Barangkali saya merupakan satu-satunya mahasiswa non-Buddhis yang pernah mengambil kuliah Agama Budha sepanjang sejarah kampus saya.
Semasa kuliah saya punya sebuah pengalaman yang agak nyeleneh. Saya bukanlah seorang Budhis, tetapi saya pernah mengambil mata kuliah (makul) Agama Budha. Sebenarnya ini berawal dari rasa penasaran saya. Rasa kepo yang mungkin pernah terbersit juga di pikiran orang lain. Seperti apa sih ajaran agama lain? Bagaimana, ya, proses kuliahnya teman-teman yang beragama lain? Apa mereka juga suka rasan-rasan tentang agama lain di kelas agama? Setumpuk rasa penasaran ini yang lantas memantapkan saya mengambil makul pilihan agama (lain).
Pilihan saya akhirnya jatuh ke makul Agama Budha karena dua alasan. Alasan pertama, saya mencari makul agama yang paling minoritas. Sebab keinginan saya sedari awal murni ingin mengenal tentang agama lain yang belum saya kenal. Agama Budha masih cukup misterius di mata saya dan memenuhi syarat tersebut. Saat itu, belum tersedia makul Agama Konghucu di kampus.
Alasan kedua, pengetahuan saya relatif minim tentang Budhisme. Tak ada saudara atau teman dekat saya yang beragama Budha. Alhasil referensi saya mengenai agama Budha sebatas dari serial Kera Sakti dan menonton perayaan Waisak saban setahun sekali. Sehingga makul ini terlihat makin menarik saja. Saya yakin banyak hal yang nantinya bisa saya gali dalam kuliah tersebut.
Pikiran polos saya membayangkan makul ini nantinya akan diampu oleh sesosok biksu berkepala plontos dengan jubah oranyenya yang khas. Namun ekspektasi ini buyar di pertemuan pertama. Dosen kami bukan seorang biksu. Pengajar kami merupakan umat Budha yang mengabdi sebagai guru agama. Mahasiswa lain memanggilnya dengan sebutan Romo. Seketika saya tersenyum sembari membatin, “Wah, sebutannya kok ya persis pastor Katolik.”
Baca Juga: Benarkah Kuliah di Luar Negeri Bisa Jadi Liberal?
Baru di kuliah perdana saya sudah hampir merasa keputusan yang saya ambil adalah keputusan ndlogok. Romo membuka kuliah dengan menanyakan pertanyaan yang membikin saya panas-dingin. “Siapa di kelas ini yang baru menerima pelajaran agama Budha di bangku kuliah?
Deg! Mendengar pertanyaan ini, saya sempat gelisah dan celingukan. Mencari teman. Jelas saya takut kalau saya harus mengacungkan jari sendirian. Bagaimana nanti kalau ditelisik lebih lanjut? Apa ya saya harus bilang saya mengambil kelas ini hanya karena iseng dan kepo? Salah-salah nanti saya malah dianggap mempermainkan Agama Budha. Repot urusannya.
Di luar dugaan, saya mendapat kejutan yang menyenangkan. Alhamdulillah, ternyata lebih dari separuh kelas mengangkat tangan. Saya tidak sendiri.
Melihat mahasiswa yang duduk di kanan saya ikut mengangkat tangan, saya mengajaknya ngobrol untuk menghilangkan kegugupan saya. Saya ingat dia berasal dari luar Jawa. Dia mengaku dia seorang Buddhis sejak lahir. Walaupun demikian dalam data kependudukan tercatat dia beragama lain. Alhasil selama SD hingga SMA di sekolah negeri, dia belum pernah sekalipun mendapatkan pelajaran Agama Budha.
Barulah saat usianya sudah genap 17 tahun dan tiba saatnya mengurus KTP, dia bisa mencantumkan “Budha” di kolom agamanya. Entahlah mengapa bisa demikian. Saya tidak menanyakan lebih lanjut karena saya pun kehabisan kata-kata mendengar ada pengalaman personal seunik ini.
Hanya beberapa mahasiswa saja yang mengaku sudah mendapat pelajaran agama Budha sejak di bangku SMA. Makin sedikit lagi yang menyebut telah memperoleh pelajaran tersebut mulai bangku SMP. Cuma beberapa jari teracung saat Romo menanyakan lebih lanjut siapa saja yang sudah memperoleh pelajaran Agama Budha sedari SD.
Kuliah pembuka ini membuat saya malu sendiri. Saya malu karena sempat penasaran apakah mahasiswa Buddhis suka menggunjing soal agama lain di kelas agama mereka. Boro-boro, sebagian dari mereka malah harus ikut pelajaran agama lain di jenjang pendidikan sebelumnya. Akan tetapi saya juga tertegun. Kok bisa banyak mahasiswa Budhis yang tidak mendapatkan pelajaran agama Budha di jenjang sekolah dasar dan menengah?
Ternyata memang sebagian mahasiswa di kelas ini memang menamatkan pendidikan dasar dan menengahnya di sekolah swasta Kristen/Katolik. Jelas saja di sekolah tersebut mereka tidak akan mendapat pelajaran Agama Budha.
Namun separuh mahasiswa lainnya merasakan kombinasi bersekolah di swasta dan negeri. SD-SMP di sekolah swasta lantas masuk ke sekolah negeri ketika SMA. Bisa juga saat SD masuk di sekolah negeri. Lalu melanjutkan jenjang SMP-SMA di sekolah swasta. Atau variasi yang lainnya.
Sekolah negeri nyatanya bukan jaminan juga bagi murid beragama Budha untuk mendapatkan pelajaran sesuai agamanya. Dari cerita mereka, saya baru tahu tidak semua sekolah negeri memiliki guru agama Budha. Terutama sekolah negeri yang tidak berada di kota besar. Di sisi lain, umat Budha di sejumlah daerah juga hanya sedikit yang memenuhi kualifikasi sebagai guru agama di sekolah.
Ramainya mahasiswa yang mengacungkan tangan tersebut berhasil memupus rasa gentar saya. Tadinya saya tidak menargetkan nilai tertentu. Bahkan saya tak ingin diperlakukan istimewa dan mendapat kemudahan nilai hanya karena membuka identitas saya sebagai mahasiswa non-Buddhis.
Andaikata pun saya gagal lulus, saya sudah siap untuk mencoret makul ini dari daftar transkrip nilai. Toh bagi saya ini cuma makul pilihan bagi. Saya sudah menempuh makul wajib agama saya di semester sebelumnya.
Namun niat tersebut langsung berubah di kuliah pertama. Kalau mahasiswa lain juga banyak yang tidak pernah belajar agama Budha di sekolah, berarti saya sama saja dengan mereka. Kejadian tersebut menumbuhkan motivasi. Saya jadi bersemangat untuk menantang diri saya sendiri, saya harus bisa lulus dari kelas ini.
Berbekal motivasi tersebut (dan dengan susah payah menghafalkan beberapa sutta singkat dalam Bahasa Pali), saya berhasil lulus dari makul tersebut.
Alhamdulillah.