Di Maluku tepatnya di Ternate, pada abad 16 terdapat sebuah kerajaan yang diperintah oleh seorang raja yang cerdas, perkasa dan bijaksana. Raja itu bernama sultan Khairun. Nama yang terambil dari bahasa al-Quran yang berarti kebaikan. Nama yang pantas dengan orangnya, sebab selama memerintah ia telah membuat rakyat merasa aman dari penindasan para penjajah. Kala itu Ternate telah mengalami perkembangan yang sangat pesat sehingga menjadi sebuah kota garnisun dan pusat perdagangan sebagai kota rempah-rempah.
Istana sultan tepat berada di tengah kota Ternate. Istana itu nampak lengang ketika malam mulai melebarkan sayapnya. Segala jenis tanaman yang mulai pagi dengan leluasa memproduksi energi, kini harus istirahat untuk mengeluarkan karbon dioksida. Penjaga istana terus saja menguap pertanda mereka kewalahan melawan kantuknya. Di tengah suasana sepi itu, sekonyong-konyong datang seorang lelaki menghampiri dan mengejutkan penjaga.
“Tuan penjaga, saya utusan dari bangsa Portugis bermaksud menghadap Sultan. Perkenankan saya masuk ke istana?”
“Auup! Sebentar, saya ingin tahu dulu, siapa nama Saudara?”
“Fransiskus Xaverius, Tuan.”
“Oh, Fransiskes Xavier …ius.”
“Fransiskus Xaverius, Tuan. Bukan Fransiskes Xavier …ius.”
“Ya. Sudahlah, sama saja. Tunggu sebentar ya, saya akan menemui Sultan. Saya tanya dulu, beliau bersedia tidak menerima tamu hari ini!”
“Baiklah, saya akan menunggu di sini.”
Penjaga istana tergopoh-gopoh masuk ke dalam istana. Dalam ruang istana sultan Khairun sedang sibuk menerima laporan tentang sepak terjang tentara Portugis di Maluku dari pasukan mata-mata. Peluh bermunculan dari setiap lubang pori-pori wajah sang sultan. Peluh-peluh itu kemudian berkumpul dan menggumpal, lalu jatuh ke atas meja mengenai lontar yang berisi laporan. Tangan sang sultan dengan reflek mengelap air peluh itu dari lontar. Ia tidak sedikitpun terganggu dengan peluh-peluh yang terus membasahi wajah dan lehernya. Dengan serius ia baca laporan itu. Semerbak bau harum menyentuh hidung sang Sultan. Sebelum ia tahu sumber wewangian itu, sebuah sapu tangan telah dengan lembut menempel di pipinya. Pelan sapu tangan itu menyapu bersih setiap peluh yang membuat sultan mendapatkan kesegarannya kembali. Ia bersemangat.
“Sultanku sayang, tidakkah engkau merasa lelah dengan lontar-lontar itu? Apakah engkau tega membiarkan aku di kamar tidur sendiri?”
“Aduh, permaisuriku yang manis, ini sudah menjadi tugasku sebagai sultan di negeri ini. Aku harus selalu memperhatikan rakyatku. Mereka adalah tanggung jawabku.”
“Aku mendengar banyak keluhan atas sepak terjang bangsa Portugis. Aku tidak rela bangsaku dinjak-injak oleh bangsa lain. Aku harus menumpahkan perhatianku ke sana.”
“Betul, tapi haruskah paduka bersusah payah dengan lontar-lontar itu. Bukankah engkau punya istri yang bisa meringankan bebanmu?”
“Aku tidak paham apa yang dimaksudkan permaisuri?”
“Siang tadi, sewaktu paduka pergi dengan paman patih, hamba telah membaca semua laporan itu.”
“Jadi, kau sudah tahu semua isinya.”
“Benar, hamba tidak mau, hanya sibuk merias diri di kamar. Tahukah paduka kalau hamba juga bisa melakukan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawab paduka?”
“Maka, tanyalah semua yang ingin paduka ketahui tentang laporan itu kepada hamba. Hamba pasti akan menjawabnya.”
“Masya Allah!!! Luar biasa! Engkau selalu membuatku bangga dan bahagia, istriku. Aku patut bersyukur kepada Allah, tanpa kau di sisiku, aku pasti tidak akan mampu menanggung tanggung jawab ini.”
“Ah, paduka mulai menggoda.” Wajah permaisuri merona merah. Perlahan, sang sultan mendekatkan wajahnya ke wajah permaisuri. Dengan penuh kasih ia kecup kening istrinya. Permaisuri semakin tersipu malu.
“Oh ya paduka, apa yang akan paduka tanyakan tentang isi lontar itu?”Masih dengan mata terpejam permaisuri bertanya. Suasana romantis itu usai sudah.
“Eh, hampir lupa. Permaisuri, aku mendengar tentara Portugis diam-diam mulai menguatkan posisinya di Buru dan Ambon dengan membuat perkebunan rempah-rempah di sana. Betulkah itu?”
“Menurut yang hamba baca dari lontar itu, berita itu benar adanya. Bahkan mereka dengan rakus memakan setiap hasil rempah-rempah di sana. Begitulah berita sesuai dengan isi lontar.” Ada kegeraman yang merambat di hati sultan mendengar keterangan dari istrinya. Setiap kali ia mendengar kata Portugis, ia bertambah benci dengan bangsa asing itu. Amarahnya memuncak. Namun ketika ia melihat wajah istrinya, kemarahannya melunak. Pertanyaan demi pertanyaan dijawab permaisuri dengan runtut dan jelas, semakin menambah kagum sang sultan akan kecerdasan istrinya. Sultan tidak menyangka, di balik kecantikan dan kemanjaan istrinya ternyata ia wanita yang cerdas. Mungkinkah setiap wanita sama seperti istrinya ini? Bukan hanya bisa bersolek, berlama-lama di depan cermin atau di depan tungku.
