Bagi saya, akal sehat itu sifatnya universal, sebab semua orang merasa memilikinya. Orang gila, katakanlah demikian, bisa disebut telah kehilangan akal sehat atau, untuk sementara waktu, akalnya sedang sakit.
Klaim akal sakit tentu tidak bisa begitu saja diucapkan oleh masyarakat, tetapi ilmu-ilmu modern, seperti psikologi, yang memiliki andil besar dalam memetakan jenis-jenis akal manusia.
Istilah akal sehat juga bukan khas milik kajian filsafat. karena semua orang, yang sadar betul dengan kondisi psikologis dan nalarnya, mengakui bahwa mereka telah memiliki “akal sehat” tanpa harus diakui dan dikaji secara ilmiah atau dipahami melalui prosedur ilmu pengetahuan.
Bila orang dapat berpikir secara baik dan benar, betapapun mungkin terjadi kesalahpahaman dalam memahami sesuatu, ia tetap memiliki akal sehat dan akalnya tetapi berfungsi dengan baik. Kesalahpahaman hanyalah soal pengetahuan yang terpotong-potong, bukan terkait dengan akal sehat atau akal sakit.
Salah besar bila dikatakan jargon “akal sehat” yang digaungkan oleh Rocky Gerung merupakan ciri khas kefilsafatan, yang kemudian istilah itu dibawa ke ranah politik menjadi “berpolitik dengan akal sehat”. Orang lalu bertanya-tanya, bagaimana seharusnya berpolitik dengan akal sehat?
Paling tidak, kita bisa memastikan bahwa Rocky telah terjebak pada “fanatisme kata” yang hanya benar dalam perkataannya, sementara orang lain atau sebagian besar orang, dianggap tak paham dengan bagaimana seharusnya bernalar secara sehat.
Hal yang menurut saya paling memilukan terletak pada keberadaan Rocky yang tampil seolah-olah mewakili kebenaran akal sehat di tengah situasi politik yang sedang dikuasai oleh fanatisme, politisasi kebencian, hoax, dan kultus ketokohan. Ia seolah sedang tampil sebagai juru bicara “akal sehat” yang tidak memihak dengan klaim objektif. Padahal, semua orang tahu posisi politik Rocky saat ini.
Saya sungguh menyayangkan bila sosok Rocky ternyata sudah terlanjur muncul di tengah publik dan dielu-elukan sebagai sosok yang membawa nama “filsafat”, yang dalam berbagai bentuknya, wacana yang ia gaungkan seakan menampilkan sikap kritis, kedalaman, pencerahan, dan kebijaksanaan, dalam situasi perpolitikan di tanah air.
Bagi orang yang terbiasa dengan wacana kefilsafatan, seperti saya dan teman-teman lainnya, tak ada hal baru yang disampaikan bung Rocky, betapapun ia membawa tradisi berpikir kritis ke ranah politik. Dalam melihat sosok Rocky, saya justru teringat dengan sekelompok kaum Sofis Yunani sekitar abad 5 SM, yang terkenal dengan kepandaian dalam beretorika, juru bicara pengetahuan, tetapi juga sekaligus, yang oleh Plato disebut sebagai orang-orang rendahan yang menjual kata-kata dengan harga yang murah. Sosok Rocky, menurut saya, sangat dekat dengan definisi kaum Sofis ini.
Kembali ke soal klaim akal sehat, benarkah “akal sehat” membutuhkan juru bicara bernama Rocky Gerung? Apakah Rocky merupakan representasi dari akal sehat? Dalam menjawab pertanyaan ini, sekelompok orang yang tergabung dalam Lingkar Studi Filsafat Nahdliyin (LSFN) dan Solidaritas Pemerhati Filsafat, yang tak lain merupakan teman-teman saya sendiri, menyatakan keprihatinan politis atas manipulasi retorika dan konsep-konsep filosofis oleh subjek bernama Rocky Gerung.
Keprihatinan ini memang sudah seharusnya, sebab klaim “akal sehat” Rocky yang disampaikan dalam berbagai bentuk di ruang publik, dalam klaim agama, politik, sampai munculnya frasa “kitab suci itu fiksi”, diletakkan di dalam suatu konteks politik, yaitu gelombang naiknya populisme Islam konservatif, khususnya pasca-kasus Ahok, ketika sentimen-sentimen agama digoreng dengan berbagai cara.
Jelas sudah, menjelang Pilpres 2019, Rocky mendekat ke kubu Paslon Nomor 02. Wacana yang dibawanya justru menunjukkan betapa Rocky meletakkan klaim “akal sehat” menjadi kendaraan politik yang disetirnya untuk mendulang suara.
Klaim akal sehat pun menjadi semakin sempit dan kehilangan universalitasnya. Kalau melihat percikan makna dalam istilah “akal sehat” versi Rocky, ia hanya memiliki arti selama dihubungkan dengan konteks politik dan Paslon tertentu.
Bila mencermati secara teliti argumen-argumen Rocky, justru perkataannya terkesan tidak sistematis, kabur, dan sangat tidak mencerminkan karakter seorang filosof, betapapun ia berasal dari latar belakang filsafat dan mantan dosen kampus ternama di Indonesia.
Kita pun tak melihat ia pernah menuliskan gagasannya secara ketat dan sistematis untuk mengklarifikasi kepada publik apa yang sebenarnya ia maksud dengan “akal sehat”.
Lontaran-lontaran gagasannya (yang diklaim) di bawah naungan “akal sehat” sama sekali belum teruji secara filosofis. Namun sayangnya, gagasan mentah ini sudah terlanjut menjadi konsumsi publik dan masyarakat luas yang belum terbiasa dengan gaya dan alur berpikir filsafat.
Menurut al-Fayyadl, ahli filsafat lulusan Universitas Paris, gagasan-gagasan Rocky justru cenderung menghipnotis dan punya efek manipulatif. Dalam arti lain, istilah “akal sehat” telah dipolitisasi dan maknanya menjadi semakin sempit dihadapan Pilpres 2019.
Di lain hal, problem kebangsaan kita saat ini juga begitu kompleks dan berdimensi luas. Problem itu lantas direduksi oleh Rocky seakan-akan hanya persoalan akal sehat. Negeri ini sebetulnya juga tidak kekurangan orang cerdas yang dapat berpikir kritis, hanya saja ruang ekspresi mereka mungkin terbatas. Di balik problem “akal sehat”, masih ada banyak problem yang kiranya juga butuh sentuhan untuk diperbaiki, misalnya soal ruang-ruang demokrasi, kriminalisasi, intimidasi, dan lain sebagainya.
Tulisan ini tidaklah terikat dengan kubu-kubuan dalam politik, saya hanya ingin menempatkan persoalan akal sehat pada posisi yang seharusnya. Bahwa tidak benar bila persoalan akal sehat hanya mengerucut saja pada hal-hal tertentu, seperti Rocky yang memainkan sentimen akal sehat antar-golongan dengan membenturkan dua kelompok yang disebut “pro akal sehat” dan “anti akal sehat”, yang mengindikasikan bahwa seakan-akan “akal sehat” bersemayam pada satu kalangan tertentu saja.
Akal sehat versi Rocky Gerung hanyalah retorika tanpa isi apalagi kedalaman. Bahkan Rocky justru terkesan melakukan “politik pengambinghitaman” dengan memainkan istilah “akal sehat”. Sebuah tipe berpikir atau nalar berpikir yang sebetulnya sedang sakit. Yakni melakukan politisasi akal pikiran manusia yang digunakan untuk melawan kubu politik tertentu.
Paling tidak, hikmah yang bisa dipetik dari fenomena Rocky Gerung adalah perlunya menggalakkan diskursus filsafat yang lebih luas dan serius di ranah publik yang khas dalam konteks keindonesiaan, yang tidak sekedar retorika belaka, popularitas, maupun memanfaatkan iklim politik. Yang demikian hanya akan melahirkan Rocky-Rocky baru, seperti kaum Sofis, atas nama filsafat dan ilmu pengetahuan, bernarsis-ria untuk kepentingan para elite tertentu.
Rohmatul Izad.Alumni Pascasarjana Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta.