Kisah Seorang (Pemangku) Hindu Jadi Penjaga Makam Wali Muslim di Bali

Kisah Seorang (Pemangku) Hindu Jadi Penjaga Makam Wali Muslim di Bali

Meski memeluk agama Hindu, Made Artana tidak memakan daging babi karena rasa tanggung jawab sebagai penjaga makam seorang wali muslim

Kisah Seorang (Pemangku) Hindu Jadi Penjaga Makam Wali Muslim di Bali
Ilustrasi: Bangunan Makam Pangeran Mas Sepuh (dok. istimewa)

Kami bertemu di sebuah tanah lapang yang memperantarai bangunan makam Syekh Achmad Chamdun Choirussholeh atau lebih akrab disapa sebagai Pangeran Mas Sepuh dan Pantai Seseh, Badung, Bali. Dengan mengenakan sarung dan pakaian santai, Pemangku Made Artana menyambut kami. Beliau adalah juru kunci atau penjaga makam Pangeran Mas Sepuh. Pemangku sendiri adalah sebutan untuk orang yang dituakan di desa, biasanya bertugas untuk menyiapkan dan memimpin upacara agama Hindu.

Ya, Anda tidak salah baca. Makam Syekh Achmad Chamdun Choirussholeh itu dijaga, dirawat, dan diurus oleh Pemangku Made Artana, seorang Hindu. Pemangku Artana (59) mulai mengemban amanahnya sebagai juru kunci makam pada usia 25 tahun. Pemangku Artana sendiri menjadi generasi ke delapan di keluarganya yang menjadi juru kunci makam. Ini menunjukkan bahwa Makam Pangeran Mas Sepuh sudah berusia ratusan tahun. Posisi Juru Kunci rupanya diturunkan turun-temurun di keluarganya. Oleh masyarakat setempat, juru kunci Makam Pangeran Mas Sepuh disebut Jro Mangku Makam Keramat Pantai Seseh.

Makam Pangeran Mas Sepuh, atau Ratu Mas Sakti, atau Raden Amangkuningrat merupakan Wali Pitu (Wali tujuh, merujuk pada tujuh makam muslim yang dikeramatkan di Bali) dan termasuk makam tertua di Bali. Konon, Pangeran Mas Sepuh adalah putra dari Raja Mengwi I, sementara ibundanya adalah putri dari Kerajaan Blambangan, Banyuwangi. Ia dikenal karena karomahnya, seperti mampu berjalan dan sholat di atas air.

Untuk mengakses makamnya, Anda bisa mengikuti petunjuk jalan menuju Objek Wisata Tanah Lot, sekitar 5 kilometer arah timur dari Tanah Lot. Tepatnya terletak di Banjar Seseh, Desa Cemagi, Kecamatan Mengwi, Badung. Masyarakat setempat lebih mengenal Makam Pangeran Mas Sepuh ini sebagai Makam Keramat Pantai Seseh. Bangunan makam ini terletak persis berhadapan dengan pantai Seseh. Dengan bangunan yang terbuat dari batu dan berwarnakan hitam, membutanya sulit dibedakan dengan Pura pada umumnya di Bali.

Made Artana (dok. Istimewa)

Made Artana sangat hati-hati menceritakan sejarah makam ini, sebab ia khawatir jika apa yang ia ceritakan tidak tepat seperti yang terjadi pada kenyataannya. Tak heran, di awal kami akan menemuinya, Made Artana menunjukkan keengganan, tak lain karena sikap hati-hatinya.

Tidak seperti pemeluk Hindu lain, Made Artana dan keluarganya tidak memakan daging babi. Hal ini sebagai wujud penghormatan keluarga Made Artana terhadap tanggung jawab sebagai penjaga makam seorang muslim. Sebuah amanah yang turun temurun dari dulu.

“Karena pangeran Mas Sepuh di dalam ajaran yang dianutnya itu tidak diperbolehkan memakan daging Babi, maka kami pun melakukan hal serupa,” jelas Made Artana.

