Kisahku Belajar di Jurusan Ilmu Sesat, Tapi Justru Mendapatkan Hikmah Kehidupan

Kisahku Belajar di Jurusan Ilmu Sesat, Tapi Justru Mendapatkan Hikmah Kehidupan

Ini sekelumit kisah saya dan mungkin bisa saya ceritakan kepadamu. Ya, khusus untukmu

Kisahku Belajar di Jurusan Ilmu Sesat, Tapi Justru Mendapatkan Hikmah Kehidupan

Semasa kuliah di salah satu perguruan negeri, saya masuk di jurusan favorit di fakultas. Kuliah di jurusan tersebut terasa gagah, minimal seperti itu yang saya rasakan sebelum pindah ke jurusan Akidah Filsafat, waktu itu belum pakai Islam seperti sekarang. Dan, saya mendapat ejekan dan pertanyaan negatif dari beberapa kolega mahasiswa.“Kok pindah ke jurusan sesat sih?” begitu katanya.

Pertanyaan di atas memang berasal dari cibiran umum yang berkembang di kalangan mahasiswa kala itu “Akidah Filsafat itu sesat karena akidahnya saja filsafat bukan islam”. Mungkin anggapan belajar filsafat sama dengan kesesatan sudah begitu familiar di masyarakat, tentu juga merembes ke kalangan mahasiswa, terutama mahasiswa baru.

Ingatan tentang ejekan tersebut hadir kembali kala saya membaca buku “Serat Cabolek (Kuasa, Agama, Pembebasan)” karya S. Soebardi, saat masih kuliah. Bagaimana tidak, ketika dia menuliskan kisah Sunan Panggung dan Suluk Malang Sumirang dalam naskah Cabolek, diksi kesesatan seakan terdekonstruksi dari apa yang selama ini menancap dalam kepala saya.

Tidak seperti kebanyakan kita, “Suluk Malang Sumirang” mencela mereka yang mengikuti hukum Islam secara membabi buta, yang mengagungkan ibadah, seperti salat dan puasa, dan menjadikannya sebagai label pada diri sendiri sebagai Muslim yang baik. Sedangkan menurut kitab gubahan dari Sunan Panggung tersebut juga menjelaskan bahwa manusia sempurna adalah yang waspada dan tidak memiliki rasa takut.

Yang dimaksud oleh Sunan Panggung adalah manusia yang berani untuk menerjunkan dirinya sendiri ke dalam ajaran-ajaran yang menyimpang, tujuannya adalah untuk mendapatkan arti daripada kesesatan itu dan menggali kebenaran dalam kesesatan tersebut. Pemikiran Sunan Panggung mungkin mengejutkan bahkan sulit diterima, jika kita yang masih melihat sisi kebenaran tekstual.

Kesesatan sering dipandang sebagai sebuah status yang akan disandang seseorang sepanjang hidupnya. Perjalanan spiritual sering hanya dihargai jika memasuki batas posisi “aman” bagi sebuah komunitas, jika gagal mencapainya maka orang tersebut akan diliyankan. Jarang sekali kita melihat secara utuh penelusuran jalan spiritual seseorang dan menghormatinya sebagai sebuah pencarian yang mungkin saja tanpa akhir.

Wajar akhirnya jika ada seseorang mulai menapaki kembali jalan spiritualnya dalam pencarian yang Hakiki, seperti Sunan Panggung, maka yang diperlukan selain tekad yang bulat juga keberanian luar biasa. Melawan arus mayoritas tentu memiliki konsekuensi yang berat, hal ini tentu sudah dipikirkan matang siapapun yang ingin menempuh jalan tersebut.

Tersesat memang hanya dialamatkan bagi orang yang sedang mencari, bukan yang menetap. Tentu bukan perkara mudah, jika kita dibilang telah tersesat. Padahal, jika kita kembali pada apa yang disampaikan oleh Sunan Panggung, maka dalam sebuah pencarian ada dua kenikmatan yaitu perjalanannya dan pencapaiannya yang mungkin sulit dipahami oleh orang yang tidak menjalaninya.

Persoalan kesesatan dalam keislaman bukan barang yang asing dalam ranah keilmuan Islam. Walau bukan sesuatu yang familiar, persoalan kesesatan tidak hanya di ranah hukum Syariah belaka tapi banyak dimensi yang melihat kesesatan dalam Islam, seperti di ranah Tasawuf. Mungkin pesan penting dalam persoalan kesesatan adalah kehati-hatian menilai perjalanan spiritual dan keberanian memeriksa ke dalam diri yang mungkin jarang kita lakukan sendiri, sehingga lebih berbaiksangka terhadap orang lain.

Arkian, sekitar awal bulan Maret lalu saya menemani teman mewawancarai salah satu kyai di sekitaran Banjarmasin. Dia menceritakan tentang seorang orang arab biasa di salah satu wilayah kekuasaan khilafah Umar kala itu. Sebagai seorang seorang pemimpin, Umar inspeksi memakai unta ke satu wilayah dan menemui seorang tua yang tidak memperlakukannya seperti orang kebanyakan. Dia terlihat duduk santai saja tanpa berdiri memberi hormat pada Umar yang telah lewat di dekatnya.

Kejadian tersebut diketahui Ali yang kemudian mendatangi orang tersebut dan menanyakan mengapa ia tidak berlaku seperti orang lain saat khalifah datang atau lewat. Orang tersebut dengan pakaian lusuh ditanya oleh Ali tentang alasan perilakunya tersebut.

“Apakah kamu tidak mengetahui siapa yang telah lewat tadi?” tanya Ali.

“Iya, saya tidak mengetahuinya” jawab orang tersebut.

“Dia adalah Umar, sang Khalifah dan sahabat Rasulullah” sambut Ali

“Kalau dia adalah Umar, saya mengetahuinya tapi saya tidak mengetahui dia sebagai khalifah dan sahabat Rasulullah” jawab orang tersebut

Kemudian dia menjelaskan bahwa jika seorang sahabat Rasulullah apalagi khalifah maka ia harus menjalankan seluruh sunnah yang telah diwariskan kepada kita semua. Ali seketika memeluk orang tersebut dan mengatakan bahwa ia telah belajar hal penting, yaitu ilmu seseorang tidak dipandang dari jabatan atau status kehidupannya.

Ketika orang tersebut diajak oleh Umar ke Madinah untuk mengajarinya tentang Islam, karena telah mendengar kisah dari Ali ihwal orang itu. “Saya takut pada dirinya sendiri” jawab orang itu pada Umar.

Takut akan riya, sombong dan tidak mampu menjaga hati adalah alasan utama orang tua itu menolak ajakan Umar, karna popularitas tentu bisa dengan mudah didapatkannya yang bisa membuat hatinya terlena. Orang tua itu dalam cerita di atas disebut kyai yang kami datangi tidak diketahui identitasnya.

Bagi kyai tersebut, seorang yang berilmu dan dekat dengan Allah memiliki predikat wali itu bisa saja tidak diketahui atau melakukan hal-hal yang di luar nalar. “Jadi berbaiksangkalah pada orang meski dia melakukan kesalahan” begitu pesan beliau pada kami di akhir perjumpaan.

Fatahallahu alaihi futuh al-arifin