Pandangan Para Filsuf Tentang Riba

Pandangan Para Filsuf Tentang Riba

Pandangan Para Filsuf Tentang Riba

Riba merupakan praktik jual beli yang dilarang dalam agama Islam, bahkan Yahudi dan Kristen. juga sepakat keharamannya, sebab praktik riba merugikan banyak orang: orang miskin semakin miskin dan orang kaya semakin kaya.

Jika selama ini informasi mengenai pandangan ulama muslim tentang hukum riba sudah sering kita dengarkan, betapa menariknya jika kita menilik pandangan para filsuf Yunani, seperti Plato, Aristoteles, Cato dan Cicero mengenai praktik riba.

Sebelum menelaah pandangan Plato dan Aristoteles mengenai riba, kita perlu mengetahui terlebih dahulu bahwasannnya praktik riba telah ada sejak masa Romawi, sekitar abad V sebelum masehi.

Pada masa itu terdapat undang-undang yang membenarkan penduduknya untuk mengambil bunga sesuai dengan tingkat yang ditentukan oleh hukum. Tingkatan bunga tersebut berubah-ubah seiring berjalannya waktu. Meski pengambilan bunga diperbolehkan, namun tidak dibenarkan dengan cara double countable atau bunga-berbunga.

Hukum mengenai kebolehan tersebut di sisi pemerintahan terjadi perubahan di beberapa masa. Sebut saja pada masa pemerintahan Genucia (342 SM), praktik pengambilan bunga ini dilarang, namun pada masa Unciaria (88 SM) praktik ini dibolehkan kembali sebagaimana mulanya.

Perkembangan Romawi tak lepas dari pemikiran besar para filsuf seperti Plato (427-347 SM), Aristoteles (384-322 SM), Cato (234-149 SM) dan Cicero (106-43 SM). Pemikiran keduanya memiliki pengaruh besar bagi rakyat Romawi.

Plato mengecam keras praktik riba. Ia memiliki dua alasan mengapa riba sangat dilarang. Pertama, riba (bunga) menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua, riba merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan msikin.

Adapun Aristoteles berpendapat dengan keberatan mengenai uang. Ia mengemukakan bahwa uang memiliki fungsi sebagai alat tukar, dan bukan alat sebagai menghasilkan tambahan melalui bunga. Mengenai bunga, Aristoteles menganggapnya sebagai uang yang berasal dari uang yang keberadaanya dari sesuatu yang belum tentu pasti terjadi.

Cicero, seorang filsuf dan orator ulung, sekaligus negarawan dan penulis handal pada masanya menasihati anaknya agar menjauhi dua pekerjaan, yakni memungut cukai dan mengambil bunga.

Adapun Cato, filsuf beraliran Stoic sekaligus seorang negarawan pada masa Romawi memberikan dua ilustrasi untuk yang dapat membedakan perniagaan dan pemberian pinjaman. Perniagaan adalah suatu pekerjaan yang mempunyai resiko, sedang memberikan pinjaman dengan bunga adalah sesuatu yang tidak pantas.

Dalam tradisi mereka ada perbandingan antara seorang pencuri dan pemakan bunga. Pencuri akan didenda dua kali lipat, sedang pemakan bunga akan didenda empat kali lipat.

Demikian pendapat para para filsuf Yunani kala itu. Dari semua pendapat mereka, kita dapat menyimpulkan bahwa tindak ketidakadilan dari masa ke masa yang lainnya harus dihapuskan, meski tidak dapat diberantas secara keseluruhan, namun dengan proses dan usaha serta perjuangan yang keras, praktik yang merugikan masyarakat dapat dihapuskan, sehingga masing-masing individu mendapatkan kesejahteraanya. Tabik!

(disarikan dari buku Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Dr. Syafii Antonio, M.Ec.)