Ada banyak cerita perempuan yang berkaitan dengan ekstrimisme kekerasan. Seperti pro-kontra wacana mengenai pemulangan Warga Negara Indonesia (WNI) yang masih hangat dan terus menjadi perbincangan. perempuan jaringan terorisme
Tentu selain karena perempuan masuk dalam kategori kelompok rentan, tren baru pun menyibak fakta bahwa perubahan peran gender mendorong perempuan untuk tidak dipandang sebelah mata, karena bisa menjadi agen ekstrimis yang aktif, terutama dalam hal upaya perekrutan, mobilisasi pendanaan, rahim para syuhada, hingga menjadi mesin pembunuh yang handal.
Dinamika problematika kompleks inilah yang pada akhirnya mendorong Working Group on Women and Preventing/Countering Violent Extremism (WGWC) untuk melakukan konsolidasi gerakan ditingkat nasional dan daerah.
Dalam upayanya untuk menyuguhkan berbagai kebaharuan maupun intervensi dalam isu ini, WGWC pun menggelar pertemuan tahunan dan konferensi nasional yang dilaksanakan pada tanggal 9-10 maret 2020 di Hotel Akmani Jakarta. Khusus untuk konferensi nasional yang dilaksanakan pada tanggal 9 Maret 2020, WGWC mengundang publik perwakilan masyarakat sipil, pemerintah, dan berbagai kelompok yang bekerja di isu perempuan dan ekstrimisme kekerasan. Sedangkan pada tanggal 10 Maret 2020 acara dikhususkan untuk 24 organisasi masyarakat yang aktif menjadi partner WGWC.
Hal yang paling menarik dari sekian sesi yang sudah dijadwalkan oleh WGWC adalah sesi workshop pararel yang mempertemukan sepertiga peserta konferensi nasional dengan perempuan-perempuan yang hidup dalam kungkungan ekstrimisme kekerasan, baik sebagai korban, istri pelaku, maupun sipil returni yang nyaris bergabung dengan ISIS.
Ruangan yang disediakan oleh panitia terasa sesak dan hening mendengar cerita dari setiap pembicara yang sudah pasti mengaduk-aduk emosi. Tidak ada foto maupun video yang diperbolehkan untuk mendokumentasikan sesi ini. Beberapa nama pun disamarkan atas permintaan pembicara.
Sebut saja Rosa, istri mantan napiter yang berusaha untuk bertahan hidup dan menghidupi anak-anaknya setelah suaminya menyerahkan diri kepada pihak berwenang. Selain sempat mengalami kesulitan finansial, ia juga dianggap penghianat dan bekerja sama dengan pemerintah oleh jaringan yang diikuti suaminya.
Tidak hanya itu, setelah kasus suaminya terus ditayangkan tiada henti selama sepekan, selama itu pula ia mematikan media elektronik apapun agar kasus yang menimpa suaminya tidak diketahui oleh anak-anaknya. Ia berusaha untuk memprotek dirinya dan identitas anak-anaknya demi keberlangsungan hidup yang tak lagi mudah untuk dijalani. Meski ia sempat mengalami fase ketika masyarakat takut, jijik, dan menghindar jika bertemu dengannya, namun ia bersyukur masih ada orang-orang yang tergerak hatinya untuk membantunya bangkit dari keterpurukan.
Pembicara kedua sebutlah Dahlia, ia hidup serba kecukupan. Ia memiliki seorang adik yang pintar dan kritis bernama Wardah. Suatu hari saat liburan sekolah, Wardah melihat Dahlia sangat anggun dalam balutan busana muslimah “syar’i”. Wardah pun mengajak ibunya untuk berpakaian seperti Dahlia.
Wardah juga senang membaca, oleh karena itu ibunya membelikannya buku-buku kisah nabi. Sayangnya, semakin sering membaca, Wardah semakin kebingungan dan resah karena ia sering membandingkan kisah pada jaman Rasulullah dengan kenyataan saat ini. Ia resah dan ingin berdiskusi, namun karena orang tuanya sibuk, ia pun mencari-cari jawaban dari setiap pertanyaan di sosial media dan berujung dengan ketertarikannya untuk bergabung dengan ISIS di Syiria.
