Tak seperti biasa, kini perburuan tehadap hantu komunisme datang terlalu dini, tanpa menunggu momentum akhir bulan September seperti biasanya. Ketidaknormalan ini entah hadir karena seruan propaganda Opa Kivlan Zen ataupun Taufiq Ismail yang argumentasinya susah diverifikasi itu, atau justru ini buah dari kejenuhan masyarakat atas situasi pandemi Corona yang tak kunjung berakhir. Lihat saja cuitan Tengku Zulkarnaen, tiada angin tiada hujan tahu-tahu mengaitkan malam Takbiran dengan ulang tahun PKI ke-100. Mungkin dia memang sedang bosan, sampai halu.
Ketakutan terhadap segala hal yang berbau komunisme itu saya anggap sebagai ilusi sebab paranoia itu muncul tanpa dasar empiris. Bayangkan saja, komunisme yang terkristalisasi kedalam Partai Komunisme Indonesia (PKI) itu telah luluh lantak pasca peristiwa 30 September 1965.
Para simpatisannya banyak yang dieksekusi secara non-legal dan banyak orang yang sebenarnya tak terkait dengan PKI ditangkapi dan dipenjara tanpa melalui pengadilan dan mekanisme hukum yang legal.
Selain secara konteks nasional PKI yang telah luluh lantak, secara global komunisme juga telah menuai banyak kritik dan belakangan semakin surut dan tak berdaya menghadapi tren kapitalisme global dan demokrasi liberal.
Komunisme Uni Soviet telah runtuh dan kini Rusia menjadi negeri yang membuka diri terhadap pasar bebas dan sekaligus tertatih-tatih membangun iklim demokrasi liberalnya. Kemudian, China saat ini jauh berbeda ketika masih dalam tampuk kekuasaan Mao Ze Dong. China sejak zaman Daeng Xiaoping pada tahun 70-an mulai membuka diri terhadap kapitalisme, meski politiknya masih otoriter ala Komunis.
Dengan demikian, semuanya telah berubah. Segala ketakutan yang terus dipropagandakan oleh kaum tua itu tak memiliki dasar argumentasi yang masuk akal. Sejak masa Orde Baru dimana kita selalu dijejali oleh tayangan film propaganda “Penghianatan G30S/PKI” yang sebetulnya konten di dalamnya banyak unsur fiksi ketimbang sebuah pendasaran sejarah yang ilmiah.
Sepertinya kita perlu meneladani Gus Dur soal ini. Gus Dur semasa menjabat sebagai Presiden berusaha mencabut TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang selama ini digunakan untuk mendiskriminasi simpatisan PKI, bahkan sampai anak-cucunya yang tak pernah tahu apa itu komunisme.
Persoalan sebenarnya begini. Benar kalau dibilang sebelum peristiwa kup 1965 itu PKI beserta organisasi pendukungnya sering berkonflik dengan kalangan muslim, bahkan pernah terjadi ketegangan yang berujung terbunuhnya para kiai.
Namun, dasar itu tak serta merta dapat menjadi dalil yang dapat membenarkan terjadinya pembunuhan dalam jumlah besar yang dialami kalangan komunis. Jumlahnya sangat besar, diantara para sejarawan memiliki angka yang bervariasi, kisaran puluhan ribu hingga ratusan ribu bahkan jutaan.
Taruhlah yang terbunuh dari kalangan komunis itu puluhan ribu, itupun merupakan jumlah yang sangat besar. Terlebih lagi, menurut sejarawan Peter Kasenda dalam bukunya Sarwo Edhy dan Tragedi 1965 (2016) menyebut dalam peristiwa pembasmian massal itu salah satu lembaga keamanan negara turut berkontribusi besar. Padahal, seharusnya jika pun PKI bersalah, seharusnya peran negara adalah mengadili mereka sesuai mekanisme hukum yang adil.
Barangkali, alasan yang terakhir itulah yang membuat Gus Dur meminta maaf kepada korban dan keluarga korban yang dizalimi oleh negara karena peristiwa kup 1965 itu. Di sini Gus Dur bukanlah hendak membela kaum komunis, namun yang Gus Dur bela adalah keadilan. Dalam konteks pembunuhan massal yang dialami simpatisan PKI itu, negara jelas bersalah. Sebab mengeksekusi ribuan orang tanpa ada dasar legalnya.
Jika dalam konteks terbunuhnya banyak simpatisan PKI itu negara dianggap bersalah, lantas bagaimana nasib korban lain, yakni para kiai dan kaum Muslim yang terbunuh sebelum tahun 1965?
Nah, disinilah pentingnya dilakukan rekonsiliasi nasional terkait peristiwa sebelum maupun sesudah kup tahun 1965 itu. Mari duduk bersama dengan hati yang lapang, serta saling membuka fakta dan data riset.
Kedua belah pihak harus jujur menceritakan apa yang pernah dialami masing-masing dan sekaligus harus siap saling mendengarkan. Barangkali, jika peristiwa itu diingat-ingat akan menimbulkan rasa sakit hati. Namun, jika hal ini tidak dibuka dan saling mendengar, apakah selamanya bangsa kita akan terus saling memendam bara dendam ini?
Bukankah jalan keluar terbaik untuk tidak terus menerus menyimpan api dendam dan kebencian adalah dengan cara saling jujur menuangkan hal-hal yang mengganjal, kemudian saling memaafkan?
Sebagian besar saksi sejarah telah meninggal dan jikapun masih hidup, tentu saja berusia tua renta. Dan anak cucu mereka semua sama sekali tak ada hubungannya dengan segala kesalahan yang telah dilakukan para nenek moyangnya itu. Segalanya harus saling meminta maaf dan memaafkan. Semua ini harus segera diakhiri, tak elok mewariskan dendam dan kebencian kepada anak-cucu.
Setelah rekonsiliasi itu selesai, ilusi rutinan yang terus-menerus memburu hantu komunisme ini harus segera diakhiri. Untuk menatap masa depan yang lebih cerah.
Wallahu a’lam. [rf]