Suatu ketika Nasruddin sedang dalam perjalanan dengan seorang pastur dan yogi. Pada hari kesekian, bekal mereka habis dan tinggal sepotong kecil roti. Masing-masing merasa berhak memakan roti itu. Setelah debat seru, akhirnya mereka bersepakat memberikan roti itu kepada yang malam itu memperoleh mimpi paling religius. Maka tidurlah mereka.
Pagi harinya, saat bangun, pastur bercerita: “Aku bermimpi melihat kristus membuat tanda salib. Itu adalah tanda yang istimewa sekali.”
Yogi menukas, “Itu memang istimewa. Tapi aku bermimpi melakukan perjalanan ke nirwana, dan menemui tempat paling damai.”
Kemudian Nasruddin berkata, “Aku bermimpi sedang kelaparan di tengah gurun, dan tampak bayangan nabi Khidir bersabda ‘Kalau engkau lapar, makanlah roti itu.’ Jadi aku langsung bangun dan memakan roti itu saat itu juga.”
Kisah Nasuddin Hoja di atas kelihatannya memang sederhana, tapi bukan Nasruddin Hoja jika kisahnya tidak mengandung hikmah. Melalui kisahnya ini tokoh sufistik yang humoris dan sarat hikmah ini sebenarnya ingin menyampaikan pesan bagi kita umat beragama.
Bagi Nasruddin, klaim-klaim atas seberapa religius kita dalam beragama bukan terletak pada seberapa paham kita akan agama yang kita anut, dan bukan pula terletak pada seberapa cerdik kita berdebat soal agama.
Religius dalam kisah ini adalah bagaimana agama bisa berdampak baik pada pola dzikir, pola fikir, dan pola sikap terhadap kehidupan kita. Beragama bukan terletak pada seberapa paham kita akan agama yang kita anut, dan bukan pula terletak pada seberapa cerdik kita berdebat soal agama. Kalau tolak ukurnya seberapa paham dan seberapa cerdik kita berdebat soal agama, itu berarti sekarang kita sedang belajar agama.
Beragama bagi Nasruddin adalah bagaimana nilai-nilai agama dapat berdampak baik pada pola dzikir, pola fikir, dan pola sikap terhadap kehidupan kita bersama umat agama lain dan semesta raya di sekitar kita. Itulah sejatinya mengamalkan agama.
Wallahu A’lam