Alkisah, rombongan sufi sedang mengadakan perjalanan religi. Jumlah sufi dalam rombongan itu sebanyak 40 orang. Kisah ini diceritakan oleh Muwaffaquddin Abu Muhammad atau dikenal dengan Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdisi dalam kitabnya, At-Tawwabiin.
Di daerah sekitar Baghdad, mereka memutuskan untuk berhenti dan menetap selama tiga hari. Ketika itu, kondisi perbekalan rombongan sufi tersebut sudah habis, tak ada bekal yang tersisa. Para sufi itu, harus menetap tanpa makanan sama sekali.
Salah seorang sufi sesepuh dalam rombongan itu tiba-tiba nyeletuk, “Wahai kawan-kawanku, sesungguhnya Allah SWT mengizinkan hambanya berikhtiar”. Lalu sesepuh sufi itu kembali nyeletuk, kali ini dengan mengutip ayat Al-Qur’an;
فَٱمْشُوْا فِى مَنَاكِبِهَا وَكُلُوْا مِن رِّزْقِهِ
Maka berjalanlah di segala penjuru bumi dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. (QS al-Mulk [67]: 15).
“Carilah sekiranya ada orang yang berempati dan memberi kita makan,” kata sesepuh sufi itu.
Mendengar petuah dari sesepuh sufi itu, lalu berangkatlah salah satu sufi dari mereka berjalan menuju sudut-sudut Kota Baghdad, berharap ada orang yang iba dan membantu kesulitan makanan yang mereka alami. Namun, usahanya belum membuahkan hasil.
Sufi yang mencari bantuan tadi akhirnya kelaparan dan kelelahan. Kondisi fisiknya melemah. Ia memutuskan beristirahat di sebuah toko obat milik seorang Tabib Nasrani. Suasana toko tengah ramai dan padat oleh para pelanggan.
Sang Tabib tampak sibuk melayani dan memberikan obat. Di tengah-tengah kesibukannya itu, sang Tabib melihat sufi tersebut duduk terkulai lemas di depan tokonya. “Apa yang terjadi padamu, apakah anda sakit?” tanya sang Tabib yang mendekati sufi tadi.
Sang sufi belum sempat menjawab pertanyaan, sang Tabib dengan sigap memegang tangan dan memeriksa denyut nadinya lalu berkata, “Saya tahu persis penyakit yang mendera Anda.” Lalu ia memanggil pembantunya, “Wahai pembantu, berangkatlah ke pasar. Beli satu bungkus roti, daging panggang, dan satu kantong manisan.”
Sang sufi tadi tidak melupakan para temannya, ia mengadu kepada si Tabib bahwa ada 40 orang yang tengah mengalami penyakit sepertinya. “Baik tidak masalah, wahai pembantu kalau begitu belilah makanan tadi untuk 40 orang,” Katanya sang Tabib menginstruksikan kepada pembantunya.
Empat puluh makanan itu diserahkan kepada sufi tadi. Tetapi, bukan tidak percaya, sang Tabib hendak menguji kejujuran sufi yang ia tolong. Sang Tabib Nasrani itu lalu berangkat bersama sang sufi ditemani pembantunya. Setibanya di lokasi di mana rombongan sufi itu singgah, sang Tabib Nasrani dan pembantunya tidak ikut masuk ke tempat persinggahan rombongan sufi itu. Sang Tabib berada di luar tempat persinggahan tanpa sepengetahuan rombongan.
Begitu masuk, sufi yang ditolong Tabib Nasrani tersebut disambut dengan riang. Perasaaan mereka campur aduk, senang sekaligus heran, bagaimana ia mendapatkan makanan sebanyak ini. Atas desakan para anggota rombongan sufi, sufi yang ditolong Tabib Nasrani tersebut akhirnya menceritakan kronologi kisahnya dengan lengkap. Akhirnya semua sufi dalam rombongan itu tahu kalau semua makanan itu pemberian Tabib Nasrani.
“Jika begitu, maka apakah kalian rela menyantap makanan Tabib Nasrani ini dengan lahap, tanpa memberikannya hadiah sedikitpun?” celetuk sesepuh sufi.
Secara spontan, mereka saling pandang, lantas mereka menahan diri sejenak dari keinginan makan. Mereka semakin bingung, hadiah apa yang hendak diberikan sebagai balasan itu. “Berdoalah kalian semua kepada Allah, sebelum menyantap makanan pemberiannya agar si Tabib Nasrani diselamatkan dari api nereka,” Ujar sespuh sufi memberikan saran. Ide brilian tersebut lantas diterima.
Para sufi dalam rombongan itu pun berdoa, seperti yang telah disepakati bersama. Doa mereka hanya satu, agar Allah menyelamatkan Tabib Nasrani yang baik hati tersebut dari api neraka.
Dari luar tempat singgah, si Tabib Nasrani mendengar secara jelas percakapan mereka. Ia tergugah dengan sikap 40 sufi yang tidak rakus dengan makanan, meski mereka kelaparan. Mereka malah menahan diri dan mendoakan keselamatan dirinya.
Tak menunggu lama, ia segera mengetuk pintu dan masuk rumah, lalu mengungkapkan kekagumannya. Di hadapan rombongan sufi itu, sang Tabib Nasrani lalu menyatakan keislamannya dan berikrar syahadat. (AN)
Wallahu a’lam.