Suatu ketika ada seorang filsuf dogmatis sedang meyampaikan ceramah. Nasruddin yang sedang mendengarkan, mendapati bahwa jalan pikiran sang filsuf terkotak-kotak, dan sering menggunakan aspek intelektual yang tidak realistis. Setiap masalah didiskusikan dengan menyitir buku-buku dan kisah-kisah klasik, dianalogikan dengan cara yang tidak semestinya.
Akhirnya, sang penceramah mengacungkan buku hasil karyanya sendiri. Nasruddin segera mengacungkan tangan untuk menerimanya pertama kali. Sambil memegangnya dengan serius, Nasruddin membuka halaman demi halaman, berdiam diri. Lama sekali. Sang penceramah mulai kesal.
“Engkau bahkan membaca bukuku terbalik!,” ucap sang filsuf kesal.
“Aku tahu,” jawab Nasrudin acuh, “Tapi karena cuma ini satu-satunya hasil karyamu, rasanya, ya, memang begini caranya mempelajari jalan pikiranmu.”
Belajar dari kisah Nasruddin dan fisluf di atas, hendaknya seorang filsuf ataupun intelektual bersikap bijak dan menggunakan analogi dengan semestinya tanpa harus menggunakan logika yang jelimet. Maka tidak tepat apabila ada filsuf maupun intelektual yang dengan bangganya menggemari hal-hal yang rumit menurut awam, sehingga membutakan orang awam pada kebenaran yang sebenarnya sederhana.
Maka dari itu tugas utama seorang filsuf dan intelektual adalah membantu yang awam meraih kebenaran dengan sederhana, bukan malah membuat yang awam menjadi rumit dan jelimet karena tingkah pola seorang filsuf dan intelektual.
Wallahu A’lam.