradisionalis seperti NU. Karena itu, tidak mengherankan bila Gusdur pernah mengatakan bahwa NU secara kultural adalah Syiah.

Beberapa tahun terakhir, gerakan hijrah dan kelompok islamis tumbuh cukup kuat di Indonesia. Beberapa wacana yang getol mereka gaungkan adalah pentingnya memperkuat militansi dalam berislam serta perlunya memperkuat persatuan dan persaudaraan (ukhuwah) islamiyah dengan berlandaskan pada doktrin: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi, dan menolong di antara mereka seperti perumpamaan satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh lainnya juga ikut merasakan sakit” dan “seorang mukmin dengan mukmin lainnya seperti sebuah bangunan yang saling menguatkan satu sama lainnya.”

Untuk merealisasikan doktrin tersebut, maka mereka intens menggalang solidaritas dan menunjukkan empatinya terhadap umat Islam yang tertindas dan terzalimi oleh rezim non muslim, seperti yang terjadi di Palestina, Rohingya Myanmar, Xinjiang China, Kashmir India, dll.

Hanya saja, wacana solidaritas yang mereka gaungkan tampaknya masih terkesan parsial karena hanya terfokus pada hal-hal yang dapat menguntungkan kepentingan kelompoknya. Mereka tampak belum memiliki usaha yang serius dan sungguh-sungguh untuk menunjukkan solidaritas dan empatinya terhadap kaum muslim lintas mazhab (penganut Syiah) yang selama ini sering menjadi bulan-bulanan dari kebiadaban Amerika.

Padahal, berbagai upaya telah dilakukan oleh para ulama muktabar dari kelompok Sunni-Syiah dan juga segenap pemimpin negara muslim untuk membangun dialog dan kesepahaman antar berbagai mazhab dan aliran dalam Islam, baik melalui Organisasi Kerjasama Islam (OKI), Fatwa Al-Azhar Al-Syarif, Deklarasi Amman maupun melalui Deklarasi Makkah, karena mereka menyadari bahwa Sunni dan Syiah adalah dua sayap Islam yang harus saling melengkapi untuk membangun peradaban yang berlandaskan pada nilai-nilai kenabian.

Karena itu, sudah saatnya kita umat Islam Indonesia keluar dari dikotomi Sunni dan Syiah. Semakin kita mempertajam konflik Sunni dan Syiah, maka semakin mudah kita diombang-ambing dan diadu domba oleh berbagai pihak yang memiliki kepentingan busuk di negara kita.