“Saya ingat betul bagaimana mereka membakar masjid kami, menghancurkan rumah kami, karena kami dianggap sesat. Ya, kami adalah Ahmadiyah,” ucap Ita (nama disamarkan), salah seorang peserta diskusi kala itu.
Air mata Ita tak bisa lagi dibendung, tangisnya meledak memenuhi ruang ballroom. Peserta yang hadir saat itu hanya terdiam, tanpa sadar juga ikut menitikkan air mata. Bahkan Kalis Mardiasih yang menjadi pembicara kala itu juga tak bisa menahan tangisnya.
Ita, seorang gadis belia yang ceria ini tak kusangka punya pengalaman pahit di masa kecilnya. “Saya sengaja kuliah jurusan Psikologi agar saya dapat memulihkan psikis saya,” ungkapnya.
Kepadaku, Ita dengan senang hati menceritakan pengalamannya menghadapi berbagai diskriminasi. Ita mengaku, diskriminasi dan sikap intoleransi mulai menyerang kelompoknya setelah MUI mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah adalah kelompok sesat. Sejak saat itu, Ita dan warga sekampung yang merupakan jemaat Ahmadiyah mendapatkan serangan dari orang-orang tak dikenal.
Ita masih duduk di bangku SD ketika segerombolan orang menyerbu kampungnya, sebuah kampung di Cianjur yang dikenal dengan jemaat Ahmadiyahnya. Malam itu, Ita dan Ibunya sedang membeli telur di warung dekat rumahnya. Tiba-tiba sekelompok orang menyerbu kampungnya, sambil mengacungkan benda tajam di tangan, mereka dengan semangat meneriakkan takbir.
Seharusnya Ita tak perlu takut dengan suara takbir yang menggema, toh setiap adzan ia pun mendengar takbir. Tapi kali ini berbeda, takbir itu justru terdengar menakutkan.
Melihat gerombolan itu, Ita dan ibunya mulai lari tergopoh-gopoh. Tubuh mungil Ita terjatuh, sedangkan Ibunya telah berlari mendahuluinya. Dari jauh terdengar suara orang berteriak “Bunuh dia, bunuh dia”. Dengan sekuat tenaga Ita kembali bangkit, kemudian menyusul Ibunya dan mereka bersembunyi di rumah.
Namun sayang, rumah mereka tak lagi aman, segerombolan orang itu telah mengepung rumahnya. Batu-batu besar dilemparkan ke arah rumahnya, merontokkan kaca jendela yang mulai hancur berkeping-keping. Rumahnya mulai dirusak dan dihancurkan. Semua barang di rumahnya dijarah, seolah-olah itu adalah ghanimah (harta rampasan) yang halal untuk diambil.
Ita dan keluarganya akhirnya bersembunyi di ruang belakang, kemudian diam-diam melarikan diri ke sebuah sawah bersama jemaat yang lainnya. Ketika mereka sedang merangkak di sawah, tiba-tiba ada seseorang yang bertanya “Siapa itu? Siapa di sana?”. Dengan beraninya Ibu Ita keluar dari persembunyiannya.
Ternyata itu adalah seorang jemaat Ahmadiyah lain yang tempat tinggalnya berada terpencil di tengah sawah. Mengetahui penyerangan tersebut, orang itu akhirnya membawa Ita dan para jemaat lainnya mengungsi ke rumahnya.
Kondisi kampung Ita masih belum kondusif, beberapa kali kabar penyerangan kembali tersiar. Demi keamanan, mereka akhirnya tetap mengungsi di pertengahan sawah. Mendirikan tenda-tenda dari jerami-jerami kering agar dapat berteduh dari panas dan hujan.
Tidak hanya itu, Ita juga beberapa kali pernah mengalami pelecehan seksual. Saat hendak berangkat ke sekolah, ada beberapa orang laki-laki berkata “Eta sia orang Ahmadiyah pegang iyeuna (Itu orang Ahmadiyah pegang tuh ininya –sambil menunjuk ke dada)”.
Selain Ita, ada pula Hala yang juga mengalami diskriminasi. Sebelumnya, warga di kampung Hala hidup dengan damai meskipun mereka berbeda-beda, tidak semua penduduk di sana adalah jemaat Ahmadiyah. Bahkan ayah Hala telah menjabat sebagai ketua RW selama 18 tahun dan mereka tetap hidup dengan damai.
Berbagai perlakuan intoleran baru muncul setelah MUI mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah sesat. Hala ingat betul peristiwa penyerangan terhadap kelompoknya terjadi pada 28 April 2008. Hala yang saat itu hanya seorang anak kecil baru saja pulang dari rumah sakit usai operasi amandel.
Malam itu, tiba-tiba ada ada massa yang menyerbu kampungnya. Sambil mengumandangkan takbir, mereka mengacungkan samurai-samurai tajam. Ayah Hala yang merupakan ketua jemaat Ahmadiyah di sana berusaha menghalangi dan bernegoisasi. Namun massa tersebut tidak mau menempuh jalan damai, bahkan Ayah Hala diancam akan dipenggal kepalanya.
Akhirnya jemaat Ahmadiyah di sana mengalah dan tak membuat perlawanan. Masjid dan madrasah mereka akhirnya dibakar. Barang-barang di sana dijarah hingga tak tersisa apapun. Keesokan harinya, Hala melihat masjid tempat mereka beribadah telah hancur rata dengan tanah, hanya ada sisa-sisa kayu yang masih dikerubungi asap.
Hala berusaha tegar menceritakan peristiwa itu kepadaku. Tak sedikit pun air mata keluar dari matanya “Aku bisa aja nangis, tapi aku selalu berusaha tegar, aku ga boleh nangis”, ucap Hala. Hala terus berupaya menyebarkan sikap toleransi dan keadilan. Saat ini bahkan ia sedang menempuh kuliah di bidang Hukum agar kelak ia bisa menegakkan keadilan.