Fudhail bin Iyadh merupakan salah satu sufi besar dalam sejarah tasawuf. Sebelum menjadi seorang sufi, dikisahkan bahwa ia memiliki sejarah masa lalu yang kelam. Sebagian penulis meragukan kebenaran kisah Fudhail ini, namun kebanyakan sejarawan mempercayainya.
Terlepas dari perdebatan atas keaslian cerita masa lalu Fudhail bin Iyadh, ada pesan di balik kisah kisah Fudhail ini yang sangat penting untuk menjadi bahan renungan bagi kita dalam memandang orang lain yang kita anggap sebagai “ahli maksiat”. Sebab, bisa jadi seorang ahli maksiat yang kita jelekkan dan kita sebarkan keburukannya itu justru termasuk golongan orang yang kelak bertaubat kepada Allah. Sementara kita yang merasa baik, akibat kita menghina orang yang kita anggap ahli maksiat itu, justru tercatatat sebagai orang sombong yang mengakhiri hidupnya dengan su’ul khatimah, na’udzu bilLah min dzaalik. Bukankah kemaksiatan yang mewariskan rasa hina dan rendah di hadapan Allah lebih baik daripada ketaatan yang mewariskan rasa ujub dan sombong? Berikut ini kisah pertaubatan Fudhail bin Iyad:
Hutan yang terletak antara Abyurd dan Marwa pada saat itu dikenal sebagai hutan paling menakutkan bagi para musafir dan pedagang yang hendak lewat. Hampir setiap saat Fudhail bin Iyad melakukan aksi begalnya di hutan itu. Sampai-sampai para musafir dan pedagang saling berpesan agar melewati jalan lain. Karena Fudhail tidak segan-segan merampas harta musafir dan pendagang untuk dipergunakan bersenang-senang. Aksi Fudhail ini terus berlangsung hingga dia berjumpa dengan seorang gadis. Di tengah kehidupan kelam itu, dia jatuh cinta kepada seorang gadis yang dijumpainya itu.Kesibukan memikirkan si gadis pujaannya pada akhirnya membuat Fudhail sedikit demi sedikit melupakan aksi begalnya.
Pada suatu malam, tatkala rasa cinta menguasai hatinya dan rasa rindu tak lagi mampu ditahannya, dia membuat rencana untuk menemui gadis pujaannya itu. Di paruh malam yang akhir, di mana orang-orang sedang larut dalam mimpinya kecuali orang saleh yang menghabiskan malamnya dengan bermunajat kepada Rabb-nya, Fudhail berangkat menuju rumah kekasihnya. Tatkala dia melihat rumah sang gadis, terbayang olehnya bahwa dia sedang di hadapan dandanan terindah sang kekasih yang lagi dalam penantian untuk menyambutnya. Di tengah-tengah perasaan demikian, Fudhail segera mencari cara untuk masuk ke dalam rumah sang gadis. Lalu dia memutuskan untuk naik ke atas tembok rumah itu. Namun sebelum melompat ke dalam,dia berusaha mendengarkan suara yang mungkin didengarnya supaya dia yakin menemui gadis itu di saat yang tepat.
Di saat-saat demikian, Fudhail mendengar suara orang saleh membaca ayat al-Quran:
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan banyak diantara mereka adalah orang-orang fasik.”(QS. Al-Hadid:16)
Pada saat itu, rasa cinta yang tumbuh dalam diri Fudhail telah melembutkan hati dan membebaskannya dari ketololan nafsunya. Karena itu, tatkala kalimat-kalimat Tuhan yang penuh dengan rasa kasih dan teguran sayang itu terdengar ditelinganya dan dibarengi dengan kesalehan pembaca yang bacaannya dapat menyentuh kalbu para pendengarnya maka Fudhail tak berdaya hingga dia terjatuh dan menangis menyesali betapa selama ini dia telah keluar dari fitrahnya sebagai hamba Allah yang mencinta dan menyayang sambil berucap dengan suara yang dapat memecah keheningan malam: “sekarang tiba saatnya wahai tuhanku’’.
