Dikisahkan ada seorang ulama bernama Al Imam Abdurrahman bin Muhammad Al Jufri, murid dari Al Imam Asy Syaikh Abu Bakar bin Salim.
Beberapa pemimpin (sultan/raja) di zaman itu menginginkan fatwa dari ulama, dimana fatwa tersebut tidak ada dalam syariat yang mu’tamad (kuat) tetapi ada di dalam fatwa yang minoritas (sedikit).
Para Ulama yang bersifat wara’ menolak untuk memfatwakan bagi pemimpin tersebut. Kemudian para ulama tersebut menyarankan untuk memintakan fatwa kepada Pemimpin para ulama di zaman itu yaitu Al Imam Abdurrahman bin Muhammad Al Jufri, kalau beliau izinkan kami para ulama ikut beliau.
Dan datanglah ‘pemimpin’ itu kepada Al Imam Abdurrahman Al Jufri yang kebetulan juga masih ada hubungan kekerabatan keluarga dengan pemimpin itu (Putri pemimpin itu istri beliau).
Ketika itu Al Imam Abdurrahman Al Jufri sedang berada di majelisnya disitu ada kaum wanita dibalik satir (penghalang) dan di depan banyak kaum laki-laki yang banyak hadir majelisnya beliau.
Lalu pemimpin itu mengadukan sebuah permasalahan dan permohonan fatwa. Maka Al Imam Abdurrahman Al Jufri menjawab dengan tegas bahwa beliau tidak akan mengeluarkan fatwa kecuali dengan pendapat fatwa yang terkuat (mu’tamad) di dalam madzhab ini, tidak bisa beliau memberikan fatwa yang lain.
Kemudian pemimpin itu mengancam, “Seandainya kamu tidak memfatwakan hal ini untuk saya, maka putriku yang merupakan istrimu akan saya ambil”.
Maka Al Imam Abdurrahman Al Jufri berkata, “Silahkan kamu lakukan apa saja terserah kamu, karena agama tidak bisa dikorbankan untuk hal-hal semacam ini”.
Pemimpin itu melanjutkan, “Kalau begitu aku ambil anakku dari engkau.”
Al Imam Abdurrahman Al Jufri berkata lagi, “Kalau kamu mau ambil anakmu silahkan, tapi ketahuilah bahwa anakmu (istri beliau) itu sedang hamil, namun saya juga punya istri yang lain, Dengan izin Allah hamilnya anakmu itu akan berpindah ke istriku yang lain”.
Maka istri pertama dari beliau itu mendengar perkataan itu, istri pertama merasakan ada janin yang tumbuh di perutnya.
Dan hamilnya anak dari pemimpin seketika itu juga hila dan berpindah ke istri pertama Al Imam Abdurrahman Al Jufri.
Bersama ketegasan Al Imam Abdurrahman Al Jufri dalam menegakkan agama ini, tidak seharipun beliau berdiri mencaci-maki pemimpin itu. ataupun mengumpulkan massa untuk menentang kepada pemimpin itu.
Mengapa bisa seperti itu ?
Sebab mereka para ulama merupakan pengampu amanat, yang membawa agama yang agung, mereka tidak mengikuti hawa nafsu, dan mereka tidak melakukan hal-hal yang dapat membahayakan umat, dan mereka tidak melakukan hal-hal yang menimbulkan kerusakan diatas kerusakan, karena mereka adalah kaum yang telah mendapat Hidayah dari Allah, mendapatkan anugerah dari Allah menjadi orang yang beruntung, mereka tidak punya tujuan lain selain dari Allah Subhanahuwata’ala, dan mereka senantiasa berjalan seiring dengan Al Qur’an.
— Kutipan Tausiyah Al ‘Allamah Al Musnid Al Habib Umar bin Hafidz, Ponpes Al Fachriyah, Ciledug, Tangerang, 14-10-2017 —