Adakalanya seorang prajurit tidak mengerti mengapa perang harus terjadi, tidak paham kenapa peluru harus dimuntahkan. Ia hanya mendapat perintah.
Mungkin itu kecamuk perasaan dalam diri Maeda Tadashi, perwira tinggi angkatan laut Kekaisaran Jepang di Hindia Belanda.
Sebagai orang Jepang yang harus patuh pada titah Sang Kaisar, ia melihat dengan mata hati betapa spirit kemerdekaan begitu kuat menggebu dalam diri orang-orang Indonesia. Maeda tahu betul bahwa kemerdekaan Indonesia harus diperjuangkan.
Maeda adalah sosok orang Jepang yang begitu rupa mencintai Indonesia, seorang penjajah yang mencintai negeri jajahannya.
Kepada para pemimpin pergerakan, Maeda pernah memberi nasehat :”jangan tinggalkan Indonesia karena Indonesia kaya sumber daya alam dan manusia “.
Dan, sejarah mencatat, pada detik-detik Indonesia berdiri, Maeda memberi bantuan yang tidak ternilai. Di Rumah Maeda, sejarah kemerdekaan Indonesia dimulai.
Di rumah ini, Soekarno, Hatta, Ahmad Subardjo, Sayuti Melik, dan para anggota PPKI berkumpul untuk merumuskan teks proklamasi.
Rumah Maeda dipilih karena tempat ini yang paling aman dan tidak mungkin diserbu oleh Kaigun, Angkatan Darat Jepang. Siapa yang berani menyerbu rumah seorang perwira tinggi angkatan laut Jepang?
Mengenai hal ini, Maeda bertutur :”saya menjamin saudara-saudara aman di rumah saya, tetapi tidak di luar rumah karena itu adalah daerah militer ”
Maeda begitu heroik membantu Indonesia untuk menjemput kemerdekaannya.
Moehammad Roem, pahlawan nasional, bertutur dalam otobiografinya :”Maeda adalah orang yang patut dihormati. Ia lebih mendengarkan hati nurani daripada disiplin militer. Pada saat seperti itu, hati nurani yang lebih penting “.
Sejarawan Belanda, de Graff berkomentar liris :”satu-satunya pelaku yang bertindak berani di tepi kehancuran adalah Maeda, yang dengan mendirikan Republik Indonesia, pada saat yang terakhir masih berusaha untuk berjasa bagi tanah airnya yang sudah jatuh ”
Pada diri Maeda kita melihat sosok pahlawan sejati, sosok prajurit Jepang yang berjiwa Samurai.
Laksamana Muda Maeda bukan hanya seorang perwira militer, tetapi ia sekaligus juga seorang negarawan.
Perang adalah sebuah drama tragedi, tetapi dalam perang kita juga sering mendapat kisah keteladanan. Dan, dalam diri Maeda, keteladanan itu hadir.
Ia berperang bukan hanya untuk merebut kemenangan, tetapi juga untuk mencintai kemanusiaan.
Saya tutup tulisan pendek ini dengan sepenggal paragraf dari Bung Karno dalam otobiografinya :
“laksamana Maeda adalah orang yang berpandangan luas, seorang idealis yang taat beragama. Sebagai seorang yang sudah pernah merantau kemana-mana, dan pernah mengunjungi Indonesia sebelum perang, ia dapat memahami cita-cita kami, terutama di saat terakhir yang menentukan ini. Ia keluar dari rumah untuk menguatkan secara pribadi jaminan perlindungannya, akan tetapi, katanya, di luar dinding rumahnya dia tidak bisa bertanggung-jawab. Itu adalah daerah militer.”