Jika Anda pernah mendengar istilah Ahlus Shuffah, yakni orang-orang dari berbagai penjuru wilayah yang datang ke Madinah untuk belajar dan nderekke Kanjeng Nabi Muhammad SAW dengan mukim di beranda Masjid Nabawi, yang “diketuai” oleh Abu Hurairah alias Abdurrahman bin Shahrin, salah satunya adalah Rabi’ah bin Ka’ab ini. Memang ada keterangan lain yang menyatakan Rabi’ah bin Ka’ab adalah salah satu rewang Kanjeng Nabi SAW.
Orang-orang Ahlus Shuffah ini hidup dalam keterbatasan. Mereka hidup dari hadiah atau sedekah orang-orang muslim lainnya, termasuk utamanya dari Kanjeng Nabi SAW. Riwayat mayshur tentang “fakirnya” Ahlus Shuffah ini ialah tatkala Kanjeng Nabi SAW memanggil Abu Hurairah dan semua Ahlus Shuffah yang telah berhari-hari tidak makan. Beliau SAW lalu menyodorkan semangkok susu, terus diminum secara bergilir begitu rupa, dengan bagian paling akhir adalah Abu Hurairah yang mereguknya dengan puas hingga kenyang betul, tetapi susu tersebut tak kunjung habis.
Juga, dalam riwayat lain, tatkala Kanjeng Nabi SAW memberikan sebungkus kurma, lalu dimakan secara bergiliran oleh para Ahlus Shuffah, dan Abu Hurairah menjadi orang terakhir yang menyantapnya sampai kenyang, tetapi kurma itu tak kunjung habis.
Suatu hari, Kanjeng Nabi SAW berkata kepada Rabi’ah bin Ka’ab, “Wahai Rabi’ah, mengapa engkau tak juga menikah?”
Rabi’ah bin Ka’ab menjawab apa adanya, “Wahai Rasulullah SAW, sungguh aku tak ingin ibadahku terganggu oleh hal demikian. Lagi pula, siapakah gerangan yang mau menikahkan putrinya denganku dalam keadaan papaku begini?”
Kanjeng Nabi SAW bersabda padanya agar mendatangi si Fulan di sebuah kaum atau keluarga dan menyampaikan maksudnya untuk dinikahkan dengan putrinya atas perintah Rasulullah Saw.
Dengan tunduk, tentu pula senang nan riang, Rabi’ah bin Ka’ab pun melaksanakannya. Orang yang didatangi pun berkata, “Selamat datang, Rasulullah SAW, selamat datang utusan Rasulullah SAW. Utusan Rasulullah SAW tidak akan pulang sebelum terpenuhi hajatnya.”
Selang waktu, Kanjeng Nabi SAW berkata lagi kepada Rabi’ah bin Ka’ab, “Wahai Rabi’ah, mengapa engkau tak juga menikah?”
Kali ini, Rabi’ah bin Ka’ab menjawab, “Wahai Rasulullah SAW, sungguh aku tak memiliki apa-apa untuk kujadikan mahar.”
Kanjeng Nabi SAW lalu bersabda padanya agar mendatangi si Fulan lagi dan menyampaikan maksudnya untuk dinikahkan. Adapun soal mahar akan disediakan oleh Kanjeng Nabi SAW.
Datanglah kembali Rabi’ah bin Ka’ab kepada kaum dimaksud dan menyampaikan dawuh dari Kanjeng Nabi SAW. Kali ini, Fulan menyatakan bahwa urusan mahar akan disediakan olehnya.
Dan, untuk ketiga kalinya, selang kemudian, Kanjeng Nabi SAW berkata kepada Rabi’ah bin Ka’ab, “Wahai Rabi’ah, mengapa engkau tak juga menikah?”
Kali ini, Rabi’ah bin Ka’ab berkata, “Wahai Rasulullah SAW, sungguh aku tak memiliki apa-apa untuk kujadikan modal walimah….”
Kanjeng Nabi SAW bersabda agar Rabi’ah bin Ka’ab mendatangi lagi kaum dimaksud dan menyampaikan maksudnya. Adapun soal modal walimah akan disediakan oleh Kanjeng Nabi SAW.
Maka kembalilah Rabi’ah bin Ka’ab kepada ketua kaum itu dan menyampaikan maksud dan keterangannya. Ketua kaum itu berkata bahwa semua urusan tersebut akan difasilitasinya lengkap: mulai dari mempelai perempuannya akan disiapkannya, lalu urusan maharnya akan disediakannya, dan pula urusan walimah akan disajikannya.
Selang kemudian, tak lama, Rabi’ah bin Ka’ab benar-benar menikah dengan segala kelengkapan komplit tersebut. Tanpa sedikit pun ia keluar biaya dan modal.
Bahkan, Kanjeng Nabi SAW lantas menghadiahinya sebuah kebun yang bersebelahan persis dengan kebun Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq.