Dalam pandangan Rasulullah SAW, yang dijadikan tolak ukur kemuliaan derajat seseorang adalah ketakwaannya. Kemuliaan seseorang tidak diukur dengan warna kulitnya, kebangsawanannya, asal sukunya, maupun ras yang dimilikinya. Seorang arab tak lebih mulia dari seorang ajami karena kearabannya, begitu pula, seorang ajami tak lebih mulia dari seorang arab karena keajamiannya, yang menentukan seseorang lebih mulia dari yang lainnya adalah ketakwaannya.
Di antara tanda-tanda orang yang memiliki ketakwaan adalah orang yang mau mengakui kesalahannya, memiliki keinginan untuk tidak melakukan lagi kesalahan yang sama, mau meminta maaf kepada orang yang didzalimi jika kesalahannya berkaitan dengan huquq-al-adamiy, serta menyempurnakan kesemuanya itu dengan pertaubatan yang hakiki kepada zat yang maha pengampun dan maha penerima taubat. Jika seseorang yang melakukan kesalahan, bersikap dengan sikap tersebut, maka kita wajib memaafkannya dan memberikannya kesempatan untuk memperbaiki diri.
Namun, jika ia bersikap sebaliknya, enggan menyesali kesalahannya, atau malah mencoba mangkir dari kesalahannya, dengan mencoba melobi pihak berwenang agar kesalahannya ditutup-tutupi dan tidak dijatuhi hukuman, maka sikap terbaik adalah memberikan pelajaran kepadanya, dengan sikap tegas. Karena yang demikian itu dapat memberikan pelajaran kepadanya, bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah kekeliruan yang tak patut diulangi. Karena orang yang berakal dan berhati nurani, tak akan pernah jatuh kepada kesalahan yang sama, untuk yang kedua kali.
Sikap tegas inilah yang Rasulullah SAW ambil ketika menghadapi seorang perempuan dari sebuah kabilah bangsawan arab yaitu kabilah makhzumiah. Ketika itu para anggota suku Quraisy, meminta kepada Usamah bin Zaid, orang yang memiliki kedekatan dengan Rasullah SAW, agar melobi Rasulullah SAW untuk tidak menjatuhkan hukuman had kepada perempuan dari kabilah Makhzumiah yang telah mencuri. Alasan mereka ketika itu adalah karena wanita dari kalangan bangsawan tak selayaknya diberikan hukuman atas kesalahannya.
Hal ini terdeskripsikan dalam sebuah riwayat dari sayyidatuna Aisyah RA: “Bahwasannya bangsa Qurais memiliki atensi terhadap perkara perempuan yang mencuri dari kalangan bani makhzum, mereka berunding mengenai siapa yang akan melobi Rasulullah SAW (untuk tidak menghukumnya), akhirnya mereka sepakat bahwa siapa lagi yang melobi Rasulullah SAW mengenai hal ini selain Usamah bin Zaid yang merupakan orang yang sangat dekat dengan Rasulullah SAW, maka Usamah pun berusaha untuk melobi beliau, akhirnya Rasulullah SAW menjawab : Wahai Usamah apakah engkau ingin meminta dispensasi atas hukum yang telah ditetapkan Allah SWT ? kemudian Rasulullah SAW berdiri dan menyeru : sesungguhnya umat sebelum kalian itu celaka karena jika ada yang mencuri dari kalangan bangsawan mereka membiarkannya, namun jika yang mencuri dari golongan masyarakat biasa mereka menjatuhkan hukuman kepadanya, demi Allah, jika seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri maka aku sendiri yang akan memotong tangannya” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah).
Dari riwayat tersebut kita mendapati betapa tegasnya Rasulullah SAW menyikapi upaya lobi yang dilakukan oleh suku Quraisy. Hal ini sangat berbeda dengan sikap Rasulullah SAW baik kepada Maiz bin Malik, ataupun kepada perempuan dari kabilah Ghamidiyah yang mengakui dosanya dan meminta untuk dihukum.
Perbedaan sikap Rasulullah SAW kepada wanita dari kabilah bani Makhzum dikarenakan ketidakadilan suku Quraisy dalam bersikap. Sebagaimana kita ketahui, ketika ada orang yang mencuri dari kalangan masyarakat biasa, mereka tak segan untuk membawanya kepada Rasulullah SAW untuk dijatuhkan hukuman potong tangan, sedangkan ketika ada kalangan bangsawan yang mencuri, mereka dengan mudahnya, menjadi permisif terhadap kesalahan tersebut, ditambah lagi tampak tidak ada penyesalan dari perempuan kalangan bani Makhzum tersebut untuk mengakui kesalahannya, dan beriktikad untuk bertaubat kepada Allah SWT, sebagaimana sikap yang ditunjukkan oleh Maiz bin Malik, ataupun oleh perempuan hamil dari kabilah Ghamidiyah.