Lebih dari itu, Aci atau pengupacaraan yang disajikan/disajenkan di makam ini juga tidak boleh bersarana daging babi.

“Yang ziarah kesini nggak cuma dari muslim mas. Orang Hindu juga ada, orang Buddha pun ada. Baik dari Bali, Jawa bahkan hingga Kalimantan” Tutur Made Artana menjelaskan beragamnya orang yang ia temui sebagai penjaga makam. Hal ini juga menunjukkan, beragam pula kepentingan orang untuk datang kesini.

Sesekali, satu dua orang menyela pembicaraan kami, sekedar bertanya, kapan ritual diselenggarakan. Menunggu made artana menjawab pertanyaan, saya memandang jauh cuaca hari ini, cerah, dengan biru dan laut yang membentang luas. Didukung oleh suasana makam yang sepi, sungguh tenangnya.

“Sebelum pandemic, makam ini selalu ramai mas”, ujar Made Artana.

“Dalam sehari, pengunjung makam ini bisa 10 sampai 15 bus. Namun semenjak pandemi, orang sangat jarang sekali yang datang untuk berziarah” sambungnya.

Made Artana melayani peziarah mulai dari jam 7 pagi hingga jam 9 malam. Sehari-hari dia bertugas untuk membersihkan makam, mempersiapkan acara persembahyangan seperti mempersiapkan air tirta, bija, kwangen, ider – ider dan lain – lain. Rumah Made Artana tidak jauh dari makam, sehingga ia bisa bergegas bila ada peziarah yang datang, meskipun ia tetap menyarankan untuk membuat janji terlebih dahulu.

“Pernah suatu ketika saya sedang berkunjung ke rumah kerabat di luar kota, namun tiba- tiba ada peziarah yang telah datang di makam tanpa membuat janji terlebih dahulu dengan saya”. Made Artana menceritakan pengalamnnya.  Ia merasa bersalah karena tidak bisa memberika pelayanan dengan baik. “Saya merasa kecewa karena tidak dapat melayani umat yang ingin berziarah”, tandasnya.

Ketika ditanya apa yang membuatnya senang melakoni perannya, Made Artana menyebut jika motivasi dia hanya ingin menjadi pelayan umat manusia.

“Saya senang bisa melayani umat yang ingin berziarah, juga diberikan kesehatan dan keberkahan dalam hidup”, kata Made Artana dengan wajah penuh syukur.

Selama menjadi penjaga makam, Made Artana mengaku mendapatkan cerita bahwa banyak keinginan peziarah dikabulkan dengan perantara doa melalui Pangeran Mas Sepuh. Tak Heran, banyak orang yang berziarah. Bahkan dari berbagai agama. Melihat orang dari berbagai agama yang berbeda –  terutama Islam, Hindu dan Buddha- berdoa di satu tempat yang sama, adalah pemandangan yang lazim dan menarik di lokasi makam ini.

Made Artana berharap, antar umat beragama bisa saling menghormati, hidup rukun, dan besar toleransinya. Ia juga berharap agar situasi kembali normal agar Bali kembali ramai, lestari, dan indah sehingga makam tak lagi sepi.

Jika Anda berniat berziarah ke Makam ini, siapkan terlebih dahulu sarung atau celana panjang dan selendang. Sebab jika tidak mengenakan salah satunya, ada tidak diperkenankan untuk masuk ke area pemakaman.

Lahir dan besar di daerah yang sama, kini Pemangku Made Artana memiliki 3 orang anak, seorang lelaki dan dua perempuan. Pria yang sebelumnya bekerja di Pemda Tabanan ini kini tengah menikmati masa pensiun dengan bercengkrama bersama keluarga, mengurus makam dan melayani peziarah. Dalam perjalanan pulangnya, Kurniawan, reporter kami di lapangan, bersyukur diperlihatkan bagaimana praktik tolerani ini sudah berlangsung beratus tahun, bahkan terus berlangsung hingga kini.

 

*) Artikel ini adalah hasil kerja sama islami.co dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI.