Klan Ba ‘Alawy di Indonesia dan Upaya Rekognisi Identitas Keindonesiaan

Klan Ba ‘Alawy di Indonesia dan Upaya Rekognisi Identitas Keindonesiaan

Klan Ba ‘Alawy di Indonesia dan Upaya Rekognisi Identitas Keindonesiaan
Indonesia berhutang banyak kapada Hababib dan sudah sepatutnya menghormatinya, tapi mencintai berlebihan juga dibenci oleh Allah. Bagaimana seharusnya bersikap? Pict by Istimewa

Jika belakangan para habaib klan Ba ‘Alawi dihadapkan dengan polemik menyangkut nasabnya, maka dulu, pasca kolonialisme di Indonesia, kalangan Ba ‘Alawi menghadapi problem menyangkut identitas dan ideologinya. Permasalahan meruncing dalam banyak hal. Bermula dari polemik pengkultusan sayyid, konsep kafa’ah, hingga meluas pada problem status “tanah air”.

Dalam berbagai literatur sejarah, nama Ahmad Surkati digadang menjadi orang yang menyulut api polemik tersebut. Ia merupakan tokoh reformis kelahiran Sudan yang pernah mengenyam pendidikan di Mesir, Madinah dan Mekah, yang juga mendirikan al-Irsyad. Memang pada masa tersebut, wacana pembaharuan Islam sedang bergejolak.

Kompleksitas masalah orang Arab di Indonesia ini bahkan turut mendatangkan komentar dari presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Dalam Surat-surat Islam dari Ende, Soekarno menyebut bahwa kalangan Hadrami merupakan potret dari kejumudan, kekolotan, bahkan kebodohan.

Jika dilihat dalam runutan historis, butuh perjuangan panjang dan kerja-kerja konsisten bagi para habaib juga keturunannya untuk keluar dari kepungan gugatan kaum reformis, sekaligus bisa mendapatkan rekognisi (pengakuan) -bukan hanya sebagai “warga” Indonesia, tetapi juga sebagai otoritas keagamaan.

Hari ini, kerja para pendahulu klan Ba ‘Alawi di Indonesia berbuah manis. Haul-haulnya diperingati oleh puluhan ribu orang setiap tahun. Makam-makamnya didatangi oleh ratusan peziarah setiap hari. Kitab-kitab yang mereka tulis dikaji di berbagai majelis dan pesantren. Wirid, maulid, dan zikir yang mereka perkenalkan, sampai saat ini masih terus dirapalkan oleh bibir para muhibbin-nya. Bahkan tidak sedikit kiai-kiai Nusantara yang juga lahir dari didikan tangan para habaib tersebut.

Terlepas dari perdebatan mengenai nasabnya, hal-hal di atas memunculkan pertanyaan tersendiri dan menarik untuk ditelusuri; kerja semacam apa yang dilakukan oleh pendahulu klan Ba ‘Alawi, yang bahkan sampai saat ini turut mengkultivasi masyarakat Muslim Nusantara?

Perlu dinyatakan di awal bahwa tulisan ini tidak ditujukan untuk ikut nimbrung dalam pusaran debat mengenai nasab Ba ‘Alawi. Tulisan ini ingin menyajikan fakta historis bagaimana kalangan Ba ‘Alawi menghadapi berbagai permasalahan kompleks yang terekam dalam sejarah Indonesia, berikut cara yang mereka tempuh untuk keluar dari beragam permasalahan tersebut.

Upaya Rekoginisi Identitas Keindonesiaan

Dalam Becoming Indonesian: The Ba ‘Alawi and the Interstices of the Nation, Ismail Fajrie Alatas memaparkan peran dan langkah taktis sejumlah tokoh Ba ‘Alawi untuk mendapatkan rekognisi dan identitas sebagai bagian dari entitas bertanah air Nusantara, dengan tetap menjaga sakralitas genealogis mereka sebagai keturunan Nabi.

