Para Wali atau kekasih Tuhan memperoleh kemuliaan dan derajat tinggi bukan hanya karena mampu menjalankan amal ibadah dan riyâdhah yang luar biasa berat, melainkan juga sebab ketangguhan dan keikhlasannya dalam menerima ujian-ujian rohani. Mereka yang memilih atau “dipilih” Allah SWT untuk menempuh jalan spiritual, akan senantiasa dihadapkan pada tantangan kerohanian yang jauh melampaui kesanggupan manusia-manusia pada umumnya. Semakin dekat langkahnya menuju Allah, maka akan semakin terjal dan buas pula kesulitan hidup yang dialami.
Seorang Wali besar kelahiran Maghreb, Maroko, yakni Syekh Abu Al-Hasan Al-Syadzili (1196-1258 M) masyhur dengan tarekat Syadziliyah yang dinisbahkan pada namanya. Ulama Sufi yang bernama asli Ali ini merupakan keturunan Rasulullah SAW melalui garis nasab Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Sepanjang hidupnya beliau abdikan semata untuk menyenangkan Allah, Sang Kekasih. Keluasan dan kedalaman ilmu, kesucian hati, keindahan taqwa beserta keistimewaan lain yang dimiliki Syekh Al-Syadzili menjadi daya tarik bagi kaum mukmin. Mereka berbondong-bondong belajar agama dan menjadi muridnya di jalan tasawuf. Dalam waktu singkat pengaruh kuat Syekh Al-Syadzili semakin luas, sehingga mendatangkan banyak pengikut, sekaligus musuh.
Kisah berikut menceritakan sepenggal perjalanan hidup Syekh Al-Syadzili kala ia mengalami cobaan akibat kedengkian hati orang yang membencinya. Cerita ini disarikan dari terjemahan kitab Abu al-Hasan al-Syadzili: Hayatuhu, Tashawwufuhu, Talamidzuhu, wa Auraduhu karya Makmun Gharib, agar menjadi cerminan diri maupun pelajaran hikmah bagi para pejalan rohani dalam upaya menjernihkan batin demi menggapai mahabbah dan ridha Illahi.
Di abad 7 Hijriah, Syekh Abu Al-Hasan Al-Syadzili berguru kepada Syekh Abdul Salam ibn Masyisy di Maroko yang mengajarkan salah satu nasihat penting, “Amal paling mulia adalah empat setelah empat. Empat pertama adalah cinta kepada Allah, ridha dengan ketentuan Allah, berpantang pada dunia (zuhud), dan tawakal kepada Allah. Empat berikutnya adalah mengerjakan yang diwajibkan oleh Allah, menjauhi yang diharamkan Allah, sabar menghadapi yang tak diinginkan, dan menahan diri dari yang disukai.”
Setelah cukup lama berguru, belajar, dan mengikuti jalan mistiknya, pembimbing rohani tersebut menyarankan agar Syekh Al-Syadzili pergi ke Tunisia, lalu pindah ke sebuah Negeri bernama Syadzilah karena di tempat itu kelak Allah akan menganugerahinya nama ‘Al-Syadzili’. Sesampai di Tunisia, Syekh Al-Syadzili menemukan Bukit Zaghwan dan memutuskan menetap di sana untuk berkhalwat ditemani seorang saleh, bernama Abu Muhammad Al-Habibi. Tatkala ketaqwaan dan keilmuannya sudah matang, ia merasa siap terjun ke tengah masyarakat untuk menyebarkan ajaran agama. Kapasitas ilmu dan kesalehannya segera mengangkatnya sebagai pusat perhatian.
Karena memiliki banyak murid di Tunisia, beberapa orang menjadi tidak senang dengan keberadaan Syekh Al-Syadzili. Salah satu orang yang tidak senang kepada beliau ialah hakim Abu Al-Qasim Al-Barra’. Rasa iri dan dengki mendorong dirinya menciptakan berbagai isu supaya para tokoh publik serta masyarakat umum ikut membenci dan mengucilkan Syekh Al-Syadzili. Fitnah yang ia lontarkan di antaranya menyebut Syekh Al-Syadzili sebagai mata-mata Maroko yang datang ke Tunisia untuk menyebarkan paham Fatimiyah. Nasabnya yang tersambung ke Fatimah binti Rasulullah SAW dijadikan dalih yang menegaskan keterhubungan Syekh Al-Syadzili dengan Dinasti Fatimiyah tersebut.
Kabar bohong yang dihembuskan Al-Barra’ semakin panas, menyebabkan para penguasa Negeri gerah terusik. Akhirnya, sultan memanggil Syekh Al-Syadzili ke istana untuk didudukkan dalam persidangan dengan para ulama dan cendekiawan negeri. Mereka bertanya-jawab terkait persoalan akidah, fikih, tasawuf, sampai masalah sosial dan politik. Selama proses tersebut sultan turut mendengarkan secara seksama di balik hijab. Mereka ingin membuktikan kebenaran keterkaitan Syekh Al-Syadzili dengan Dinasti Fatimiyah. Nyatanya, ia mampu menjawab setiap pertanyaan dengan cahaya ilmu dan keluhuran budi, hingga sultan beserta para petinggi pun meyakini kejujuran dan menghormati kualitas pribadinya.
