Dikisahkan ada seorang sufi bernama Abu Ghayyat al Makki menemukan uang dalam sebuah dompet ketika melaksanakan ibadah haji. Maka diambillah dompet itu dan dibawanya pulang. Sampainya di rumah dompet itu langsung ditanam ke dalam tanah.
Abu Ghayyat terus merenung sepanjang malam. Pikirannya galau dan bertanya-tanya, “Apakah uang di dalamnya akan diambil atau tidak.”
Hatinya berfikir untuk mengambilnya karena keluarganya kelaparan. Namun ia teringat terus bahwa memakan harta yang haram akan mendapatkan siksa besar dunia dan akhirat. Namun dirinya juga teringat hadis Nabi yang yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar yaitu, “Bila Allah memberimu hadiah tanpa kamu minta, maka terimalah hadiah itu jangan kamu tolak, kemudian infakkanlah harta itu.”
Ketika mengingat hadis tersebut, Abu Ghayyat berkata kepada dirinya sendiri, “Sungguh ini hadiah dari Allah, dan hadiah itu bagi orang yang menemukan uang tersebut.” Namun hal itu tidak menjadikan Abu Ghayyat membuka dompet temuannya. Dia masih menunggu barang kali pemiliknya akan datang.
Hari pun berlalu. Ketika keluar dari rumahnya, Abu Ghayyat mendengar seorang lelaki asal Khurasan sedang mengumumkan bahwa dompetnya hilang. “Wahai jamaah haji, barang siapa yang menemukan dompet berisi seribu dinar, maka kembalikanlah dengan jaminan dari Allah,” katanya.
Mendengar hal tersebut, Abu Ghayyat mendekati lelaki tersebut dan berkata, “Wahai orang Khurasan, negeri kami sangat miskin dan kondisi penduduknya sangat menyedihkan. Barangkali dompet Anda di tangan orang mukmin yang ingin mengembalikan dompet ini kepadamu, tapi maukah engkau memberi sedikit uang secara halal?”
“Berapa yang diinginkannya,” ujar lelaki Khurasan itu.
“ Sepersepuluhnya artinya, artinya seratus dinar,” kata Abu Ghayyat.
Lelaki itu dengan tegas menolak dan menjawab, “Aku tidak akan memberikannya sedikitpun. Jika ia tidak mengembalikannya kepadaku, maka akan kutuntut di hadapan Allah.”
Abu Ghayat kembali ke rumahnya. Abu Ghayyat bercerita kepada istrinya bahwa ia menemukan pemilik dompet. “Apa yang harus kulakukan. Apakah aku mengembalikan dompet itu,” kata Abu Ghayyat.
Mendengar hal itu istrinya tampak agak marah dan berkata, “Kami telah menderita kemsikinan bersamamu selama 50 tahun. Anakmu empat orang, saudara perempuan dua orang, aku, ibumu dan kamu sendiri. Keluarga kita berjumlah sembilan orang. Masing-masing hanya mempunyai satu pakaian dan kami shalat hanya punya satu pakaian dan itu dipakai secara bergantian. Selama hidup kita belum pernah makan buah dan daging. Datangilah pemiliknya dan desaklah agar dia mau memberikannya sepersepuluh dari si dompetnya itu. Jika ia tidak setuju maka mintalah seperseratus. Jika tidak setuju maka mintalah seperseribu. Satu dinar lebih baik daripada tidak sama sekali.”
Mendengar hal itu Abu Ghayat pergi menemui orang Khurasan itu. Ibnu Jarir pun mengikutinya dari belakang. Singkat cerita, Abu Ghayat ketemu dengan orang Khurasan itu. Terjadi dialog dan orang Khurasan itu tetap pada pendiriannya untuk tidak membagikan uang tersebut. Maka kemudian diajaklah orang Khursan itu ke rumah Abu Ghayat dan dompetnya kemudian dikembalikan.
“Benarkah ini dompetmu,” tanya Abu Ghayat.
“ Benar,” jawab orang Khurasan.
Kemudian pria Khurasan itu membuka dompetnya dan menghitung jumlah uangnya. Jumlahnya masih tetap utuh yaitu seribu dinar.
“Uang ini tidak berkurang sedikitpun,” katanya sambil meminta izin pulang.
Setelah melewati pintu, ia berkata lagi kepada Abu Ghayat, “Wahai orang tua aku akan ceritakan kepadamu mengenai dompet itu. Ayahku telah mewariskan kepadaku uang 3000 dinar. Sebelum meninggal beliau pesan kepadaku membagikan sepertiganya kepada orang yang berhak menerimanya dengan menjual ternak dan menginfakkan uangnya uangnya untuk pergi haji. Maka aku melaksanakan pesan itu. Aku melaksanakannya dan meletakkan sepertiganya di dompet ini. Semenjak aku pergi dari Khurasan sampai di sini aku tidak menemukan seorangpun yang lebih berhak daripada Anda. Maka ambillah dompet ini. Semoga Allah memberkahimu,” kata lelaki itu.
Mendengar hal itu Abu Ghayyat pun bersyukur kepada Allah SWT. Kesabaran dan kejujurannya saat menemukan uang tersebut, ternyata mendapatkan jalan lain dari Allah SWT. Atas kejujurannya, laki-laki itu tidak hanya memberi seperseratus sebagaimana yang dimintanya tadi, melainkan semuanya. Allah selalu bersama orang yang jujur. (AN)