Dalam khazanah keilmuan Islam, khususnya dalam keilmuan hadis dan fiqih Mazhab Syafi’i, nama Abu Zakariya Yahya bin Syarof An-Nawawi atau Imam an-Nawawi tidak bisa dilewatkan. Wafat di usia yang relatif muda, yakni 46 tahun, beliau menghasilkan puluhan karya yang dijadikan rujukan utama keilmuan Islam dalam berbagai bidang. masa kecil imam an-nawawi
Tak heran, bila beliau dijuluki muhyiddin (penghidup agama). Ibnu Katsir menyebutnya sebagai salah satu jajaran ulama’ besar yang mencapai posisi yang tidak bisa dicapai ulama’ lain pada zamanya dan zaman sebelumnya.
Disebutkan dalam Tuhfat Ath-Thalibin fi Tarjamat Al-Imam An-Nawawi, ada 27 kitab yang selesai beliau tulis semasa hidupnya. Di antaranya adalah Syarah Shohih Al–Muslim, Riyadh Ash-Shalihin min Kalam Sayid Al-Mursalin, dan Arbain An-Nawa kitab yang sering dikaji dalam studi hadis di pesantren-pesantren.
Dalam bidang fikih, ada Ar-Raudhah dan Al-Minhaj. Sementara dalam bidang Ulumul Qur’an ada kitab At-Tibyan fi Adabi Hamalat Al-Qur’an. Selain itu, ada 11 kitab yang dalam proses penulisan. Di antaranya adalah kitab babon dalam fikih Mazhab Syafi’i, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazab. Sementara bila ditambah dengan keterangan dalam Hidayat Al-Arifin fi Asma’ Al Muallifin wa atsaru Al Mushonnifin yang menyebutkan delapan kitab lagi karya Imam an Nawawi, berarti total ada 46 kitab yang ditulis oleh Imam an Nawawi dalam berbagai bidang keilmuan, jumlah yang sama dengan usianya.
Keilmuan yang sedemikian luas dan pentingnya sumbangsih pemikirannya dalam berbagai bidang keilmuan Islam yang diakui oleh berbagai ulama’ besar, dapat dicapai karena kecintaan beliau yang besar pada ilmu.
As-Sakhawy menyebutkan bahwa tak ada hari yang dilewatkan Imam an Nawawi tanpa membaca, menulis, mengajar, dan beribadah. Dalam biografi Imam an Nawawi karya Abdul Ghoni Ad-Daqri juga disebutkan bahwa beliau menulis sampai tanganya kelelahan, setelah kecapekan beliau meletakkan penanya dan kemudian mendendangkan syair.
Imam an Nawawi dilahirkan di Nawa (sekarang terletak di Syiria) pada tahun 631 H/1233 M. Nama beliau adalah Abu Zakariya Yahya putra dari seorang Zuhud dan Wira’i, Syarof bin Murry Al-Hizamy An-Nawawi. Selain dikenal Zuhud dan Wali, ayah Imam an Nawawi mempunyai toko di Nawa. Imam an Nawawi kecil hidup di toko tersebut di bawah pengawasan Ayahnya. Setelah berusia 10 tahun, beliau ditugasi ayahnya untuk menjaga toko. Dalam melaksanakan tugas tersebut, beliau selalu mengisinya dengan membaca Al-Qur’an.
Ada dua peristiwa yang dialami Imam an Nawawi waktu kecil, yang menjadi tanda bahwa kelak beliau akan jadi orang besar di zamanya. Yang pertama, saat beliau berumur tujuh tahun, pada malam dua puluh tujuh bulan Ramadhan, beliau tidur di samping ayahnya. Di tengah malam, beliau membangunkan ayahnya. Beliau bertanya, cahaya apakah yang memenuhi rumahnya pada malam itu. Seluruh keluarga yang bangun sendiri tidak melihat apa-apa saat itu. Tapi ayahnya menjawab, “Kamu tahu, bahwa cahaya itu adalah Lailatul Qodar.”
Yang kedua, pada suatu hari, Syekh Yasin bin Yusuf al-Marakisy yang terkenal dengan kewalianya, sedang melewati kota Nawa. Syekh Yasin melihat Imam Nawawi kecil yang masih berumur sepuluh tahun tidak disenangi kawan-kawan sebayanya untuk bermain bersama mereka.
Imam Nawawi kecil menjauh dari mereka dan menangis karena ketidaksukaan itu. Kemudian beliau membaca Al-Qur’an dalam keadaan yang seperti itu. Seketika, Syekh Yasin langsung mencintai anak ini dan berkata pada ahli Qur’an. “Anak ini akan menjadi orang yang paling alim dan zuhud di zamanya. Orang-orang akan memperoleh manfaat darinya.”
Syekh Yasin kemudian ditanya, “Apakah anda seorang peramal?”
“Tidak, sesungguhnya Allah SWT yang membuat saya mengatakan hal itu.” Hal itu kemudian disampaikan pada Ayahnya. Ayah Imam an Nawawi pun menjaga beliau sampai khatam Al-Qur’an.
Tak bisa dipungkiri, bahwa keluasan ilmu an Nawawi disebabkan oleh kecintaan dan pergulatan beliau dengan ilmu. Tapi dari kisah-kisah di atas, bisa diketahui bahwa pondasi yang dibangun di lingkunganya waktu kecil juga sangat berpengaruh. An-Nawawi memiliki ayah yang zuhud dan mampu menghantarkan putranya khatam dan hafal Al-Qur’an. Setelah umur 17 tahun, Ayah an-Nawawi menyuruhnya pergi ke Damaskus untuk menuntut ilmu.
Dalam kisah di atas, disebutkan bahwa Imam an-Nawawi juga tidak mengalami masa kecil yang sempurna karena tidak disukai kawan-kawanya untuk bermain bersama, tapi hal itu malah dijadikan ladang untuk beribadah dan melakukan sesuatu yang bermanfaat. (AN)