Pada awalnya, pelaksanaan puasa bagi umat Islam ditandai dengan tidur sampai terbenamnya matahari. Mereka boleh makan, minum, berhubungan suami istri pada malam hari hanya sampai sebelum tidur. Hingga ada yang pingsan saat puasa.
Suatu hari salah seorang sahabat nabi, Qais bin Shirmah pulang dari sawah. Saat itu adalah bulan suci Ramadhan. Seperti para lelaki lainnya, ketika matahari hampir terbenam, mereka menemui istri untuk berbuka puasa.
“Istriku, apakah engkau memiliki makanan untuk kita berbuka?” ucap Qais pada istrinya. “Tidak suamiku, tapi tenanglah aku akan mencarikan makanan untukmu,” Jawab sang istri.
Istri Qais pun pergi mencari makanan untuk suaminya. Tak lama kemudian, ia kembali dan menemukan suaminya tertidur pulas. Melihat pemandangan ini, sang istri terkejut iba dan kasihan.
“Sungguh, kasian sekali engkau suamiku! engkau tertidur dan belum berbuka puasa!” tutur sang istri.
Kemudian sang istri membangunkannya, memintanya untuk makan dan tidak berpuasa dulu esok harinya. Namun Qais enggan menerima tawaran tersebut, ia tidak mau melanggar perintah Allah. Karna sudah tertidur, maka sejak saat itu pula ia tidak boleh makan dan melanjutkan puasanya sampai matahari kembali terbenam pada keesokan harinya.
Qais tetap berpuasa dan melanjutkan aktifitasnya sebagai petani di ladang. Tiba- tiba di pertengahan hari, Qais bin Shirmah pingsan, karna kelelahan dan ditambah lagi belum makan.
Akhirnya para sahabat melaporkan kejadian ini pada Rasulullah SAW dan turunlah Q.S al-Baqarah [02]: 187
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.
Orang-orang Islam pun pada saat itu bergembira ria, mereka berkeyakinan jika berhubungan suami istri saja diperbolehkan, maka tentu saja makan dan minumpun juga pasti diperbolehkan. Kemudian turunlah lanjutan ayat tersebut yang menegaskan diperbolehkannya makan dan minum sampai terbitnya fajar.
“dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar.”
Kisah di atas diriwayatkan oleh beberapa mukharrij, seperti imam al-Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi dan sebagainya. Mereka berbeda pendapat dalam redaksi, salah satunya dalam penjelasan riwayat disebutkan bahwa Qais bin Shirmah membawa kurma dan meminta sang istri untuk mengolah kurma tersebut.
Dalam riwayat lain diceritakan bahwa sebelum kejadian yang menimpa Qais bin Shirmah, ada kisah lain, yaitu Umar bin Khattab menggauli istrinya di malam hari setelah tertidur, maka turunlah ayat tersebut.
Terlepas dari itu semua, kisah ini menghapus ketentuan puasa yang dimulai sejak tidur, menjadi berawal sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Memang dalam riwayat Abu Daud disebutkan “Pada masa Rasulullah SAW, ketika orang- orang telah melaksanakan salat Isya’, maka haram bagi mereka untuk makan, minum, dan menggauli istri”.
Hadis ini mengindikasikan bahwa waktu puasa dimulai sejak setelah Isya’. Menurut Ibnu Hajar al-‘Atsqalani, disebutkan waktu isya’, karena saat itu merupakan waktu di mana orang- orang akan tidur. Sedangkan pada hakikatnya waktu puasa sebelum turunnya ayat di atas ditandai dengan tidur.
Selain itu, kisah di atas menjadi awal mula disyari’atkannya sahur bagi umat Islam, sekaligus untuk membedakan pelaksanaan puasa yang dilakukan oleh umat Yahudi dengan ditandai tidur. (AN)
Wallahu’alam pingsan saat puasa