Ini kisah Yahya bin Ma’in dan warisannya. Ilmu merupakan suatu hal yang penting yang harus dimiliki setiap manusia di muka bumi ini. Karena ilmu merupakan penunjang juga kualitas diri untuk mencari masa depan yang lebih cerah. Dengan ilmu kita bisa membedakan mana yang benar mana yang salah, mana kebaikan mana keburukan, mana keputusan yang baik untuk diambil mana yang tidak, juga dengan ilmu kita bisa melatih pemikiran dengan luas serta menjadikan kita pribadi yang lebih bertanggung jawab juga dewasa dalam mengambil keputusan dalam sebuah permasalahan baik hidup ataupun pekerjaan. Jika hidup tanpa memiliki atau mencari ilmu, kita bagaikan manusia yang hidup enggan namun matipun tak mau. Intinya kita hidup tanpa arah dan tujuan yang jelas.
Menuntut ilmu bukanlah perkara mudah dan sederhana. Butuh pengorbanan dan kesabaran tingkat tinggi untuk menguasainya. Selain itu, godaan dalam proses mencari ilmu juga cukup banyak, beraneka ragam, dan datang silih berganti; baik godaan dari luar maupun dalam diri sendiri. Kesuksesan seorang pelajar sangat ditentukan oleh sejauh mana dia mampu mengusir setiap godaan dan sejauh mana dia berkorban.
Salah satu kisah pengorbanan demi ilmu di masa dahulu adalah kisah Yahya bin Ma’in. Sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Fattah Abu Gudah dalam Shafahat min Shabril Ulama, Yahya bin ma’in adalah pemuka para imam dalam ilmu Jarh wa Ta’dil sekaligus guru Imam Bukhari, Imam Muslim dan para imam hadis lainnya. Beliau hidup pada masa Khalifah Abu Ja’far al-Manshur.
Suatu ketika ayah Yahya yaitu Ma’in diangkat menjadi sekretaris Abullah bin Malik. Beliau pun diberi kepercayaan untuk menangani pajak penduduk Rayy. Sebagai seorang sekretaris, tentu ayahnya Yahya mempunyai penghasilan yang banyak.
Namun pada suatu waktu, Ayahnya Yahya tersebut meninggal dunia dan meninggalkan banyak harta warisan berupa satu juta lima puluh ribu dirham. Yahya bin Ma’in yang mendapatkan warisan tersebut ternyata tidak menggunakannya untuk bersenang-senang dan membeli barang yang diinginkannya.
Beliau justru menggunakan seluruh harta tersebut untuk kepentingan kepentingan ilmu khususnya ilmu hadis, hingga tidak tersisa sedikitpun dari uang warisan tersebut. Bahkan untuk membeli sandal pun Yahya bin Ma’in tidak mampu, karena uangnya sudah digunakan semua untuk kepentingan ilmu.
Hingga akhirnya Yahya bin Ma’in meninggalkan banyak buku, mulai dari 114 qimathr (keranjang dari rotan untuk menjaga buku), empat gentong besar penuh dengan buku. Kemudian 20 hub (gentong besar lagi lebar) yang semuanya berisi buku.
Usaha dan pengorbanan memang tidak akan pernah menghianati hasil, termasuk dalam mencari dan menjaga ilmu. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Malik;
لا يبلغ أحد من هذا العلم ما يريد حتى يضربه الفقر ويؤثره على كل شئ
“Seseorang tidak akan mencapai ilmu ini sesuai dengan apa yang diharapkan sehingga ia menjadi fakir dan berpengaruh kepada semuanya.”
Teruslah berjuang dan berkorban demi ilmu, karena apa yang kita korbankan hari ini adalah apa yang kita tanam hari ini. Sehingga di masa mendatang kita akan memetik hasil dari pengorbanan, perjuangan dan apa yang telah kita tanam hari ini.
Sebab mencintai ilmu lebih baik daripada mencintai harta benda yang ketika mati tidak bisa ikut dibawa. Sedangkan ilmu yang bermanfaat dan barokah bisa menyelamatkan manusia dari api neraka.