Nabi Ibrahim alaihi salam disebut sebagai kholilullah atau kekasih Allah. Beragam versi ceritanya menjadi lahapan cerita anak-anak tentang nabi-nabi dari masa kecil hingga bahasan yang agak serius di masa dewasa. Begitu mulianya Nabi Ibrahim hingga dijulukui sebagai kholilullah.
Nabi Ibrahim melahirkan keturunan-keturunan besar, seperti Ishak dan Ismail yang nantinya melahirkan manusia agung, Muhammad SAW. Ibrahim melahirkan keturunan-keturunan dalam 3 agama besar di dunia yang disebut sebagai agama ibrahimiyah atau agama-agama samawi yakni, Islam, Yahudi dan Nasrani.
Kebesaran Ibrahim sebagai kekasih Allah sekaligus nabi dan rasul tidak serta merta membuatnya merasa digaransi oleh Allah dalam hal dosa dan maksiat. Dalam suatu kisah yang ditulis oleh ulama besar yang berjuluk Hujjatul Islam, Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali atau dikenal dengan Imam al-Ghazali dalam kitab Minhajul Abidin, terdapat dialog antara Nabi Ibrahim dan malaikat Jibril.
Suatu hari Ibrahim menangis karena ketakutan yang besar. Dalam Al-Qur’an surat Asy Syuara ayat 82 dijelaskan bahwa Ibrahim berkata: “dan yang aku inginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat.” Ibrahim takut jika ia bukan dari golongan yang diampuni dosanya kelak.
Melihat Ibrahim sedih dan penuh ketakutan, datanglah Jibril. Berkatalah Jibril kepada si bapak Isma’il tersebut, “Wahai Ibrahim, apakah kamu tahu ada kekasih yang tega menyiksa kekasihnya dengan api neraka?” Mendengar Jibril berkata demikian, berkatalah Ibrahim, “Wahai Jibril, ketika aku mengingat kesalahanku, maka aku lupa akan kasih kekasihku”.
Ibrahim yang sudah menjadi kekasih Allah saja, masih memikirkan dosa-dosanya hingga menangis karena ketakutan akan tidak adanya ampunan bagi dosa-dosanya kelak di hari akhir. Sementara kita sebagai hamba yang hidup berabad-abad setelah masa Ibrahim, sering lupa akan dosa. Bahkan secara lancang pula, terkadang kita suka melihat kesalahan orang lain, menertawakan, mengolok, bahkan mengkafirkan. Secara tak sadar, kita memasuki rana Tuhan dalam hal menilai dosa dan pahala.
Takfiri atau mengkafirkan memang menjadi semacam model dakwah yang sering disebut di sosial media. Di era kemajuan teknologi sekarang, mengomentari dosa dan kesalahan orang lain lebih mudah dari pada melihat dosa dan kesalahan sendiri. Dengan modal satu dua ayat dan hadis serta sedikit cuplikan kalimat ulama, kita menyebarkan faham yang kita yakini dan memaksa orang lain untuk menerima.
Kemarahan kita karena perbedaan cara pandang atau ibadah membawa kita merasa menjadi makhluk atau golongan yang benar. Merasa digaransi Tuhan karena merasa aman setelah bertaqlid pada suatu pendapat. Sementara Ibrahim yang seorang kekasih Allah masih merasa takut akan dosa-dosanya.
Nabi besar, Muhammad SAW sudah digaransi Allah akan dosa-dosanya. Nabi merupakan orang yang ma’shum. Kendati demikian, tidak juga nabi berleha-leha dan meninggalkan ibadah. Dalam kitab yang sama, diceritakan suatu hari sahabat mengetahui Nabi Muhammad SAW shalat di malam hari hingga kedua kakinya bengkak. Bertanyalah para sahabat kepada Rasul SAW, “Mengapa engkau melakukan ini Wahai Rosulullah? Bukan kah Allah telah mengampuni dosa-dosamu, baik yang terdahulu maupun yang akhir?”, Rasulullah menjawab pertanyaan sahabat-sahabatnya tersebut, “Bukankah aku adalah seorang hambah yang bersyukur?”.
Nabi Muhammad bersyukur sebagai hambah dengan beribadah, meskipun Allah jelas mengampuni dosa-dosanya, baik yang terdahulu maupun yang akhir.
Semoga kita tergolong ke dalam hamba-hamba yang bertaubat. (AN)
Wallahualam bi showab.