Syekh Al-Syadzili berhasil lolos dari serangan fitnah tak berdasar yang nyaris mengancam jiwanya, namun pembencinya Al-Barra’ tetap gigih melakukan tipu daya agar Syekh Al-Syadzili dieksklusi. Sultan sempat terpengaruh, sehingga ia mengeluarkan perintah yang melarang Syekh Al-Syadzili beraktivitas di luar rumah. Sebagai tahanan rumah, Syekh Al-Syadzili tidak berputus asa. Ia terus mendekat, memohon, dan bermunajat kepada Allah dengan salah satu kutipan doa berikut:
“Wahai Zat yang Kursi (kekuasaan)-Nya meliputi langit dan bumi; Dia tidak merasa berat memelihara keduanya. Dia Mahatinggi dan Mahabesar. Aku memohon – dengan penjagaan-Mu – iman yang menenangkan hati, sehingga tidak risau akan urusan rezeki dan tidak takut kepada makhluk.”
Allah kemudian memberikan pertolongan kepada kekasih-Nya tersebut. Syekh Al-Syadzili dibebaskan oleh Sultan dan para pejabatnya. Mereka mengakui ketulusan serta ketaqwaan sang mursyid yang tidak memiliki kepentingan apapun, apalagi politik dinasti. Akan tetapi, sepak terjang Al-Barra’ yang ingin menjatuhkan Syekh Al-Syadzili belum berhenti di situ. Saat Syekh Al-Syadzili bermaksud melakukan perjalanan ke tanah suci Mekkah dengan melewati jalur Mesir, penguasa Mesir telah disurati terlebih dahulu oleh Al-Barra’ agar berhati-hati dengan keberadaan Syekh Al-Syadzili yang didesuskan sebagai pendukung Dinasti Fatimiyah dan berniat melakukan aksi pemberontakan di negerinya itu.
Singkat cerita, Sultan Mesir yang waspada terhadap ancaman keamanan negerinya tidak mengabaikan begitu saja surat peringatan tersebut. Meskipun, dia sendiri pun tak mau sepenuhnya percaya sebelum mengetahui siapa Syekh Al-Syadzili dan apa sebenarnya yang terjadi. Kabar kedatangan Syekh Al-Syadzili di Mesir disambut oleh sultan dengan undangan makan kehormatan di istana beliau. Sultan bersama para ulama dan pembesar negeri berbincang dengan Syekh Al-Syadzili dalam rangka penyelidikan. Hasilnya, mereka pun terkesan dengan keilmuan dan kharisma spiritual Ulama Sufi tersebut. Menyadari sepenuhnya bahwa sang syekh hanya sebagai korban kedengkian dan tuduhan dusta hakim agung Tunisia.
Perjalanan hidup Syekh Abu Al-Hasan Al-Syadzili sebagai seorang pemimpin agama maupun mursyid tasawuf membawanya sebagai tokoh Sufi terkemuka di mana para murid serta pengikutnya makin melimpah ruah dari negeri ke negeri, melintasi generasi ke generasi. Namun demikian, ketika manusia semakin banyak yang mencintai, maka akan bermunculan juga yang membenci. Itu adalah hukum alam. Syekh Abu Al-Hasan Al-Syadzili sendiri dengan keimanannya menyadari bahwa kedengkian dan fitnah yang dihadapi merupakan ketentuan Allah yang harus dijalani sebagai bagian dari tangga-tangga rohani demi mencapai hakikat keilahian.
Tiap pengalaman pahit yang dihadapi manusia, terutama terkait hubungan dengan manusia lain sejatinya perlu dimaknai sebagai cara Tuhan untuk membersihkan hati, menjauhkan dari kecenderungan dan ketergantungan terhadap makhluk manusia. Bahwa hanya Allah yang pantas menempati singgasana hati manusia. Dengan demikian, rasa sakit yang ditimbulkan akibat perilaku fitnah, amarah, kecewa, dengki, dan dendam orang lain terhadap kita justru akan membantu meluruhkan kotoran-kotoran hati kita sendiri sejauh kemampuan kita dalam sabar dan tawakal.
Inilah teladan Sang Wali, Syekh Abu Al-Hasan Al-Syadzili yang selalu menerima fitnah tanpa pernah membantah ketetapan Tuhan, sebab meyakini penuh bahwa segalanya datang dari Yang Maha Terkasih. Sebagaimana salah satu penyingkapan rohani yang dialami Syekh Abu Al-Hasan Al-Syadzili di mana ia pernah merasa seolah-olah berada di hadapan Tuhan, lalu mendengarkan Dia berkata, “Jangan pernah merasa aman dari tipu daya-Ku dalam hal apapun, meskipun Aku memberimu rasa aman. Sebab, tak ada sesuatu pun yang mengetahui-Ku secara menyeluruh.”
Wallahu a’lam bisshawab.