Karena Sifat Dengki, Menteri Ini Kena Batunya

Karena Sifat Dengki, Menteri Ini Kena Batunya

Seorang menteri pada masa Khalifah al-Mu’tashim Billah kena batunya karena sifat dengki pada orang lain.

Karena Sifat Dengki, Menteri Ini Kena Batunya
Ilustrasi: Sifat dengki ingin kebahagiaan orang lain hilang. Foto: Shutterstock

Abu Ishaq Al-Mu’tashim bin Harun atau yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Mu’tashim Billah ialah khalifah Bani Abbasiyah pada kisaran tahun 833-843 M. Khalifah Al-Mu’tashim Billah merupakan orang yang mempunyai kedisiplinan tinggi, bertubuh kekar dan kuat. Namun ada kisah lain tentang orang di sekitarnya. Kisah ini diceritakan dalam kitab Al-Jawahir Al-Lu’lu’iyah yang merupakan komentar atau penjelasan dari kitab hadits Arbain Nawawi tentang ajaran agar kita tidak memiliki sifat dengki, hasud, dan iri.

Pada masa kepemimpinan Al-Mu’tashim Billah, ada seorang laki-laki saleh yang dipercaya oleh sang khalifah karena sikap dan perbuatannya yang baik. Lelaki saleh ini bahkan diperbolehkan masuk ke kamar sang khalifah tanpa ijin untuk menasehatinya.

Namun kebaikan dan kesalehan seorang laki-laki ini tidak disukai oleh seorang menteri dari Khalifah Al-Mu’tashim Billah. “Kalau laki-laki ini tidak kubunuh, ia akan mengambil hati amirul mukminin dan akan menjauhkanku darinya,” gerutu sang menteri.

Ia terus memikirkan hal yang harus dilakukan untuk mempertahankan kedudukannya sebagai menteri. Tentu juga agar khalifah Al-Mu’tashim Billah tidak lagi percaya pada lelaki saleh yang keberadaannya mengancam eksistensinya.

Pada suatu waktu sang menteri masuk ke dalam ruangan dan mulai menghasut Khalifah al-Mu’tashim Billah agar ia tak lagi percaya pada sang lelaki saleh.

“Wahai Khalifah al-Mu’tashim Billah, lelaki saleh itu telah mengatakan ke semua orang bahwa mulutmu itu berbau tidak sedap, sungguh jika engkau tidak percaya, undang dan berbicaralah di depan lelaki saleh tersebut maka ia akan menutup mulut dan hidungnya,” hasut sang menteri

“Kalau benar seperti itu, maka undanglah lelaki itu untuk menemuiku,” titah sang khalifah. Namun sebelum perdana menteri menyampaikan undangan Khalifah Al-Mu’tashim Billah, sang menteri terlebih dahulu mengundang lelaki saleh dan mengajaknya untuk makan jamuan yang berbahan bawang putih.

Tak lama berselang ketika ia selesai makan, sang menteri menyampaikan undangan Khalifah Al-Mu’tashim Billah kepada lelaki itu.

“Hai lelaki saleh, aku ingin menyampaikan bahwa Khalifah Al-Mu’tashim Billah mengundangmu untuk datang menemui beliau. Namun aku memberi tahumu bahwa Khalifah Al-Mu’tashim Billah tidak suka pada bau bawang putih, padahal kita baru saja memakan makanan yang mengandung bau bawang putih. Maka, nanti agar Khalifah Al-Mu’tashim Billah tidak mencium bau bawang putih. Sebaiknya ketika kau bertemu dan berbicara dengan Khalifah Al-Mu’tashim Billah, tutuplah mulutmu!” Lelaki saleh itu pun mempercayai begitu saja apa yang disampaikan oleh sang menteri tersebut.

Lelaki saleh tersebut berangkat memenuhi undangan dari Khalifah Al-Mu’tashim Billah, ia masuk ke dalam ruangan sang khalifah dan mereka berbincang seperti biasanya. “Mendekatlah wahai lelaki saleh,” perintah sang khalifah. Lelaki saleh bergegas mendekat sembari ia menutup mulutnya. Khalifah al-Mu’tashim Billah mengajak lelaki saleh berbicara namun tetap saja lelaki saleh itu menutup mulutnya.

“Ternyata apa yang dikatakan oleh menteri itu benar adanya,” pikir sang khalifah. Meledaklah rasa marah Khalifah Al-Mu’tashim Billah kepada lelaki saleh dan ia berniat memberi hukuman mati secara diam-diam.

Khalifah al-Mu’tashim Billah menyuruh lelaki saleh itu pergi mendatangi pengawalnya dengan membawa surat dari sang khalifah. Belum sampai pada tujuannya di tengah perjalanan lelaki saleh bertemu dengan sang menteri. “Setelah kamu bertemu dengan Khalifah Al-Mu’tashim Billah apa yang kamu peroleh?” tanya sang menteri.

“Aku mendapatkan surat dari Khalifah Al-Mu’tashim Billah. Aku diperintahkan untuk menemui pengawalnya dengan membawa surat ini,” jawab lelaki saleh.

Sang menteri yang memiliki sifat dengki dan rakus ini menganggap bahwa isi dalam surat itu adalah hadiah harta yang sangat mewah yang diberikan khalifah kepada lelaki saleh. “Kalau begitu biarkan aku saja yang membawa surat itu ke pengawal sang khalifah. Surat itu akan kutukar dengan uang 1000 dinar,” bujuk sang menteri. Lelaki saleh itu pun setuju saja dan memberikan surat khalifah kepada sang menteri

Dengan riang gembira perdana menteri memberikan surat tersebut kepada kepala pengawal khalifah. Kepala pengawal membaca surat tersebut dan menyampaikan isi dari surat tersebut kepada sang menteri. Wajah sang menteri tiba-tiba putus asa karena sangat terkejut dengan apa yang disampaikan kepala pengawal kepada dirinya.

Sang menteri sempat mengelak bahwa surat yang dibawanya bukanlah miliknya. Namun kepala pengawal menyatakan bahwa orang yang membawa surat tersebut harus dihukum mati dan kepala pengawal harus segera mengeksekusinya.

Pada suatu waktu, Khalifah Al-Mu’tashim Billah tiba-tiba resah teringat kepada lelaki saleh dan sang menterinya yang sudah lama tak terlihat lagi ke istana. “Kemana menteriku satu itu, sudah lama aku tak melihatnya datang ke istana?” tanya sang khalifah kepada para pengawalnya.

Namun pengawal khalifah tidak ada yang tahu keberadaan dan sebab sang menteri tidak lagi ke istana. Sang khalifah juga mengajukan pertanyaan kepada para pengawalnya tentang nasib lelaki saleh itu, para pengawalnya pun sontak menjawab bahwa lelaki saleh itu hidup makmur di luar kota. Sontak saja khalifah sangat kaget bukan kepalang. Khalifah segera mengutus para pengawal pergi ke luar kota dan membawa lelaki saleh itu untuk menemuinya.

“Kenapa kamu masih bisa hidup dengan makmur? Lalu kenapa juga engkau menceritakan bahwa mulutku berbu busuk di hadapan orang banyak?” interogasi sang khalifah. “Demi Allah aku tak mungkin melakukan itu wahai Amirul Mukminin,” jawab lelaki saleh kaget.

Lelaki saleh itu pun menceritakan kisahnya dari awal hingga akhir. Hingga akhirnya khalifah al-Mu’tashim Billah paham apa yang terjadi dan mengangkat lelaki saleh tersebut menjadi menteri.

Jelaslah bahwa sifat dengki dan tak pernah berujung baik. Maka Islam melarang kita untuk mendengki. Sedangkan sifat hasud lebih ditekankan pada sifat dengki dan iri atas kenikmatan yang diberikan Allah kepada seseorang sembari mengharap nikmar itu hilang dari orang tersebut. Wal iyyadu billah. (AN)

Wallahu a’lam.