Komentar dan kiritikan yang dimaksud di sini adalah yang berkaitan dengan keilmuan al-Ghazali dalam ilmu Hadis, terutama pada penulisan Ihya Ulumiddin. Komentar dan kritikan tersebut tentu setelah mereka melakukan kajian terhadap kitab ini. Terlepas kajian yang mereka lakukan tersebut adalah teliti atau serampangan. (Baca tulisan sebelumnya: Metode Penukilan Hadis dalam Ihya Ulumiddin)
Kritikan yang sangat berlebihan pertama kali dilontarkan oleh Abu al-Walid al-Thurthusi (451-520 H.), seorang faqih yang semasa dengan al-Ghazali. Ia mengatakan, “Abu Hamid (al-Ghazali) memenuhi Ihya dengan pendustaan terhadap Nabi Saw. Aku tidak tahu kitab lain di permukaan bumi yang lebih banyak kedustaannya melebihi kitab Ihya.”
Setelah al-Thurthusi, kritikan yang lumayan keras juga dilontarkan oleh al-Hafizh Abu al-Farj Ibn al-Jauzi (bukan Ibn al-Qayyim al-Jauziyah). Ibn al-Jawzī menyebutkan bahwa al-Ghazali menukil di dalam Ihya sebagian Hadis-hadis maudu’ dan yang tidak sahih dalam jumlah yang tidak sedikit.
Demikian itu, lanjut Ibn al-Jauzi, disebabkan karena pengetahuannya yang sedikit dalam ilmu naql (periwayatan), sehingga al-Ghazali menukil Hadis bagaikan “pencari kayu” di malam hari (hathib al-lail). Ia mengatakan al-Ghazali bagaikan “pencari kayu” pada malam hari, karena mengambil Hadis tanpa membedakan antara yang sahih, ḥasan dan daif.
Akan tetapi, “ejekan” Ibn al-Jauzi berbalik kepada dirinya. Ini dapat dilihat dari karya-karyanya yang dipenuhi hadis-hadis bermasalah, israiliyyat (kisah-kisah bani Israil) bahkan riwayat-riwayat palsu, seperti kitab al-Tabshirah, Lataif al-Maarif, Bustan al-Waizin, dan lainnya.
Adapun kritikan pada zaman berikutnya seperti yang dilontarkan Ibn Taymiyah, Ibn al-Qayyim, dan Ibn Katsir yang hanya mengembangkan bahkan cuma menukil kritikan dari al-Hafizh Ibn al-Jauzi. Ini dikarenakan mereka sering merujuk pendapat Ibn al-Jauzi.
Selain itu, justeru Ibn Taymiyah lebih banyak mengkritisi dari aspek lain. Ia hanya memberikan kritikan setelah memuji kitab Ihya, bahwa di dalamnya terdapat Hadis-hadis daif bahkan mawdhū yang lumayan banyak.
Selain itu, juga terdapat kritikus kontemporer seperti Abdullah al-Harari al-Habasyi. Al-Harari menyebutkan bahwa para ulama menganggap hadis-hadis yang terdapat dalam Ihya tidaklah bisa dijadikan pegangan. Ini dikarenakan terdapat di dalamnya sekitar tiga ratus hadis yang maudu’.
Namun demikian, komentar yang berbeda juga dikemukakan oleh ilmuwan lain seperti Imam al-Hafizh Murthada al-Zabidi. Sebagai pensyarah dan pen-takhrij, ia sendiri mengakui bahwa hadis-hadis yang terdapat di dalam Ihya ada yang mursal, maqthu’, dan sebagian lain masih bisa diperdebatkan kedaifan sanadnya (fi sanadihi maqal).
Murthada menambahkan, bisa jadi masih terdapat riwayat mursal dan maqthu’ yang lebih sahih periwayatannya pada Musnad yang lain jika para imam meriwayatkannya dengan jalur lain.
Bahkan, Murthada dalam pembelaanya menukil beberapa pernyataan, pertama “Kami tidak sepenuhnya yakin bahwa riwayat-riwayat tersebut batil.”
Kedua, “Seandainya mereka (para periwayat Hadis —pen.) keliru dalam meriwayatkan, maka kebenaran hakiki itu hanya milik Allah.”
Ketiga, hadis-hadis daif yang tidak menyalahi Kitabullah dan sunnah, maka tidaklah mesti kita menolaknya secara sembarangan, karena Kitabullah dan sunnah juga mendukungnya.”
Keempat, “Kita dinilai beribadah jika berbaik sangka, dan sebaliknya dilarang terhadap kebanyakan prasangka.”
Ungkapan Murtadha tersebut tentu dikemukakannya setelah meneliti dan mempertimbangkan hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Ihya secara mendalam.
Komentar ini terlihat lebih moderat dan penuh toleran daripada sebelumnya. Tampaknya, para pengritik perlu belajar sikap tersebut dari Murtadha.
Wallahu A’lam.