Empat belas abad lalu, Muhammad SAW baru saja dilantik menjadi Nabi oleh malaikat Jibril di Gua Hira ditandai dengan turunnya wahyu berupa surah al-‘Alaq 1-5. Sejumlah riwayat mengabarkan, bahwa Kanjeng Nabi awalnya “meriang” lalu Khadijah sang istri menenangkan dengan menyelimuti suaminya. Menyusul kemudian, wahyu berikutnya berupa surah al-Mudatsir dengan materi yang kurang lebih berisi perintah berdakwah.
Singkat cerita, melalui kabar dari Pakdhenya Sayyidah Khadijah, Waraqah bin Naufal yang notabene adalah seorang pendeta masyhur saat itu tekait peristiwa yang dialami suaminya, dia membenarkan legalitas kenabian Muhammad sebagai utusan Tuhan.
Perlahan, sejumlah kerabat dekat Nabi turut memeluk ajaran yang dibawanya ini. Dalam perkembangannya manusia-manusia pilihan itu kemudian dikenal dengan sebutan as-Sabiqun al-Awwalun, meliputi Khadijah, Abu Bakar, Ali, dan beberapa lainnya.
Sementara, di lain pihak, ada seorang oposisi bernama Abu Lahab yang notabene adalah pamannya Kanjeng Nabi justru malah mengingkari status keponakannya itu sebagai pembawa risalah suci. Spontan kejadian itu direspon dengan turunnya wahyu berupa surah al-Lahab genap lima ayat.
Demikian kisah sang rasul yang penuh suka duka. Dari sejumlah fakta sejarah di atas, setidaknya ada beberapa hal yang menarik untuk didiskusian sekaligus menjadi pelajaran.
Bahwa, al-Quran telah sejak awal berdialog dengan realitas. Ia hadir mengikuti peristiwa-peristiwa aktual yang muncul di tengah masyarakat. Banyak sekali peristiwa yang mengiringi turunnya ayat, sekaligus dalam beberapa kesempatan menjadi jawaban atas pertanyaan umat, waktu itu.
Misalnya, permulaan surat al-Anfal yang menjawab pertanyaan umat Islam mengenai pembagian harta rampasan perang. Atau, seperti penjelasan al-Quran tentang darah haid perempuan yang menyebabkan tidak bolehnya hubungan seksual dilakukan. Termasuk dalam hal ini, tragedi Abu Lahab di atas. Bahkan, dalam kasus pelarangan khamr, al-Quran menurunkan sampai tiga ayat yang berbeda dengan karakter evolutifnya yang khas.
Sampai Sang Nabi wafat, proses penurunan wahyu yang demikian diniamis, dialogis serta akomodatif itu tidak kehilangan karakternya hingga Islam benar-benar dipahami oleh para sahabat sebagai ajaran luhur dengan pedoman al-Quran dan al-Hadis.
Lambat laun, ajaran Kanjeng Nabi Muhammad ini mulai menyebar ke seluruh bilangan dunia melalui kiprah para sahabat, tabi’in, tabit’tabi’in, pengkut tabi’it tabi’in, dan seterusnya. Termasuk Nusantara, Indonesia.
Menariknya, perkembangan Islam di Indonesia, jarang ditemui bahkan tidak ada yang sampai melibatkan otot tegang, nyeri sendi, bakar orang, atapun terhunusnya bambu runcing, keris (pedang saat itu belum terlalu banyak diproduksi, apalagi AK-47) dan senjata tradisional lainnya.
Usut punya usut, ternyata misionaris Islam di Indonesia yang dikenal dengan sebutan para Wali Songo ini, sepertinya menerapkan SOP al-Quran. Kira-kira seperti ini analoginya…
Arab pra-Islam, begitu menggandrungi produksi sastra, mulai dari puisi, syair-syair lokal, hingga praktik perdukunan. Bahkan, tak jarang ditemui, masyarakat Arab pra-Islam mengamalkan praktik perdukunan dalam proses pembuatan puisi, dan lain sebagainya.
Sepertinya semua sepakat, bahwa yang namanya perdukunan pasti melibatkan proses komunikasi antara dua alam yang berbeda secara eksistensi. Sebut saja antara manusia dengan Jin, dalam konteks perdukunan.
Meski demikian, kegandrungan itu tidak lantas diberangus oleh al-Quran, namun justru diadaptasi dalam proses penurunan wahyu. Andaikata, peradaban Arab pra-Islam tidak memiliki konsep-konsep seperti itu, bisa dipastikan fenomena wahyu akan sulit dipahami dari sudut pandang budaya oleh masyarakat setempat.
Lha wong, bagaimana mungkin orang Arab dapat menerima ide tentang malaikat turun dari langit kepada seorang manusia, apabila konsep ini tidak memiliki akar kulturalnya dalam pembentukan nalar mereka. Oleh karena itu, bangsa Arab yang hidup pada saat al-Quran turun, tidak akan mengingkari fenomena wahyu itu sendiri. Adapun pengingkaran mereka kemungkinan ditujukan kepada muatan materi wahyu atau kepada pribadi yang menerima wahyu.
Demikian halnya dengan para Wali Songo. Bahwa sesungguhnya kebudayaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka segala bentuk fenomena budaya yang memiliki akar kulturalnya di atas dunia tidak harus dihapuskan karena sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Akhirnya, atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang sentausa, maka para Wali Songo menyatakan akulturasi tradisi dan budaya sebagai langgam dakwahnya.
Sebut saja Sunan Kalijaga. Melihat masyarakat Jawa yang saat itu gemar bersenandung dan wayangan, salah satu misionaris Islam ini berinovasi. Melalui tembang-tembang jawa meliputi, mocopat, guru gatra, guru lagu, guru wilangan, pocung dan lainnya, Kanjeng Sunan mengarang banyak suluk yang hingga saat ini bahkan masih eksis, baik untuk puji-pujian sejumlah Masjid atau sekedar untuk dolanan anak-anak, seperti “Lir-ilir”, maupun untuk melipur diri, “Lingsir Wengi”.
Demikian para Wali Songo yang menjelaskan Islam dengan sangat manusiawi hingga dapat dimengerti sampai-sampai masyarakat jatuh hati, sebagaimana jatuh hatinya para sahabat, karena Kanjeng Nabi mampu membawakan Islam dengan sangat kontekstual pada saat itu melalui al-Quran dan sabdanya.
Andai saja para Wali Songo membawakan Islam dengan penuh ketegangan, sepaneng, menyebar berita hoax, mungkin hari ini kita tidak akan menyaksikan Islam Indonesia yang santun damai dan dinamis. Sebab, barangkali akan lebih rasional Candi Borobudur ketimbang harus jauh-jauh berimajinasi tentang Arab, Ka’bah, Nabi Muhammad, Abu Jahal yang belum tentu logika masa lalu dapat menangkapnya. Ditambah jaringan 4G belum segampang hari ini, apalagi hotspot area.
Anwar Kurniawan,Pelajar di STAI Sunan Pandanaran, Yogyakarta.