Beberapa hari lalu, sepulang menghadiri acara di Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), saya melihat ramai-ramai sekelompok orang berseragam putih di depan Pura Jagatnata, bilangan Sorowajan Yogyakarta. Pura tersebut memang terletak nyaris berseberangan dengan lembaga yang aktif menyuarakan tatanan Islam transformatif itu.
Saya cuek saja, mengingat umat Hindu di daerah Sorowajan memang selalu memakai pakaian sembahyang yang didominasi warna putih ketika beribadah. Barangkali sedang ada ritual keagamaan atau semacamnya, pikir saya.
Malamnya seorang kawan memberi kabar bahwa ada persekusi di Pura Jagatnata oleh organisasi paramiliter yang menamakan diri mereka Front Jihad Islam (FJI). Kami mengobrolkan masalah itu dan saya tanyakan apa akar masalahnya. Usut punya usut, FJI menuntut lembaga Hindu untuk menyatakan sikap terkait dengan kejadian intoleransi di India.
Wah, kacau betul!
Ya, ada banyak kekacauan dalam peristiwa ini yang tidak bisa masuk secara ramah di pikiran saya. Pertama dan yang paling penting, apakah kelompok ini tidak pernah belajar dari moto Pegadaian yang berupaya menyelesaikan masalah tanpa masalah? Apa yang mereka lakukan sesungguhnya hanya menyelesaikan teror dengan menciptakan teror baru. Alhasil, teror lama tetap ada, sedangkan teror lain muncul lagi begitu saja. Hal ini bukannya “membasmi”, tapi malah “menggandakan”.
Meski memiliki satu kepercayaan yang sama, ideologi politik dan sejarah komunitas Hindu di Indonesia belum tentu selaras dengan Hindu di India. Bahkan di negeri Mahatma Gandhi itu, tidak semua umat Hindu berpaham konservatif-radikal dan membenci minoritas umat Islam.
Begini, konflik di India tidak sesederhana bingkai “umat Hindu membantai umat Islam”. Bahwa ada kepentingan politik ultra-nasionalis, hegemoni mayoritas, dan riwayat sinisme identitas yang terbangun sejak lama sebagai sejarah bangsa, itu semua tidak bisa dilupakan begitu saja. Dari semua variabel yang ada, penting dicatat bahwa kita tidak bisa seentengnya memukul rata.
Apalagi, saya yakin umat Hindu di Pura Jagadnata juga tidak sepakat dengan kekerasan berbasis agama yang terjadi di India. Saya bersaksi mereka adalah kelompok religius yang terbuka dan moderat, mengingat hubungan komunitas Hindu di Pura Jagadnata sangat baik dengan komunitas Gusdurian Jogja yang berisi berbagai latar belakang kepercayaan.
Sorowajan sendiri merupakan salah satu wilayah di D.I Yogyakarta yang sangat heterogen dan rukun. Selain Pura Jagadnata, di sana berdiri pula beberapa masjid dan lembaga pendidikan Katolik. Tentunya, bangunan-bangunan berbasis keagamaan ini juga diikuti dengan masyarakatnya yang plural. Sejauh ini, perbedaan identitas yang ada sama sekali tidak pernah menjadi masalah di lingkungan tersebut.
Kelatahan seperti ini tidak berbeda dengan rencana aksi di depan Candi Borobudur oleh sekelompok umat Islam yang tidak sepakat dengan pembantaian Muslim Rohingya di Myanmar beberapa tahun lalu. Padahal Walubi (Perwakilan Umat Buddha Indonesia) sudah mengeluarkan sikap keras atas pembantaian tersebut.
Pun dengan penyerangan Sinagoge yang ada di Surabaya oleh sekelompok umat Islam sebagai reaksi atas penyerangan Israel terhadap Palestina di Jalur Gaza. Alasannya karena mereka tidak bisa melakukan protes langsung sebab Indonesia tidak menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, sehingga tidak ada perwakilan Kedutaan Besar Israel di Indonesia. Lucunya, kelompok seperti ini menjadi tukang protes paling depan ketika Presiden Abdurrahman Wahid menjalin hubungan diplomatik dengan Israel tanpa peduli alasannya.
Sekali lagi, kelompok-kelompok reaktif berbasis agama, atau apalah itu, laksana sedang memadamkan api namun dengan menyiramkan bensin. Entah siraman itu berbentuk intimidasi, kekerasan verbal, terlebih kekerasan fisik.
Kalau kita cermat, sebenarnya ada banyak alasan kenapa umat Islam tidak perlu repot-repot meminta pertanggungjawaban umat Hindu, umat Buddha, umat Yahudi, atau umat apapun yang ada di sini. Apa yang terjadi di luar sana tidak serta-merta otomatis menjadi dosa sosial mereka yang ada di sini. Kenapa?
Pertama, seperti yang saya sampaikan di atas: latar belakang dan sejarah identitas suatu kelompok agama di Indonesia berbeda dengan negara lain. Kedua, preferensi ideologi dalam satu kelompok agama di satu negeri bisa saja tidak sama, apalagi jika dibandingkan dengan negara lain yang tidak ada kaitannya secara langsung. Ketiga, carilah akar masalah dalam bingkai pikir yang jernih, logis, dan substantif terkait segala konflik yang ada di luar sana, kemudian pecahkan dengan solusi yang adil dan damai.
Alasan terakhir ini penting dan perlu. Jika kita mau menelisik akar masalah konflik yang pecah di India, sebenarnya tidak jauh dari masalah mayoritarianisme yang didukung dan dipelihara oleh negara demi kepentingan tertentu. Sedangkan konflik agama yang tampak, sebenarnya hanya permukaan dari bongkahan es yang menggunung ke bawah.
Kalau saja akar masalah ini dipahami dengan benar, tentu saja tidak akan ada persekusi sekelompok umat Islam kepada umat Hindu di Indonesia. Karena hal demikian akan serupa dengan yang terjadi di India, yaitu penindasan oleh tirani mayoritas. Hanya saja berbeda di level konflik dan pelaku saja.
Sebagai Muslim, bukankah kita juga enggan disangkutpautkan dengan kejadian terorisme di Selandia Baru, pembantaian di Prancis, atau bahkan pengeboman di Bali yang menyeret nama baik umat Islam di kancah internasional?
Karena bukan agamanya yang salah, tapi perkawinan mayoritarianisme dengan konservatisme agama yang kita biarkan itulah yang menyebabkan rantai setan kekerasan ini terus terjadi. Satu-satunya jalan yang bisa kita jadikan solusi bukanlah persekusi, tapi dialog untuk saling mengerti.