Suatu ketika datang seorang penduduk Madinah, petani dari kaum Ansar, yang berniat membawakan hadiah pakaian kepada Rasulullah SAW. Pakaian yang akan dia hadiahkan kepada Rasulullah berbahan sutra, yang bagi dirinya merupakan pakaian terbaik dan layak untuk dihadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Saat itu, si petani penduduk Madinah itu belum tahu bahwa pakaian berbahan sutra murni haram dikenakan oleh pria, apalagi dikenakan bagi Rasulullah SAW.
Sampailah si penduduk Ansar itu kepada Rasulullah SAW. Rasulullah yang saat itu belum tahu bahan pakaian tersebut menerima hadiah petani itu dengan senang hati. Tak lama kemudian beliau langsung mengenakan pakaian berbahan sutra tersebut.
Beberapa saat kemudian, ada seorang Sahabat yang menjumpai Rasulullah sedang mengenakan pakaian sutra tersebut, dan secara spontan berseru: “Wahai Rasulullah, itu pakaian dari sutra murni!”
Rasulullah yang mendengarnya terkejut, dan dengan cepat melepaskan pakaian sutra hadiah tersebut. Seraya berkata: “hadzaa laisa libaas al-muttaqin!”, ini bukanlah pakaian orang bertaqwa. Saat Rasulullah melepaskan pakaian sutra tersebut, disaksikan pula oleh para sahabat lain.
Begitu beliau mengetahui pakaian tersebut adalah sutra, yang diharamkan untuk beliau dikenakan, tapi beliau tidak langsung marah dan mencela si petani penduduk Madinah tadi di depan para sahabat. Jika Rasulullah marah kepada si pemberi hadiah, pasti kabar tersebut akan menyebar dan niscaya akan sampai ke telinga si pemberi, dan mengecewakan juga akan menyakiti hati si pemberi hadiah.
Rasulullah punya caranya sendiri dalam menjaga hati si pemberi hadiah. Beliau mengutus seorang sahabat untuk menyampaikan pesan kepada si petani tadi, bahwa beliau tidak berkenan untuk mengenakan pakaian sutra yang dia hadiahkan.
Sampailah sahabat utusan Rasulullah menemui petani penduduk Madinah tersebut, yang sedang mencangkul di tengah ladang kurmanya. Sang Sahabat memberitahukan apa yang terjadi, bahwa pakaian sutra itu haram dikenakan oleh Rasulullah, oleh karenanya beliau tidak berkenan memakainya dan mengutusnya ke sini.
Wajah si petani kontan pucat pasi mendengar kabar itu. “Astaghfirullah, aku memberi barang haram untuk hadiah kepada Rasulullah! Lalu bagaimana?”
Sang Sahabat menjawab, “Rasulullah buru-buru mencopotnya dan mengatakan tidak mau memakainya!”
Lemas si petani mendengarnya. Cangkul yang semula mantap di tangannya, lepas dari genggaman. Dia sangat khawatir kalau hadiahnya membuat Rasulullah tidak berkenan, dan sudaah tentu Rasululah akan marah. Dia sangat ketakutan.
“Lantas bagaimana, wahai Sahabat? Apakah Rasulullah akan marah?” dia bertanya sambil tergopoh-gopoh kebingungan.
“Tidak,” jawab sang Sahabat. “Rasulullah tidak marah. Beliau justru ingin sekali mengenakan pakaian yang sedang engkau kenakan saat ini.” Lanjut sang Sahabat dengan kalem.
“Benarkah Rasulullah menghendaki demikian?” Tanya si petani. “Betul,” kata Sahabat. “Rasulullah sendiri yang menginginkannya. Segera tukar kain sutra ini dengan pakaian yang kau kenakan.”
Si petani Ansar tadi seketika ambruk, berlutut ke tanah. Ia menangis terharu, seakan tidak percaya. Betapa tidak, pakaian yang ia kenakan adalah pakaian bertani, yang lusuh dan kotor. Belum lagi penuh noda lumpur sebab percikan air pengairan ladang kurma yang sedang ia cangkul. Sementara Rasulullah sendiri menginginkan pakaian lusuh itu.
Demikianlah luhurnya budi pekerti Rasulullah SAW. Beliau sangat bisa menjaga perasaan orang lain, bahkan rakyat jelata sekalipun. Meski apa yang diperbuat oleh si petani tersebut salah, tapi karena ketidaktahuannya, maka Rasulullah sangat memaklumi, dan justru memperlakukannya dengan cara yang sangat lembut, dan indah.
Cerita ini diolah dari sebuah kisah yang diceritakan oleh Habib Munzir Al-Musawa dalam sebuah video di channel Majelis Rasulullah SAW.