Tok,tok, tok,
“Siapa di luar?
“Hamba paduka, prajurit penjaga.”
“Ada apa prajurit? Apakah ada hal yang penting?”
“Maafkan hamba, paduka. Ada seorang utusan yang ingin menghadap paduka.”
“Utusan dari mana?”
“Dia mengaku dari Portugis, paduka.”
“Portugis? Bawa dia masuk!”
“Baiklah paduka.”
Prajurit itupun keluar. Ia langsung menemui utusan yang ingin menghadap. Santun ia mempersilahkan utusan itu masuk. Buru-buru utusan itu melangkah memasuki ruang istana sultan.
“Ada apa saudara menghadapku, adakah hal penting untuk dibicarakan?
“Betul, Sultan. Saya datang diutus oleh pimpinan kami untuk meminta izin menyebarkan ajaran agama kami di negeri sultan. Kami hanya mengamalkan apa yang diperintahkan agama kami agar menyebarkan kebenaran yang kami anut. Membawa keselamatan bagi umat manusia.”
“Oh, begitu.”
Sultan terdiam mendengar maksud tamunya. Hatinya bergejolak. Ia bingung untuk memutuskan. Sebagai seorang sultan sepantasnya ia membiarkan rakyatnya untuk memilih pilihannya sendiri, bahkan dalam hal beragama. Tapi di sisi lain, ia sangat benci dengan bangsa Portugis yang selalu mencoba menyengsarakan rakyatnya. Terjadi perang batin dalam dirinya. Ia resah.
“Bagaimana sultan, apakah kami diizinkan?”
“Mungkin untuk saat ini saya tidak bisa memberi keputusan. Saya harus berunding dulu dengan para pembantuku. Besok, aku akan mengirim utusan untuk menyampaikan keputusanku.”
“Baiklah kalau begitu. Saya minta undur diri.”
Utusan itupun beringsut keluar dari ruang istana. Sepeninggal tamunya, sultan berpikir keras, hatinya berkecamuk.
“Bagaimana ini istriku? Haruskah aku beri izin kepada mereka untuk menyebarkan agamanya di negeri kita, padahal tentara mereka telah menindas bangsa kita?”
“Masalah ini cukup rumit paduka. Hamba kira paduka harus minta pendapat dari segenap pejabat istana. Paling tidak pemikiran mereka mewakili rakyat kita.” Sultan manggut-manggut.
“Baiklah, sekarang ini juga semua pejabat akan aku kumpulkan.”
Tidak lama kemudian semua pejabat istana telah berkumpul di ruang utama istana. Para pejabat saling pandang dan bertanya-tanya. Ada apa gerangan sultan memanggil malam-malam.
“Para pembantuku! Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa aku mengumpulkan kalian malam-malam begini.”
“Tadi, ada utusan dari Portugis yang meminta izin kepadaku untuk menyebarkan agamanya di sini. Aku tidak bisa memutuskan itu sendiri, karena kalau salah memutuskan bisa berakibat fatal. Oleh karena itu saya minta pendapat kalian akan hal itu.” semua pejabat nampak berpikir keras setelah mendengar perkataan sultan.
“Paduka! Negeri kita disatukan oleh kesamaan agama, kalau ada agama lain yang masuk saya takut itu akan memecah belah rakyat.”
“Saya juga setuju dengan pendapat patih Syarifudin. Menurut ajaran Islam, di luar agama kita itu adalah kafir dan halal dibunuh.”
“Paduka! Bagi hamba kita tidak bisa menghalangi maksud orang untuk menyampaikan apa yang diyakininya. Mana mungkin ia rela datang jauh-jauh dari negeri seberang, kalau tidak dengan yakin bahwa kepercayaannya adalah suatu kebaikan bagi yang lain. Bukankah Nabi sendiri mengajarkan untuk menghargai agama lain, seperti yang beliau praktekkan ketika di Madinah.” Ujar penasehat sultan.
“Tapi nabi sendiri kan kemudian memerangi orang Yahudi dan Nasrani di sana,” sela patih.
“Betul. Tapi itukan bukan alasan karena agamanya. Tapi karena mereka mengkhianati perjanjian. Berkhianat. Sekali lagi bukan karena agamanya.”
“Tapi kalau kita izinkan akan banyak rakyat kita yang keluar dari agama Islam. Relakah kita kalau saudara kita beda agama?”
Perdebatan semakin sengit.
“Cukup!!! Aku rasa, pendapat kalian telah jelas bagiku.”
“Saudara-saudara!!! Sesuai praktek Nabi Muhammad SAW, aku memutuskan untuk memberi izin bagi orang Portugis untuk menyebarkan agamanya. Dengan syarat, tetap menghormati hak rakyat untuk memilih dan tidak memaksa apalagi menindas. Kalau hal ini mereka langgar mereka akan diperangi dan dihancurkan. Dan bagi umat Islam yang berani pindah agama akan dihukum mati.
Setelah itu, atas izin Sultan di Ternate didirikan seminari untuk mendidik para calon pastor dan melakukan misi penyebaran agama Kristen. Tapi kemudian ternyata cara-cara yang digunakan tidak manusiawi bahkan mereka membantu VOC menindas rakyat sehingga memaksa sultan Khairun mengusir mereka.
*Terinspirasi dari buku Agama dan Perubahan Sosial (LKPSM,Yogyakarta) dan pernah dimuat di Syir’ah 11