Pelaksanaan haji di Indonesia terus mengalami perkembangan dari masa ke masa. Di era kemajuan teknologi, jarak yang cukup jauh antara Indonesia-Arab Saudi tidak menjadi masalah yang berarti dengan adanya teknologi pesawat terbang. Ada satu kisah perjalanan haji yang dialami oleh para calon jamaah dari Indonesia di masa silam, yang mana mereka harus bertaruh nyawa demi berangkat haji ke tanah suci.
Dalam sejarahnya, sebuah naskah Carita Parahiyangan (naskah kuno berbahasa Sunda) menuliskan bahwa orang pertama yang menunaikan ibadah haji adalah Bratalegawa, putra kedua Prabu Pangandiparamata Jayadewabrata (berkuasa tahun 1357-1371), penguasa Kerajaan Galuh, salah satu kerajaan Sunda. (Moh Rosyid, 2017) Pendapat ini berbeda dengan versi M. Shaleh Putuhena yang menyatakan bahwa ibadah haji dilaksanakan sejak abad ke-16, juga dengan Martin van Bruinessen yang menyatakan ibadah haji telah dilaksanakan pada abad ke-17.
Menurut Martin van Bruinessen, model transportasi yang pertama kali digunakan adalah kapal layar, sebelum akhirnya berganti menjadi kapal api hingga akhirnya pesawat terbang seiring dengan perkembangan teknologi. Pada masa ketika kapal layar menjadi moda transportasi utama untuk pergi ke tanah suci, umat Islam tidak hanya harus menempuh perjalanan panjang hingga berbulan-bulan, melainkan juga dihantui bahaya yang mengancam keselamatan. Mereka harus bertaruh nyawa demi berangkat haji. Mengapa hal tersebut dapat terjadi?
Van Bruinessen menjelaskan bahwa perjalanan menggunakan kapal layar sangat bergantung pada cuaca. Kapal layar yang digunakan pun bukan kapal layar khusus penumpang, tetapi kapal para pedagang yang berlabuh di Indonesia. Sehingga para calon jamaah haji seringkali berpindah-pindah dari satu kapal ke kapal yang lainnya. Mereka yang berasal dari berbagai daerah akan berlayar menuju Aceh sebagai pelabuhan paling ujung di Indonesia. Di Aceh, mereka menantikan kapal yang menuju ke India sebelum akhirnya berpindah ke kapal yang menuju ke Yaman atau langsung ke Jeddah.
Selama pelayaran yang panjang itu, seringkali kapal layar yang ditumpangi harus berhadapan dengan cuaca buruk, tidak sedikit kapal yang pada akhirnya tenggelam bersama para penumpangnya, mereka yang selamat biasanya terdampar di pulau yang asing. Bahaya lainnya yang dapat mengancam adalah para bajak laut yang berada di perairan sepanjang rute pelayaran, mereka akan merampas harta para calon jamaah haji, bahkan tak jarang awak kapal juga melakukan hal yang sama.
Masih menurut penjelasan van Bruinessen, dalam rentang tahun 1853 hingga 1858, pemerintah kolonial Belanda mencatat bahwa jumlah orang yang kembali ke tanah air tidak sampai separuh dari jumlah orang yang berangkat. Selisih yang cukup banyak tersebut juga disebabkan adanya jamaah haji yang memilih menetap di Mekkah, namun jumlah korban yang meninggal di perjalanan juga tidak sedikit.
Sejak dibukanya terusan Suez pada tahun 1869, jumlah kapal yang berlayar ke Indonesia meningkat, hal ini membuat perjalanan haji lebih cepat, karena para calon jamaah haji tidak perlu menunggu kapal yang akan ditumpangi terlalu lama. Setelah itu, mulai ada kapal layar khusus pengangkut jamaah haji, ini tentu sangat membantu. Hanya saja, perusahaan yang mengoperasikan kapal seringkali tidak memerhatikan kesejahteraan penumpangnya.
Dari kisah perjalanan haji yang dipaparkan oleh van Bruinessen, terlihat bahwa tantangan yang harus dihadapi umat Islam Indonesia yang ingin berangkat haji pada saat itu sangat kompleks. Namun, hal tersebut tidak menghalangi tekad mereka. Mereka siap bertaruh harta dan nyawa demi berangkat haji. Van Bruinessen melihat ada hikmah di balik sulitnya melakukan perjalanan haji di masa silam, terdapat nilai sosial tinggi di dalamnya, yakni ketika umat Islam Indonesia mampu menjalin interaksi yang intens antara satu sama lain selama di Mekkah, haji menjadi ajang konsolidasi untuk melawan kolonial Belanda yang sedang menjajah Indonesia kala itu.
Saat ini, umat Islam Indonesia tidak lagi menghadapi tantangan seperti itu, karena moda transportasi pesawat terbang sudah tersedia, tantangan yang dihadapi saat ini adalah para calon jamaah harus menunggu gilirannya selama bertahun-tahun, karena jumlah pendaftar yang tidak sebanding dengan kuota yang diberikan oleh pemerintah Arab Saudi untuk Indonesia. Yang jelas, kita harus terus berdoa dan berusaha agar Allah SWT memberi kesempatan kepada kita untuk memenuhi panggilannya ke tanah suci.