Dalam artikel tersebut, Fajrie memotret bagaimana para tokoh Ba ‘Alawi abad dua puluhan mengambil sejumlah tindakan, termasuk transformasi adaptif pada tarekat ‘Alawiyyah, sebagai strategi efektif yang berhasil membawa klan Ba ‘Alawi membaur dengan masyarakat lokal, juga langkah dalam menjawab gugatan para reformis.

Praktik tarekat ‘Alawiyyah sebagai laku sufi mulanya bersifat eksklusif yang hanya melibatkan kalangan Ba ‘Alawi saja. Basis pengajaran pada tarekat dilandaskan dari hadis dan sunnah Nabi dalam mengkonstruksi kesalehan profetik yang selanjutnya diajarkan secara turun-temurun dalam lingkup internal.

Itu sebabnya, selain mewariskan darah Nabi, pada saat itu, hanya para sayyid yang bisa mendapatkan akses eksklusif terhadap “konten-konten kenabian” yang ditransmisikan dari bapak ke anak. Abdullah bin Alawi al-Haddad, seperti dikutip oleh Fajrie, mengistilahkan hal ini sebagai silsilah dzahabiyyah (golden chain).

Eksklusifitas ini, di satu sisi, menciptakan kesenjangan dan berpotensi membuat kalangan Ba ‘Alawi akan terpinggirkan. Ditambah, pada masa tersebut wacana pembaharuan semakin memanas, dan polarisasi antar etnis kian mengerucut.

Sejumlah tokoh Ba ‘Alawi pada masa tersebut kemudian mulai melakukan sejumlah hal dalam menghadapi problem ini. Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (w. 1968), misalnya, menempuh langkah politis dengan tetap menjaga hubungan baik antar golongan secara luwes, baik dengan Nahdlatul Ulama (NU), tokoh nasionalis, termasuk hubungan relasional dengan Ahmad Surkati, pentolan reformis pendiri al-Irsyad.

Fleksibilitas tersebut dilakukan dalam rangka menjaga pengakuan klan Ba ‘Alawi di Indonesia. Selain langkah politis, al-Habsyi juga menempuh pendekatan agamis dengan mengadakan kajian kitab al-Nashaih al-Diniyyah yang diadakan secara rutin setiap minggu di Kwitang yang disampaikan dalam Bahasa Melayu. Format pengajaran semacam ini mengundang antusiasme masyarakat lokal untuk mengikuti kajian tersebut.

Selain itu, al-Habsyi untuk pertama kalinya memperkenalkan tradisi maulid ke masyarakat luas yang diadakan setiap tahun di Kwitang. Dalam tradisi sufi, maulid merupakan ritual sakral. Nabi diyakini “hadir” secara spiritual ketika agenda tersebut dilakukan, terutama ketika keturunannya hadir secara fisik di dalam majelis. Tradisi maulid selanjutnya mulai menjamur di masyarakat, diadakan di pelosok-pelosok daerah dengan turut mengundang kalangan Ba ‘Alawi sebagai keturunan Nabi.

Menurut Fajrie, Jika kajian kitab mingguan al-Nasaih al-Diniyyah menguatkan eksistensi Ba ‘Alawi dari ranah skriptural, maka maulid tahunan memperkuat Ba ‘Alawi dari aspek spiritual.

Dalam melaksanakan agenda-agenda keagamaan di Kwitang, al-Habsyi juga menggandeng kiai lokal untuk ikut terlibat. Kiai-kiai lokal dipersilahkan untuk menyampaikan ceramah dan mengisi majelis. Hal tersebut memperkuat status sosial antara kiai dan habaib dalam mengkultivasi komunitas keislaman lokal.