Malam itu, terjadilah perdamaian antara seorang hamba dengan Tuhannya. Malam itu terjadilah penguburan seorang penjahat dan pembegal yang bernama Fudhail bin Iyad untuk kemudian terlahir Fudhail yang baru yang nantinya menjadi salah satu sufi besar.
Setelah kejadian ini, Fudhail pergi untuk bermalam disebuah rumah penginapan untuk kemudian kembali ke tempat tinggalnya. Di penginapan ini, dia mendengar satu rombongan bermusyawarah soal rencananya berangkat di malam hari dan jalan mana yang akan dilalui. Mereka berkata, “Jalan yang terdekat ada Fudhail. Kita khawatir dia merampok harta kita.’’ Salah satu dari mereka ada yang berkata,’’ Sebaiknya kita menunggu pagi saja. Karena jalan tidak aman dari Fudhail’’.
Mendengar perkataan rombongan ini, Fudhail menangis sambil berkata kepada dirinya,’’ Wahai diri yang jahat, celaka kamu dari siksa Allah! Kamu telah membuat orang Muslim ketakutan. Inilah lidah-lidah mereka bersaksi atas kejahatanmu.’’ Lalu Fudhail menemui rombongan tersebut,’’ Allah telah membersihkan jalan dari Fudhail. Ini dia sudah bertaubat di antara kalian. Aku berharap kalian tidak menemuiku kecuali sedang berlindung kepada Allah di Baitil Haram’’.
Setelah itu, dia pergi menuju Baitul Haram (Mekah) sambil berkata kepada dirinya sendiri, “Aku berjalan di malam hari untuk perbuatan maksiat dan kaum Muslim disini merasa takut kepadaku. Seoalah aku ini tidak dikirimkan kecuali untuk menghalangi mereka. Wahai Allah, sungguh aku bertaubat kepadamu dan aku menjadikan taubatku berdampingan dengan Baitul Haram.’’
Meski Fudhail telah kembali ke jalan Tuhannya, namun dia tidak lupa terhadap masa lalunya yang kelam itu. Karena itu semakin bertambah kedekatan dan pengagungan Fudhail kepada Allah, maka semakin bertambah pula rasa takut dan kesusahannya karena mengingat masa lalunya itu, terutama tatkala dia mendengar nama Allah atau ayat-ayat al-Qur’an. Ibrahim bin al-Asy’asy berkata:
ما رأيت أحدا كان الله أعظم في صدره من الفضيل بن عياض. كان إذ ذكر الله عنده أو سمع القرآن ظهر به من الخوف والحزن وفاضت عيناه وبكى حتى يرحمه من بحضرته وكان دائم الحزن شديد الفكر.
“Aku tidak melihat seorang-pun yang Allah lebih agungkan dalam hatinya melebihi Fudhail bin Iyad. Tatkala nama Allah disebut atau dia mendengar al-Qur an maka tampak rasa takut dan susah pada dirinya dan kedua matanya mengalirkan air mata hingga orang yang dihadapannya merasa sangat kasian. Dia selalu tampak susah dan berpikir keras’’.
Kesusahan Fudhail tersebut sering kali juga berpengaruh pada sahabat-sahabat dan santri-santrinya. Meski sebenarnya mereka ahli ibadah, wara’, zuhud dan termasuk orang yang makrifat kepada Allah, namun mereka merasa diri mereka lebih pantas untuk susah dibanding Fudhail. Abdullah bin Mubarak berkata:
“Jika aku melihat Fudhail bin Iyad maka dia memperbaharui rasa susahku (terhadap dosa-dosaku). Sehingga aku membenci diriku (karena dosa-dosaku)”.
(Disarikan dari Syakhshiyatun Istawqafatni karya Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi)