Kisah Nabi dan Seorang Yahudi yang Penasaran akan Kenabiannya

Kisah Nabi dan Seorang Yahudi yang Penasaran akan Kenabiannya

Kisah Nabi dan Seorang Yahudi yang Penasaran akan Kenabiannya

Tersebutlah salah seorang Yahudi bernama Zaid bin Samnah, yang masih merupakan warga Madinah. Salah satu kegemarannya adalah meneliti kitab-kitab yang diturunkan kepada para Nabi terdahulu. Dia mendapati keterangan bahwa akan ada nabi akhir zaman; tak akan nabi setelahnya, yang budi pekertinya sungguh agung dan indah, di sana disebutkan,

يسبق حلمه جهله ولا يزيد شدة الجهل عليه إلا حلما

Ketika disakiti orang lain, ia tidak akan melakukan tindakan bodoh tanpa kontrol emosi kemarahan. Dan apa pun yang dilakukan nabi pamungkas itu -sebagai balasan sikap orang bodoh, pasti di dalamnya terdapat hikmah.

Setelah Zaid bin Samnah mengetahui hijrah Rasul ke Madinah ia ingin sekali membuktikan apakah yang dibacanya benar. Ringkas cerita, demi menguji isi kebenaran kitab yang telah dibacanya, Zaid di sengaja memberikan pinjaman sejumlah uang pada Nabi dengan perjanjian pengembalian hutang pada hari yang telah disepakati.

Tiga hari sebelum jatuh tempo,  Zaid sengaja sudah menagih. Dengan mulut berbusa-busa berbagai macam caci maki, ia lontarkan hingga membuat hati panas bagi siapapun yang mendengar makian nya.

Sebagian sahabat Nabi, diantaranya– Umar bin Khattab meradang. Hampir saja ia menghajar dan membunuhnya karena melihat orang yang tak tahu sopan santun ini. Namun dengan sigap Rasulullah SAW melerainya. Hingga selamat lah Zaid dari sergapan Umar.

Setelah mengalami kejadian itu, ia menjadi yakin bahwa Muhammad ibnu Abdillah adalah sosok yang menjadi ‘kabar gembira’ para nabi terdahulu yang terdapat dalam kitab-kitab mereka.

Segera ia berikrar mengucapkan dua kalimat syahadat.

أشهد أن لا اله الا الله وأشهد أنك رسول الله

 

Aku bersaksi — mengetahui, mengakui, dan meyakini– bahwa tiada Tuhan yang berhak ditunduki secara hakiki melainkan Allah. Dan aku bersaksi bahwa engkau wahai Muhammad adalah Utusan Allah –dan setiap ajaranmu pasti benar adanya; tak berubah hingga yaumil qiyamah–.

Dikutip dari Imaduddin Jamil Halim, Ad Durar As Sulthaniyyah,  hal. 226-227