Memuliakan tamu adalah bagian dari ajaran Islam. Dalam ajaran Islam sendiri, menerima dan memuliakan para tamu adalah hal yang dianjurkan oleh Rasulullah saw. sebagaimana sabdanya:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
Artinya: Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya ia memuliakan tamunya. (HR Muslim).
Perihal memuliakan tamu inilah, sepasang suami istri pernah bertengkar. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Khalikan dalam kitab Wafayat al-A’yan, bahwasanya Haitsam bin Ady suatu waktu pergi meninggalkan keluarganya untuk berkunjung ke kampung saudara-saudaranya.
Haitsam bin Ady pergi dengan membawa seekor unta. Tiba-tiba untanya tersebut lari. Dia pun mencarinya hingga petang hari, hingga akhirnya menemukan untanya tersebut di sebuah rumah. Ternyata rumah tersebut adalah milik sepasang suami istri Arab Badui. Melihat untanya ada di situ, dia pun mendatanginya.
Haitsam pun mendatangi rumah tersebut dan langsung disambut oleh seorang perempuan pemilik rumah. Kepada Haitsam, perempuan itu berkata, “siapakah engkau?”
“Tamu“, jawab Haitsam dengan singkat.
Mendengar jawaban tersebut, si perempuan pun kembali berkata, “untuk apa tamu datang kepada kami. Bukankah gurun sahara ini luas?”
Tak lama setelah melontarkan kata-kata tersebut, si perempuan pergi mengambil gandum, kemudian menumbuknya dan membuat adonan kue, kemudian dia membuat kue. Setelah kue jadi, si perempuan itu pun duduk sambil memakannya tanpa menawari Haitsam sama sekali.
Tidak lama kemudian, suami si perempuan pun datang dengan membawa susu. Melihat sosok Haitsam, dia pun bertanya, “siapakah laki-laki ini?”
“Tamu“, jawab Haitsam dengan singkat.
Mendengar ucapan Haitsam, si suami itu pun berkata, “Selamat datang. Semoga Allah memuliakanmu“. Si suami kemudian masuk ke rumah dan menuangkan susu ke cangkir, kemudian memberikannya kepada Haitsam. Sambil berkata, “minumlah.”
Setelah mengambilkan minuman, si suami kembali berkata kepada Haitsam, “aku melihatmu tidak makan apa-apa, dan aku melihat istriku tidak memberikan apa-apa kepadamu.”
Sang suami kemudian masuk ke rumah dan marah kepada sang istri, “celakalah engkau. Engkau makan dan membiarkan tamumu begitu saja.”
Melihat sang suami marah, sang istri pun menjawab, “apa yang mesti aku lakukan? Aku berikan makananku kepadanya?”
Sepasang suami istri itu pun bertengkar. Tak berselang lama, si suami mengambil parang dan keluar menuju unta kepunyaan Haitsam. Dia kemudian menyembelih unta tersebut.
Haitsam yang melihat pun kaget, dan bertanya,”apa yang telah engkau lakukan?”
Si suami kemudian menjawab, “aku tidak ingin membiarkan tamuku kelaparan.”
Setelah menyembelih unta, si suami kemudian mengumpulkan kayu bakar dan menyalakan api. Dia memanggang daging unta tersebut dan memberikannya kepada Haitsam. Dia juga memakannya dan memberikannya kepada sang istri, sambil berkata, “Makanlah, Allah memberi makanan kepadamu.”
Setelah tiba waktu pagi, sang suami itu pun pergi meninggalkan Haitsam. Haitsam yang melihat kondisi tersebut pun gundah. Ketika datang waktu siang, si suami itu kembali dengan membawa seekor unta yang tidak pernah membosankan untuk dipandang. Kepada Haitsam, si suami itu pun berkata, “ini sebagai ganti untamu.” Sambil memberikan sisa daging unta kepadanya.
Setelah kejadian tersebut, Haitsam pun pergi melanjutkan perjalanannya. Ketika tiba waktu malam, dia pun singgah di sebuah rumah yang lain.
Di rumah yang disinggahinya, dia pun langsung mengucapkan salam. Dan dari dalam rumah, terdengar suara perempuan yang menjawab salamnya, sambil berkata, “siapa kamu?”
“Tamu.” Jawab Haitsam.
Mendengar jawaban Haitsam, perempuan pemilik rumah itu pun kemudian berkata, “selamat datang.” Sambil bergegas pergi mengambil gandum, kemudian menggiling dan membuat adonan, dan membuat kue yang disirami dengan yogurt dan susu. Kemudian dihidangkan kepada Haitsam seraya berkata, “Makanlah.”
Tak berselang lama, datang laki-laki Arab Badui yang merupakan suami perempuan ramah tersebut. Lelaki itu datang sambil mengucapkan salam, dan bertanya kepada Haitsam, “siapa kamu?”
Haitsam pun menjawab, “Tamu.”
Melihat ada tamu, si suami itu pun bertanya-tanya, “apa yang dilakukan tamu di tempat kita?.” sambil masuk rumah, dia kembali bertanya kepada sang istri, “mana makananku?”
Istrinya pun menjawab, “sudah aku berikan kepada tamu.”
Mendengar hal tersebut, si suami langsung marah dan berkata, “makananku engkau berikan kepada tamu?“. Mereka berdua pun bertengkar, bahkan si suami sampai tega memukul istrinya dengan tongkat.
Melihat kejadian tersebut, Haitsam pun tertawa. Melihat Haitsam yang tertawa, si suami langsung menghampirinya dan bertanya, “apa yang membuatmu tertawa?”
“Kebaikan“, jawab Haitsam.
Karena penasaran, lelaki itu pun berkata kepada Haitsam, “beritahukanlah kepadaku.”
Haitsam kemudian bercerita detail tentang sepasang suami istri yang ditemui sebelumnya. Di mana sepasang suami tersebut juga bertengkar karena ingin memuliakan tamu.
Mendengar cerita dari Haitsam, lelaki itu pun berkata, “istriku ini adalah saudara perempuan laki-laki tersebut, sementara istri lelaki tersebut adalah saudara perempuanku.”
Mendengar jawaban tersebut, Haitsam pun heran. Dan akhirnya pergi meninggalkan daerah tersebut.
Memuliakan tamu adalah sebuah kebaikan, namun sering sekali banyak manusia yang mengabaikan. Selain hikmah tentang pentingnya memuliakan tamu, dua kisah di atas juga memberikan sebuah pelajaran penting lainnya. Pelajaran tersebut selaras dengan sebuah pepatah bahwa, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Atau sifat seorang anak memanglah tidak jauh beda dengan orang tuanya dan keluarganya, sebagaimana dua kisah di atas.