Suatu hari Khalifah al-Mutawakkil (847-861), Khalifah ke-10 Dinasti Abbasiyah membaca suatu ayat di depan seorang wazirnya yakni al-Fath bin Khaqan. Ia membaca surat al-An’am ayat 109.
{وَمَا يُشْعِرُكُمْ أَنَّهَا إِذَا جَاءَتْ لاَ يُؤْمِنُونَ} (الأنعام: 109)
Namun, Khalifah al-Mutawakkil tidak membaca lafadz أَنَّهَا dengan fathah melainkan dengan kasrah.
Mendengar ada yang kurang pas pada bacaan al-Mutawakkil, sang menteri langsung mengoreksi.
“Maaf paduka, setahu hamba bacaan yang benar adalah dengan di-fathah bukan kasroh.”
“Kata siapa kamu hah? Ini sudah benar sesuai yang diajarkan guru-guru saya,” bantah al-Mutawakkil.
Keduanya tidak mau mengalah, baik Khalifah al-Mutawakkil maupun sang wazir punya argumen yang sama-sama kuat. Akhirnya mereka bersepakat untuk bertaruh. Siapa yang salah harus memberikan 10 ribu dirham kepada yang benar.
Mereka berdua pun menghadap pada Yazid bin Muhammad al-Mahliby seorang ahli Nahwu di masanya untuk mencari pencerahan atas masalah tersebut.
Setelah mendengar penjelasan dari keduanya. Yazid al-Mahliby merasa sulit untuk memutuskan. Sebenarnya ia tahu bahwa yang benar adalah pendapat sang Wazir. Namun, ia merasa tidak enak jika harus menyalahkan sang khalifah. Sehingga ia pun berpikiran untuk menyerahkan perkara ini pada karibnya, Imam al-Mubarrad yang juga seorang pakar bahasa.
Imam al-Mubarrad sendiri pada saat itu memang sangat terkenal kepakarannya dalam bidang bahasa. Banyak yang mengira bahwa apa yang disampaikannya adalah sebatas kemampuan ‘retorika’ belaka. Namun, hal itu dijawabnya dengan berbagai karyanya di bidang bahasa yang sangat luar biasa, di antaranya, al-Kami fillughohl, al-Muqtadzob, al-Fadzil, Syarh Lamiyat al-Arab dan lain sebagainya. Yang semakin membuktikan otoritasnya di bidang bahasa.
Akhirnya al-Mubarrad pun dipanggil untuk menghadap sang Khalifah supaya memutuskan perkara itu. Khalifah al-Mutawakkil dan wazirnya berdiri dan berharap cemas. Lantas menyuruhnya untuk segera menyampikan jawabannya.
“Wahai paduka, mayoritas masyarakat membaca lafadz itu dengan di-kasrah,” jawab al-Mubarrod.
Berubahlah wajah Khalifah menjadi berseri-seri. Sumringah. Sontak ia langsung menendang-nendang sang wazir yang duduk di bawah singgasanannya sambil tertawa penuh kemenangan.
“Tuh kan, mana sekarang uangnya? Bawa ke sini!”
Sang wazir seakan tidak percaya dan ia membalik badan hendak memprotes pada Imam al-Mubarrad. Namun, belum sempat ia memprotes al-Mubarrad sudah mendahului.
“Tapi, maaf wahai paduka, memang mayoritas orang-orang membaca dengan di-kasrah. Namun orang-orang itu salah. Yang benar adalah dengan fathah.”
Jleeppp. Ruangan itu hening sebentar. Keheningan itu disusul gelak tawa dari sang wazir dan Khalifah al-Mutawakkil.
Begitulah kecerdikan Imam al-Mubarrad yang bias melerai perdebatan keduan orang tersebut tanpa menyakiti salah satunya. (AN)
Wallahu a’lam.