Syaikh Shafwak Sa’dallah al-Mukhtar pernah mengisahkan sebuah cerita menarik tentang kebenaran dan kebatilan. Kisah ini beliau tuliskan dalam kitab Anisul Mu’minin dengan judul al-Bathil wa al-Haq.
Begini kisahnya; Alkisah di suatu negeri ada dua orang bertetangga, salah seorang dari mereka ada yang hidup dalam garis kemiskinan, sementara salah seorang lagi hidup dalam keadaan kaya dan serba berkecukupan.
Di tengah kemiskinannya si miskin ini memiliki seekor sapi betina, sementara si kaya memiliki seekor kuda jantan. Pada suatu hari sapi milik si miskin beranak. Namun si kaya yang iri hati melihat sapi si miskin beranak tiba-tiba melontarkan kata-kata di luar nalar, “Anak sapi itu adalah hasil dari hubungan antara sapimu dengan kuda jantanku.”
Perkataan itu hanyalah bualan si kaya saja. Mendengar bualan si kaya tadi, si miskin pun membantah, “Baru kali ini aku mendengar bualan murahan seperti ini.”
Kejadian ini pun tak pelak menjadi sengketa yang begitu alot. Si kaya yang kemrungsung menginginkan anak sapi itu menjadi miliknya memperkarakan kasus ini ke pengadilan. Anehnya, sang hakim memutuskan bahwa anak sapi itu memang hasil hubungan antara sapi betina si miskin dengan kudan jantan si kaya, seraya sang hakim berkata, “Apakah kamu tidak melihat kilauan matanya, persis mata kuda, lagi pula kakinya juga empat persis seperti kaki ayahnya (kuda).
Pada akhirnya sang hakim memutuskan bahwa anak sapi itu harus diberikan kepada si kaya, sang pemilik kuda.
Menghadapi putusan sang hakim, si miskin merasa ditipu dan lantas mengajukan banding ke mahkamah tinggi. Namun sialnya putusan mahkamah tinggi pun sama dengan putusan pengadilan.
Dengan perasaan yang berkecamuk sedih, marah dan kecewa, si miskin lantas mengajukan gugatan ke mahkamah agung dengan harapan menemukan keadilan atas perkara pelik yang sedang ia hadapi. Ia ingin menunjukkan mana haq dan mana yang batil.
Ketika hakim mahkamah tinggi hendak memutuskan perkara pelik itu, mendadak sang hakim berkata kepada si miskin dan si kaya, “Maafkan aku, hari ini aku tidak bisa memutuskan perkara ini.
Si kaya dengan nada sedikit protes melontarkan pertanyaan, “Mengapa demikian tuan hakim?”
Hakim mahkamah agung itu pun lantas menjawab, “Aku sedang haid, kalau aku dalam keadaan haid aku tak bisa mengadili sebuah perkara.”
Si kaya yang semakin jengkel lantas bertanya, “Wahai tuan, mana mungkin ada seorang laki-laki bisa haid?”
Kemudian sang hakim mahkamah agung dengan tegas membalas pertanyaan si kaya, “Kalau kamu tidak percaya seorang laki-laki bisa haid, kenapa kamu hendak memaksa orang lain percaya dengan bualanmu itu, ihwal kudamu adalah ayah dari anak sapi si miskin.”
Mendengar jawaban sang hakim, si kaya lantas diam tak berkutik dengan pertanyaan jebakan dari sang hakim. Dan akhirnya mahkamah agung memutuskan anak sapi itu adalah mutlak milik si miskin.