Tepat hari Jumat tanggal 17 Ramadhan tahun ke-2 hijrah, dua pasukan bersapu pandang di padang Badar. Secara jumlah, dua pasukan yang berhadapan itu jelas tidak sebanding. Dari kaki bukit setempat, pasukan Quraisy menyaksikan betapa mungilnya gugusan kompi yang akan berduel dengan mereka.
Meski begitu, ada sedikit keraguan yang menerjang beberapa anggota pasukan Quraisy. Bukan sedikitnya jumlah pasukan yang akan mereka hadapi, melainkan kebanggaan macam apa yang dihasilkan dari baku-pedang melawan saudara. Yang dilawan kali ini bukanlah musuh dari antah-berantah, tetapi sanak-famili mereka sendiri. Moral peperangan itu mencekik nadi harga diri para pasukan Qurasiy.
“Wahai kaum Quraisy, aku tidak yakin jika pasukan Muhammad akan terbunuh. Malahan, mungkin saja jika mereka duluan yang akan membunuh kalian. Jika ini terjadi hingga jumlah mereka dengan jumlah kalian menjadi setara, maka kehendak apalagi yang tersisa?” ujar Umair bin Wahab kepada elite Quraisy.
Keraguan serupa juga mencelat dari lubuk hati Utbah bin Rabi’ah. Begini kira-kira untaian keresahan Utbah:
“Wahai orang-orang Quraisy, kalian tidak akan mendapatkan keuntungan apapun dari perang melawan Muhammad dan para sahabatnya. Jika mereka kalah, kalian akan dipandang jijik selamanya karena telah membunuh paman, sepupu, dan keluarga kalian sendiri. Karena itu kembalilah ke rumah kalian dan tinggalkanlah Muhammad. Biarkan ia berurusan dengan orang Arab selain kalian. Bila Muhammad dan sahabatnya terbunuh, maka itu sesuai dengan harapan kalian, namun jika tidak, kalian akan dipandang telah menunjukkan sikap sabar kepadanya.”
Kontras dengan itu, pasukan Nabi Muhammad SAW justru tidak menunjukkan kegentaran sama sekali. Kalau pasukan Hizbullah bisa sedemikian gigih melawan koloni sejurus setelah Hadlratus Syaikh Hasyim Asy’ari mewedarkan fatwa wajib perang bagi umat Muslim yang berada di dalam radius 94 km dari pusat pertempuran melawan tentara Sekutu, maka bisa dibayangkan betapa dahsyatnya letupan heroisme sahabat Muhajirin dan Anshor sewaktu Nabi SAW menerima wahyu tentang izin perang.
Di masa sebelumnya, umat Muhammad SAW hanya bisa bersabar, bersabar, dan bersabar. Tetapi langkah radikal memang harus diambil ketika masa depan kaum beriman menjadi taruhannya.
Dan, melalui pressing-trigger yang terukur, kali ini umat Muslim akan mencetak kemenangan di lembah Badar. Mirip seperti apa yang dilakukan Karim Benzema ketika merumput, untuk mengobrak-abrik pertahanan lawan, kita sesekali perlu memancing agar mereka melakukan blunder di wilayah terlemah. Donnarumma, Mendy, dan Karius mungkin menjadi saksi betapa ampuhnya Benzema membaca kelemahan lawannya.
Bagi orang Quraisy, kafilah dagang yang di dalamnya terhimpun bejibun harta dan barang berharga adalah titik lemah kekuatan mereka. Nabi Muhammad tau betul hal itu. Maka, ketika ada informasi tentang melintasnya rombongan Abu Sufyan setelah melakukan perjalanan dagang di Syiria, Thalhah dan Sa’id (sepupu Umar) diutus oleh Nabi SAW untuk menjadi mata-mata. Tugas mereka sederhana: melaporkan situasi lapangan dan melacak rute kafilah dagang Abu Sufyan.
Sayang sekali, siasat itu tercium oleh orang Quraisy. Lewat kaum munafik yang menyusup di barisan umat Muslim, informasi yang telah disusun Nabi Muhammad itu bocor hingga ke telinga Abu Sufyan.
