Dalam sebuah riwayat yang diceritakan oleh Imam Bukhari (w. 256 H) dalam kitab Shahih-nya, yang maknanya: Suatu ketika tersiar kabar bahwa Rasulullah SAW telah menceraikan istri-istrinya. Mendengar kabar tersebut, Umar bergegas menemui putrinya Hafshah yang merupakan salah satu dari istri Rasulullah SAW.
Umar mendapati putrinya tersebut sedang menangis di dalam kamarnya. Lalu, Umar bertanya, “Mengapa kamu menangis? Bukankah selama ini aku selalu mewanti-wantimu agar jangan melakukan sesuatu yang dapat menyinggung perasaan Nabi SAW? Apakah Nabi SAW telah menceraikanmu?”
“Saya tidak tahu, Rasulullah SAW hanya memisahkan diri saja saat makan-minum,” jawab Hafshah.
Kemudian Umar keluar dan menuju masjid, terlihat olehnya beberapa sahabat sedang menangis dekat mimbar. Lalu, Umar duduk bersama para sahabat beberapa saat, kemudian berjalan ke arah kamar Rasulullah SAW.
Ketika Umar masuk, ia menjumpai Rasulullah SAW berbaring di atas sehelai tikar yang terbuat dari pelepah kurma, tidak ada seprai yang menyelimutinya, sehingga di badan Rasulullah SAW yang putih bersih itu terlihat jelas bekas-bekas pelepah kurma itu. Di tempat kepala Rasulullah SAW ada sebuah bantal yang dibuat dari kulit binatang yang dilapisi oleh daun dan kulit pohon kurma.
Umar bercerita, “Aku mengucapkan salam kepada beliau, lalu bertanya, “Apakah engkau telah menceraikan istri-istrimu?” Nabi Saw menjawab, “Tidak.” Aku merasa lega. Sambil bercanda aku mengatakan, “Ya Rasulallah, kita adalah kaum Quraisy yang selamanya telah menguasai wanita-wanita kita. Tetapi setelah kita hijrah ke Madinah, keadaannya sungguh berbeda dengan orang Anshar, mereka dikuasai wanita-wanita mereka, sehingga wanita kita terpengaruh dengan kebiasaan mereka.” Rasulullah menanggapi perkataanku hanya dengan senyuman.”
“Kemudian, aku memperhatikan keadaan kamar Nabi SAW, terlihat tiga lembar kulit binatang yang telah disamak dan sedikit gandum di sudut kamar itu. Selain itu tidak terdapat apapun. Akupun menangis melihat kondisi itu. Rasulullah bertanya, “Mengapa engkau menangis?” Aku menjawab, “Bagaimana aku tidak menangis yaa Rasulallah. Aku sedang melihat bekas tanda tikar yang engkau tiduri di badan engkau yang mulia, dan aku prihatin melihat keadaan kamar ini,” tutur Umar.
“Ya Rasulallah, berdoalah semoga Allah mengkaruniakan kepada engkau bekal duniawi yang lebih banyak. Orang-orang Persia dan Romawi yang tidak beragama dan tidak menyembah Allah, tetapi raja mereka hidup mewah. Mereka hidup di taman yang ditengahnya mengalir sungai, sedangkan engkau adalah utusan Allah, tetapi engkau hidup dalam keadaan miskin.”
Ketika Umar berkata demikian, Rasulullah sedang bersandar di bantalnya, beliau bangun lalu berkata, “Wahai Umar, sepertinya engkau masih ragu mengenai hal ini. Dengarlah, kenikmatan di akhirat nanti akan jauh lebih baik daripada kesenangan hidup dan kemewahan dunia ini. Jika orang-orang kafir dapat hidup mewah di dunia ini, kita pun memperoleh segalanya itu di akhirat nanti. Di sana kita akan mendapatkan segala-galanya.”
Mendengar jawaban Nabi Saw tersebut, Umar pun menyesal, lalu berkata, “Ya Rasulallah, mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk aku. Aku telah keliru dalam hal ini.”
Dengan demikian, pola hidup sederhana adalah ajaran Nabi Saw yang merupakan pengejawantahan rasa qanaah dan syukur. Ini adalah solusi bagi penyakit tamak, berlebih-lebihan dan kebakhilan. Dengan kesederhanaan, hidup di dunia makin bermakna dan terberkahi. Sebab, hidup di dunia hanyalah sementara, amal shaleh terhadap sesama dan kebhaktian kepada Allah Swt adalah kekal dan selalu menemani pelakunya.
Wallahu a’lam bis shawab.
Artikel ini adalah sambungan dari artikel sebelumnya, dimuat ulang dari Majalah Nabawi edisi 108.