Kisah Tiga Hakim yang Diuji Emas oleh Malaikat yang Menyamar

Kisah Tiga Hakim yang Diuji Emas oleh Malaikat yang Menyamar

Seorang hakim diuji malaikat dengan emas, akankah ia mau menerima?

Kisah Tiga Hakim yang Diuji Emas oleh Malaikat yang Menyamar

Tersebutlah kisah yang unik dalam kitab Jawahir Al-Lu’lu’iyah, sebuah anotasi dari kitab Al-Arbain An-Nawawiyah yang sangat terkenal itu, berkisah tentang malaikat yang menguji keadilan hakim dalam memutus perkara.

Kisah ini terjadi pada masa Bani Israel, namun masih sangat layak untuk kita renungkan kembali di tengah karut-marut dunia peradilan kita, juga sebagai bahan kontemplasi untuk kembali memaknai keadilan hukum yang acap dikesampingkan di depan harta dan kekuasaan, keadilan yang kerap dikerdilkan, dan hukum yang seringkali tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Keadilan, dalam pengertian Imam Ali bin Abi Thalib yang dikutip oleh Murtadha Muthahhari adalah memberikan seseorang atas hak-hak yang seharusnya memang dia peroleh. Namun setelah itu, jika ia berkenan memberikan haknya kepada liyan, itulah kebaikan. Maka, kisah ini bisa sedikit memberikan gambaran mudahnya mengatakan keadilan dibanding melaksanakannya.

Kisah ini merupakan catatan dari hadis ke-33 kitab Al-Arbain An-Nawawiyah yang menjelaskan tentang pentingnya menghadirkan bukti pada setiap tuduhan. Bagi pihak tertuduh, juga penting untuk menyatakan sanggahan dengan sumpah. Sebagai anotasi atas hadis tersebut, Syaikh Muhammad bin Abdullah Al-Jurdani menyatakan bahwa yang tak kalah penting dari semua proses peradilan adalah menolak risywah dalam proses memutus perkara.

Risywah atau rasuah adalah perbuatan tercela yang marak terjadi di sekitar kita. Penyuapan dengan tujuan memenangkan perkara hukum tersebut, bukan saja perbuatan buruk, tapi juga membungkam keadilan. Rasulullah pun menyatakan, “Allah melaknat orang yang menyuap dan orang yang disuap, serta penghubung keduanya.”

Alkisah, ada tiga hakim yang diberi mandat oleh masyarakat. Ketiganya ditugaskan dan diamanahkan sebagai pengadil, penyelesai konflik yang berwenang di tengah masyarakat mereka. Ketiganya diharapkan dapat bertindak adil, karena mereka juga terkenal sebagai hakim-hakim yang pandai dan tegas.

Suatu ketika, turunlah malaikat guna menguji ketiga hakim tersebut dengan menyamar sebagai seorang penunggang kuda. Bertepatan pada saat yang sama, ada seseorang yang sedang memberi minum sapi betinanya di sebuah sungai dengan anak sapi yang berada di belakang sang induk.

Ketika malaikat penunggang kuda itu lewat, tiba-tiba si anak sapi mengikuti malaikat yang menyamar serta kuda yang ditungganginya. Laiknya induknya, si anak sapi selalu membuntuti kuda yang ditunggangi oleh malaikat penyamar tersebut.

Sang pemilik anak sapi tak terima jika anak sapi itu mengikuti malaikat yang menunggang kuda itu. Ia meminta anak sapi itu dikembalikan padanya, namun malaikat tersebut menolak permintaannya. Pemilik sapi memohon berkali-kali. Sang pemilik sapi dan malaikat pemilik kuda pun berselisih amat lama. Masing-masing kekeh dengan pendiriannya.

Bagi pemilik sapi, jelaslah anak sapi itu miliknya karena ia membawa induknya, sapi betina. Bagi malaikat, ialah pemiliknya. Karena buktinya sang anak sapi, selalu mengikuti dirinya. Hingga di akhir perselisihan itu, mereka memutuskan untuk menyelesaikan perkara ini kepada tiga hakim yang ada di kota tersebut.

Pemilik sapi dan pemilik kuda pun mengemukakan permasalahan pada hakim pertama. Pemilik kuda terlebih dahulu menawarkan hadiah berupa emas kepada sang hakim pertama, supaya dia memenangkan persoalan ini. Hakim pertama pun tergoda dan mengiyakan permohonan pemilik kuda. “Tapi bagaimana aku dapat memutuskan perkara ini?” tanyanya pada pemilik kuda. “Mudah saja, putuskan saja kepada siapa anak sapi tersebut akan ikut. Maka dialah pemiliknya.” Sang hakim memutuskan seperti permintaan pemilik kuda. Ketika dilepaskan, si anak sapi selalu ikut penunggang kuda. Walhasil malaikat yang menyamar sebagai penunggang kuda memenangkan perkara itu.

Merasa tak puas dengan jawaban hakim pertama, karena dianggap diputuskan dengan tidak adil, pemilik sapi mengajak datang pada hakim kedua. Namun nahas kejadian yang sama terulang kembali. Dengan diiming-imingi emas oleh malaikat yang menyamar, hakim kedua tergoda dan mengiyakan permintaan malaikat yang menyamar untuk memenangkan persoalan ini. Persis seperti kejadian pada hakim pertama, hakim kedua memutuskan bahwa anak sapi tersebut milik orang yang diikutinya. Lagi-lagi, si anak sapi kembali mengikuti malaikat penunggang kuda.

Pemilik sapi masih merasa tidak puas dengan jawaban yang diperolehnya. Ia merasa keputusan dua hakim itu jauh dari kata adil. Datanglah mereka berdua pada hakim ketiga. Kejadian pada hakim pertama dan kedua terjadi lagi. Sebelum hakim memutuskan perkara antar mereka berdua, terlebih dahulu penunggang kuda menawarkan hadiah emas kepada hakim ketiga. Tentu dengan maksud meminta agar perkara ini dimenangkan oleh pemilik kuda. Namun, hakim ketiga ini sepertinya enggan mengadili perkara ini. Tentu hal ini membuat malaikat heran.

Berkali-kali didesak, sang hakim masih enggan memutus perkara. Alasannya lebih membuat masygul lagi, hakim ketiga menyatakan bahwa dirinya sedang haid. Oleh karena itu, berdasarkan aturan ia tidak boleh menghakimi dan memutus perkara. Semakin terheran-heranlah malaikat kepada hakim ketiga yang unik ini.

“Mana mungkin kau bisa haid, sedangkan kau ini adalah laki-laki,” tanya malaikat pemilik kuda keheranan. Dengan tenang hakim ketiga menjawab, “Sama saja dengan anak sapi itu, mana mungkin anak sapi itu milikmu. Karena kau menunggangi kuda sedangkan kuda tak mungkin mempunyai anak sapi. Pasti anak sapi itu milik laki-laki pemilik sapi itu. Sejak kapan kuda melahirkan anak sapi?” Maka diputuskanlah, bahwa si anak sapi adalah milik sang pemilik sapi betina.

Dari cerita tersebut, bisa kita lihat betapa mudahnya manusia tergoda dengan harta dan kekuasaan. Sepenggal cerita tersebut menunjukkan kepada kita bahwa kadang keadilan sudah sangatlah jelas, bahkan orang awam pun bisa melihat dengan jelas, betapa keadilan sudah terang benderang untuk diputuskan. Namun untuk memutuskan keadilan, butuh keberanian, kejujuran, juga komitmen yang tinggi.

Maka, seperti sabda Rasulullah, ketika seorang menjadi pengadil atau hakim, ia sudah memasukkan sebagian kakinya ke surga dan satu bagian lagi ke neraka. Tinggal kemana ia akan memilih melangkah selanjutnya. (AN)

Wallahu a’lam.