Selain kerja-kerja “lapangan”, tokoh Ba ‘Alawi juga melakukan kerja “akademik” untuk mendapatkan rekognisi dari masyarakat Nusantara. Hal ini, misalnya, seperti yang dilakukan oleh Habib Ali bin Husein Alatas (w. 1976). Ia menulis sebuah kitab berjudul Taj al-A’ras fi Manaqib al-Habib al-Qutb Shalih ibn Abd Allah al-Attas.  Sebuah hagiografi tokoh Ba ‘Alawi.

Di dalam Taj al-A’ras, setelah mengulas tokoh-tokoh Ba ‘Alawi di Hadramaut pada bagian pertama, Habib Ali Alatas menyodorkan data tokoh Ba ‘Alawi di Nusantara pada bagian kedua dari magnum opus-nya secara khusus. Sebelum mengulas mereka, Habib Ali Alatas bahkan mengupas sejarah islamisasi Nusantara, mulai dari Demak, Banten, juga Jakarta.

Habib Ali Alatas menyajikan data keterlibatan Ba ‘Alawi dalam struktur pemerintahan pada masa tersebut. Hal ini, ia buktikan dengan memaparkan genealogi atau nasab dari Sultan Maulana Hasanuddin, raja pertama kesultanan Banten, yang tersambung muttasilan dengan nasab Ba ‘Alawi.

Hal-hal tersebut membuktikan sekaligus menegaskan bahwa Ba ‘Alawi bukan entitas baru dan asing yang ada di Nusantara. Sebaliknya, Ba ‘Alawi bahkan sudah menjadi kesatuan integral yang menempati Nusantara jauh sebelum berbagai macam polemik tersebut terjadi.

Selain Taj al-A’ras, Habib Ali Alatas juga berkontribusi melahirkan kiai-kiai lokal masyhur. Jika dahulu ajaran kenabian hanya ditransmisikan secara eksklusif antar Ba ‘Alawi, Habib Ali Alatas meng-inklusif-kan hal tersebut. Ini dapat dilihat dari pemberian ijazah dari apa yang sudah ia pelajari kepada K.H Syafi’i Hadzami, tokoh lokal yang menjadi muridnya.

Jika dua tokoh sebelumnya bergumul dengan wacana lokalitas-kenusantaraan, Habib Salim bin Jindan (w. 1969), sebagai satu dari tiga tokoh Ba ‘Alawi yang Fajrie ulas, berhadapan dengan wacana pembaharuan yang dibawa oleh kalangan reformis. Habib Salim banyak berkutat dengan wacana hadis, karena pada masa itu, reformis mengetengahkan diskursus hadis. Ini dapat dilihat dari didirikannya Lajnah Ahli-ahli Hadith Indonesia pada 1941.

Salah satu karakteristik yang dimiliki oleh Habib Salim adalah kefasihannya dalam mengartikulasikan hadis, sanadan wa matnan, secara utuh ketika berceramah atau berpidato. Hal ini menjadikan Habib Salim mendapat perhatian oleh kalangan reformis saat itu.

Habib salim juga menggugat penerapan format transmisi hadis baru yang digunakan kalangan reformis. Ia menjelaskan bahwa menjaga mata-rantai otentisitas hadis dengan sanad merupakan hal yang krusial. Selain itu, ia juga menggunakan kedalaman penguasaan ilmu hadisnya dalam menjawab polemik konsep kafa’ah yang dilayangkan tokoh-tokoh reformis.

Fakta-fakta historis di atas memperlihatkan bagaimana tokoh-tokoh Ba ‘Alawi memperjuangkan identitas mereka di tengah kepungan problem kompleks yang terjadi saat itu.

Langkah taktis yang mereka ambil tidak hanya berhasil membuat mereka mendapatkan rekognisi dan identitas “kenusantaraan” yang mengeluarkan mereka dari beragam permasalahan. Lebih dari itu, kerja-kerja yang sudah mereka lakukan bahkan turut membentuk kemapanan komunitas keislaman di Nusantara hingga hari ini. (AN)

 

 

.