Memang, situasi lapangan agak sedikit meleset dari rencana semula. Tapi bukankah itu sudah biasa terjadi di dalam setrategi kehidupan sehari-hari?
Toh, Abu Sufyan tetap terpancing emosi sehingga cukup impulsif merespon pergerakan umat Muslim.
Sejurus kemudian, seorang pria dari suku Ghifar bernama Damdam diutus oleh Abu Sufyan agar bergegas memberitahu penduduk Mekah. Proposalnya adalah meminta agar dikirim bala bantuan untuk melindungi kafilah dagang orang Quraisy.
Ribuan pasukan Quraisy pun merayap menuju Badar dan segera mengevakuasi barang dagangan Abu Sufyan. Kini karavan dagang sudah aman. Kepada para pasukan Quraisy Abu Sufyan meminta agar mereka segara putar-balik ke Mekah. Di sini lalu terjadi silang pendapat.
Gejolak internal di dalam tubuh pasukan Quraisy semakin memanas. Sebagian merasa bahwa alasan peperangan tak lagi relevan. Sebagian yang lain membantah dengan argumen bahwa ribuan serdadu yang sudah ada di Badar hanya akan menjadi pecundang jika melaju pulang.
Kesombongan, keangkuhan, dan perasaan menang-menangan pun semakin bergolak di dalam diri pasukan Quraisy. Abu Jahal bahkan dengan ketus mengolok-olok mereka yang meragukan peperangan yang sudah ada di depan mata melawan umat Muhammad.
“Pengecut kau Utbah!!” maki Abu Jahal.
“Kelak, engkau akan mengetahui siapa yang penakut dan melakukan keburukan untuk kaumnya sendiri,” balas Utbah setelah gagal meyakinkan pasukan Quraisy agar kembali ke Mekah.
Aroma perang pun semakin tajam tercium. Sementara pasukan Quraisy berdebat dengan kaum mereka sendiri, umat Muslim melakukan briefing, menegakkan disiplin perang, dan memanjatkan doa. Barangkali, yang terakhir itu merupakan diferensiasi paling mencolok antara dua pasukan di gelanggang Badar.
“Ya Allah penuhilah apa yang Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, sesungguhnya aku akan menagih janji-Mu.”
Doa yang dipanjatkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW itu meneguhkan kesadaran umat Muslim atas surga yang telah dijanjikan bagi mereka yang bersungguh-sungguh dalam berjihad. Peperangan pun pecah. Aksi baku-pedang, bunuh-bunuhan, dan adu kekuatan fisik menyatu dalam satu kata: Lawan.
Di dalam perang, segala kemungkinan bisa terjadi. Secara jumlah, umat Muslim jelas tidak diuntungkan. Dan, begitulah faktanya. Kengerian perang itu semakin menyayat kekuatan pasukan Nabi Muhammad. Persis di denyar kekalutan inilah mentalitas manusia ditempa.
“Knowing that you have little chance of success is just a human quality that is just difficult to imagine, (Mengetahui bahwa kamu hanya punya sedikit peluang untuk menang adalah kualitas manusia yang sulit untuk dibayangkan)” kata pakar sejarah militer Universitas Old Domonion, Timothy Orr saat mengomentasi detail-detail Perang Pasifik di Midway.
Maka, saat barisan kaum beriman semakin terdesak dan berkurang, Nabi SAW kemudian memanjatkan doa lagi. Kali ini, doa itu berisi kegetiran yang dalam.
“Ya Allah, jika pasukan ini hancur pada hari ini, tentu tidak akan ada lagi yang menyembah-Mu, kecuali jika Engkau memang menhendaki demikian selamanya.”
Qur’an merekam bala tentara malaikat dengan cukup taktis, energik, dan kontinyu. Turunnya malaikat di dalam perang Badar bukan saja membantu kaum beriman, tetapi juga menghinakan pasukan Quraisy.
إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَٱسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّى مُمِدُّكُم بِأَلْفٍ مِّنَ ٱلْمَلَٰٓئِكَةِ مُرْدِفِينَ
(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut”. (Q.S. al-Anfal: 9)
إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ آمَنُوا ۚ سَأُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُوا الرُّعْبَ فَاضْرِبُوا فَوْقَ الْأَعْنَاقِ وَاضْرِبُوا مِنْهُمْ كُلَّ بَنَانٍ
(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman”. Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggal-lah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. (Q.S. Al-Anfal: 12)
فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ قَتَلَهُمْ ۚ وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ رَمَىٰ ۚ وَلِيُبْلِىَ ٱلْمُؤْمِنِينَ مِنْهُ بَلَآءً حَسَنًا ۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. Al-Anfal: 17)
Dalam waktu singkat, situasi segera berbalik. Kini pasukan Quraisy terbenam di ufuk kekalahan. Hampir tujuh puluh orang elite Mekah menjadi tawanan. Abu Jahal sendiri tewas setelah kepalanya kena tebas.
Meski begitu, perang Badar tetap saja bukan situasi yang mudah bagi kedua belah pihak. Faktor persaudaraan masih bersinar di antara mereka. Umar bin Khathab, umpamanya, harus menghunus pedang di hadapan pamannya sendiri, Ash bin Hisyam bin Mughirah.
Perang adalah fragmen mutlak dalam sejarah peradaban Islam. Di titik ini, Nabi Muhammad dengan benderang sedang menunjukkan bagaimana watak seorang utusan yang membumi dan penuh keseimbangan: bahwa dalam semesta pergerakan itu isinya tak melulu mewedarkan ajaran kasih sayang, melainkan juga terlibat langsung dalam konfrontasi fisik.
Badar, dengan demikian, menjadi bukti betapa Nabi Muhammad melebur dalam sisi kemanusiaan yang membedakan dengan pendahulunya, Nuh alaihissalam atau Isa alaihissalam. Charles Le Gai Eaton a.k.a Hassan Abdul-Hakeem, misalnya, menyebut bahwa teladan Nabi SAW dalam Islam sangatlah berbeda dengan teladan Kristus yang penuh spiritualitas.
“Muhammad SAW ditakdirkan untuk menjalani kehidupan yang sarat dengan berbagai pengalaman besar yang mungkin akan dihadapi juga oleh seorang manuzsia pada masa hidupnya… Jika dihadapkan pada beberapa masalah umum kemanusiaan, orang Kristen akan mencari dalam hatinya sendiri untuk menemukan apa yang mungkin dilakukan Yesus. Sedangkan bagi seorang Muslim, mereka hampir pasti mengetahui apa yang akan dilakukan Muhammad SAW…” tulisnya dalam buku Islamic Spirituality Fondation.
Belakangan, langkah Nabi Muhammad untuk berperang itu justru menjadi persoalan serius yang rumit dan melelahkan bagi gerakan Islam. Sementara badai sterotipe menerjang agama Islam yang dituduh sebagai inspirator kekerasan, sebagian umat Muslim justru memperagakan kepongahan yang serupa dengan kafir Quraisy. Keduanya tentu saja ngawur belaka.
Tak kalah ironis ketika muncul poros ketiga: tafsir Islam yang mencoba melakukan counter-attack terhadap dua hal sebelumnya lewat upaya merevisi ‘ayat perang’, atau mengubur realitas tentang perang Badar dan ekspedisi militer lainnya dalam sejarah peradaban Islam.
FYI, dalam satu dasawarsa menjelang wafat, Rasulullah tak kurang melakukan 74 ekspedisi militer dan 24 di antaranya dipimpin Nabi SAW secara langsung, entah dalam motif perlindungan, menghimpun kekuatan, atau perluasan pengaruh gerakan.
Tetapi tentu saja, perang di sini bukan dalam pengertian ekspresi kebuasan karena Islam pada kenyataannya juga memberi ruang bagi perdamaian. Malahan, Allah sendiri yang lebih mendesak perdamaian ketimbang pertikaian atau adu senjata yang hanya akan memakan banyak korban.
Dan pemberian maafmu itu lebih dekat kepada takwa (Q.S. al-Baqarah: 237)