Kisruh di Palestina: Belajar dari Bung Karno dan Gus Dur

Kisruh di Palestina: Belajar dari Bung Karno dan Gus Dur

Kisruh di Palestina: Belajar dari Bung Karno dan Gus Dur

“Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel”.

Perkataan Bung Karno itu tak sekadar pemanis yang mewarnai hiruk-pikuk dinamika politik antar negara saat itu atau bahkan hantu kata-kata bagi bangsa Palestina yang sedang ditindas oleh Zionis Israel. Tahun 1962 menjadi saksi ketegasan Bung Karno, saat ia dengan berani menolak kehadiran Israel dalam ajang bergengsi Asian Games 1962 yang diselenggarakan di Jakarta.

Tujuan Bung Karno hanya satu, membela bangsa Palestina yang beribu-ribu kilo meter jauhnya dari Indonesia itu untuk mendapatkan hak hidup, beribadah, serta jaminan sebagai bangsa yang bebas dari penjajahan. Singkatnya, Bung Karno hanya membela, sekali lagi membela, mereka yang tertindas atas nama apapun.

Keberanian Pimpinan Besar Revolusi Indonesia itu ternyata diwarisi pula oleh Gus Dur. Gus Dur yang sama revolusionernya dengan Bung Karno dengan keras menentang penjajahan yang dilakukan oleh Israel terhadap bangsa Palestina. Kiprahnya dengan Bung Karno dalam membela Palestina amat selaras. Berbagai upaya yang dilakukan oleh Gus Dur, mulai dari mengecam, mengkritik, dan bahkan menyindir dengan joke-joke yang terkenal khas dan lucu itu.

Ketika agresi militer dilancarkan oleh Israel pada 2009 melalui Gaza, Gus Dur dengan tegas menyatakan bahwa tindakan itu tidak didasari oleh rasa kemanusiaan dan keadilan. Argumen itu disandarkan pada tidak seimbangnya kekuatan militer antara Israel dengan faksi Hamas yang melakukan pertempuran di Jalur Gaza, Palestina. Akibatnya, banyak korban yang berjatuhan, termasuk penduduk sipil Palestina –banyak pula wanita dan anak-anak yang menjadi korban.

Gus Dur tidak sungkan untuk mengkritik Presiden Simon Peres (Presiden Israel) dengan menemuinya langsung waktu itu. Dengan joke khasnya yang meledek itu kemudian dikenal dengan cerita “Gus Dur dan Topi Yahudi” (pernah dimuat dalam NU Online). Guyonan Gus Dur itu bermakna penting, bahwa menurut Gus Dur Israel amat berorientasi pada materialisme dan zionisme serta berlindung di bawah payung besar negara-negara barat. Gus Dur juga mengkritik keras sikap Dewan Keamanan PBB yang tidak serius menghentikan krisis Gaza.

Sikap heroik Bung Karno dan Gus Dur senafas dengan pemahaman mereka, atau yang biasa kita sebut sebagai ilmu dan pandangannya yang kosmopolit. Bung Karno dan Gus Dur adalah dua contoh pemimpin yang memanusiakan yang lainnya. Secara terang-terangan mereka menunjukkan sikapnya yang keras terhadap penindasan. Bila bahkan ingin diperdalam lagi, Bung Karno dan Gus Dur membela nilai-nilai yang mereka yakini dan pegang teguh.

Menilik dari sepak terjang dua tokoh itu, bila kita sandarkan pada realitas yang dialami bangsa Palestina sekarang. Ditambah dengan hak-hak untuk hidup, memperoleh keamanan, dan hak untuk beribadah yang semakin ditekan dengan pelarangan Al-Aqsha sebagai tempat ibadah. Oleh karenanya, sikap pemerintah Indonesia sangat dinantikan untuk bertindak secara kongkrit dan berpihak secara jelas.

Bagi penulis, membela palestina adalah membela diri sendiri. Kemerdekaan bagi Palestina tidak akan memiliki titik terang saat regulasi ekonomi politik dunia terus seperti itu adanya. Palestina adalah bagian dari timur tengah secara khusus dan bagian dari dunia secara umum. Bahwa negara-negara timur tengah termasuk Palestina adalah komoditi basah bagi para perebut sumber dayanya.

Kemudian yang menjadi tantangan dunia adalah mampukah kita untuk melupakan aspek ekonomi-politik internasional tersebut. Dengan otomatis kita juga mempersilahkan bangsa Palestina untuk merdeka. Mengingat bangsa Palestina adalah satu-satunya bangsa yang terjajah pada abad 21 ini.

Terhadap pemerintah Indonesia pun demikian, mampukah pemerintah untuk bersuara nyaring dan tidak pandang bulu selagi itu untuk persoalan kemanusiaan dan hak-hak warga negara yang tidak diperlakukan dengan manusiawi. Dengan ini, sekali lagi kita penting untuk belajar bersikap dari Bung Karno dan Gus Dur kita. []

 

Muhammad Fikri Bagus Pratama, Penulis adalah Peserta Program Praktik Kerja Nyata Wahid Foundation 2017, Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya.