Hubungan antara guru dan murid, atau kyai dan santri, tidaklah cukup jika hanya terbatas hubungan lahiriah. Karena hubungan lahiriah terbatas oleh ruang dan waktu. Lain halnya ketika berupa hubungan batiniah. Sekalipun seorang kyai atau guru sudah meninggal, santri atau murid yang terus merawat hubungan batiniah dengan guru mereka, tetap bisa ngalap barokah. Ada satu kisah tentang ulama yang ditegur oleh gurunya lewat mimpi. Usut punya usut, ternyata teguran itu datang karena sang ulama berniat untuk menjual buku-bukunya. Dalam arti, ia berniat untuk berhenti belajar.
Kisah itu dialami oleh Ahmad bin ‘Ajibah, seorang mufassir sekaligus sufi asal Maroko. Kisah tersebut beliau tulis dlam buku autobigrafinya yang berjudul al-Fahrasat. Semua bermula ketika Ibn ‘Ajibah berniat untuk mencukupkan diri untuk belajar. Ia merasa sudah waktunya untuk mempraktekkan ilmu-ilmu yang telah didapat.
Tentu niatan tersebut bukan karena malas untuk belajar, Ibn ‘Ajibah hanya ingin menempuh jalan spiritual dengan tujuan mendapatkan pengetahuan batiniah. Dalam khazanah Tasawuf, seseorang harus menempuh jalan spiritual terlebih dahulu untuk memperoleh pengetahuan dari Tuhan yang dilimpahkan ke dalam hatinya.
Sebenarnya, ayah dari Ibn ‘Ajibah keberatan dengan niatan anaknya tersebut. Karena sang ayah sangat menginginkan anaknya kelak bisa menjadi seorang qadhi. Namun, Ibn ‘Ajibah sepertinya telah memantapkan niatnya. Beliau pun berencana untuk menjual buku-buku yang dimilikinya.
Hal yang tak disangka terjadi. Ketika tidur, Ibn ‘Ajibah bermimpi bertemu salah seorang gurunya yang bernama Sidi Thalhah (Abu Ya’la Thalhah bin Abdullah ad-Duraij). Dalam mimpinya, beliau sedang berziarah ke makam sang guru. Ketika berdoa, beliau melihat sang guru berdiri di hadapannya, lalu membungkuk untuk memberi penghormatan.
Setelah itu, terjadilah percakapan antara Ibn ‘Ajibah dengan gurunya itu. Beliau mengutarakan keinginannya untuk menjual buku dan fokus untuk ber-tabattul (meninggalkan dunia untuk fokus beribadah). Setelah cerita selesai, sang guru menanggapinya.
“Bacalah,” pinta sang guru. Ibn ‘Ajibah bertanya untuk memastikan, “Apakah maksud anda membaca ilmu?” Sang guru menjawab, ”Benar. Bacalah ilmu, terus menerus.”
Setelah ditegur oleh gurunya lewat mimpi, Ibn ‘Ajibah mulai kembali belajar. Beliau tetap berusaha melaksanakan teguran gurunya, meski sebenarnya hatinya terus-menerus condong untuk fokus beribadah. Untuk menggambarkan kondisinya, beliau menuliskan: “Aku duduk dalam majelis ilmu dalam rangka mematuhi perintah guruku yang menyuruhku ilmu. Dan aku tidak paham sama sekali penjelasan dari pengajarku, karena aku sibuk berzikir kepada Allah dan bersholawat kepada Nabi Saw.”
Pada akhirnya, Ibn ‘Ajibah tidak ‘berhasil’ merealisasikan niatnya untuk berhenti belajar. Beliau tidak benar-benar berhenti belajar, melainkan hanya berpindah fokus untuk mendalami ilmu-ilmu batin serta menempuh jalan spiritual. Berawal dari ditegur gurunya lewat mimpi, Ibn ‘Ajibah menjadi salah seorang ulama yang menghasilakan banyak karya. Termasuk syarah atas kitab al-Hikam karya Ibn ‘Athoillah yang banyak dikaji di Indonesia, yakni kitab Iqadhul Humam fi Syarhil Hikam.
Kisah di atas juga memberi pelajaran, bahwa betapa besarnya perhatian ulama kepada ilmu. Menurut Yusuf al-Qaradhawi, tidak jarang ditemukan seorang ulama terus belajar hingga menghembuskan nafas terakhir. Ketika kondisi sudah tak berdaya dan menyambut ajal, mereka akan meminta anak atau kerabatnya untuk membacakan kitab tertentu untuknya. Tujuannya agar dia bisa tetap belajar, meski hanya mendengarkan. [NH]