Singkat cerita, Wardah akhirnya mampu membawa 26 anggota keluarganya ke Syiria termasuk Dahlia. Sayangnya, apa yang ia dapatkan dari sosial media sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang dihadapinya. Bahkan ia hidup dalam penampungan yang gaduh dan kotor. Janji-janji seperti hidup sejahtera, hidup penuh senyum salam sapa, penggantian biaya keberangkatan, biaya hidup gratis pun tidak ada yang ditepati karena tidak ada laki-laki dalam rombongan anggota keluarganya yang bersedia bergabung dengan ISIS.
Bahkan perempuan dari anggota keluarga mereka juga harus ikut pendataan untuk dinikahkan oleh anggota ISIS. Perempuan yang masih gadis dan janda dipisahkan, kemudian anggota ISIS yang ingin menikah hanya perlu menyebut nama dari daftar tersebut tanpa harus menjalani proses ta’aruf. Tidak tanggung-tanggung, jika mereka dilamar pagi hari, maka jawabannya harus ada saat sore hari. Selain itu, anggota ISIS yang berhasil menikahi perempuan yang ada di daftar tersebut mendapatkan uang senilai 5000 dolar untuk gadis dan 10000 dolar untuk janda.
Dahlia dan Wardah pun mencoba untuk mencari cara agar dapat pulang kembali ke Indonesia. Beruntungnya setelah dua kali gagal dan ditipu, akhirnya mereka bertemu kelompok yang dapat menyelundupkan mereka dan bisa keluar dari jeratan ISIS dengan membayar sebanyak 4000 dolar ke kelompok tersebut.
Setelah mengungsi di pengungsian PBB dan dijemput oleh Kemenlu serta menjalani proses deradikalisasi, akhirnya mereka pun kembali ke Indonesia dan berjuang menata hidup baru. Kini Wardah melanjutkan sekolahnya dan Dahlia menjadi salah satu komikus di sebuah web dengan konten-kontennya yang selalu ia kaitkan tentang pencegahan terorisme.
Pembicara yang terakhir adalah Melati, salah satu korban akibat pengeboman yang terjadi di sekitar kawasan Kuningan. Akibat tindakan ekstrim tersebut, ia berkali-kali harus menjalani pengobatan dan operasi serta perawatan agar fisiknya dapat kembali pulih meski tidak seperti sedia kala. Melati bercerita bahwa ia cukup mengalami trauma meski tragedi tersebut telah berlalu bertahun-tahun.
Sempat ada seseorang yang bertanya padanya apakah ia sudah berdamai dengan masa lalunya (masa saat pengeboman terjadi) dan ia menjawab tidak ada yang salah dengan masa lalu saya. Namun setiap kali ia melihat tayangan ditangkapnya seorang maupun sekelompok teroris, saat itu pula ia selalu gembira dan bertepuk tangan. Bahkan ia selalu berharap agar teroris tersebut dihukum mati atau dihukum di depan korbannya.
Ia juga pernah berfikir untuk dapat melukai kelompok tersebut dan memberi mereka larutan air garam. Ternyata kejadian tersebut menimbulkan trauma seperti gunung es baginya. Pada akhirnya Melati berusaha untuk healing and dealing, berdamai dan memaafkan masa lalunya. Bukan karena siapapun, ia melakukan hal tersebut kecuali untuk dirinya sendiri agar tenang dan menjadi perempuan baru dengan kehidupan yang lebih baik.
Dari sesi workshop pararel ini, tidak hanya membaca trend baru dan mendengarkan untold story dari para pembicara, tetapi peserta dapat mengambil pembelajaran penting dan tantangan yang dihadapi dalam mengambil keputusan terkait upaya preventif, kontra radikalisme, rehabilitasi dan reintegrasi, serta menggerakkan komunitas pop culture yang berpotensi menjadi gerakan alternatif di Indonesia. (AN)