Sebagai sebuah ibadah spiritual-individual, haji merupakan ibadah yang bersifat personal. Termasuk di dalamnya adalah pengalaman-pengalaman spiritual jemaah haji yang berbeda-beda antara satu jamaah dengan jamaah lainnya.
Salah satu kisah pengalaman haji yang akan disuguhhkan di bawah ini adalah kisah perjalanan haji KH. Mustofa Bisri alias Gus Mus. Saat menunaikan haji yang diceritakannya di dalam buku Haji Sebuah Perjalanan Air Mata; Pengalaman Ibadah Haji 30 Tokoh, Gus Mus adalah seorang mahasiswa di Universita al-Azhar, Kairo. Berikut sepenggal kisah yang dituturkannya:
Sesungguhnya niat untuk menunaikan ibadah haji sudah lama muncul dalam diri saya. Namun, karena keterbatasan yang ada di dalam diri saya, niat itu baru kesampaian tahun 1970. Hal ini pun terjadi secara kebetulan. Saat itu saya masih belajar di Universitas Al Azhar , Kairo. Namun perlu di ketahui bahwa besarnya beasiswa yang saya terima hanya pas–pasan. Ibarat untuk membeli rokok saja tidak cukup. Dengan kondisi seperti ini sulit rasanya saya mampu menunaikan ibadah haji.
Namun dorongan untuk menunaikan ibadah haji selalu saja muncul. Apalagi saat itu saya berada di Mesir. Dengan uang yang pas–pasan saya nekat berangkat ke Tanah Suci. Saya berpikir sederhana saja, pokoknya sampai di Arab Saudi dulu. Selanjutnya saya akan bekerja sebagai tenaga musiman di Kedubes RI di Jedah. Lumayanlah dapat uang saku. Saya diterima menjadi tenaga musiman. Saya pun dapat menunaikan ibadah haji yang pertama.
Pertama melihat Ka’bah, saya merasakan sesuatu yang sulit diungkapkan oleh kata–kata. Tanpa sadar air mata saya mengalir deras menikmati kebesaran Allah. Berenang di lautan manusia dari berbagai bangsa, ada ketakutan luar biasa dalam diri saya. Betapa tidak berharganya saya di hadapan Allah. Sulit diungkapkan dengan kata – kata. Namun saya bisa merasakannya.
Ketika menunaikan ibadah haji pertama tersebut saya mendengar kabar bahwa ibu dan adik saya juga beribadah haji. Sebagai anak, saya terpanggil untuk menemui ibu dan adik saya. Bagi saya mencari ibu dan adik bukanlah persoalan yang sulit. Bukankah saya seorang staf Kadubes ? akan tetapi menemukan ibu dan adik saya di tengah lautan manusia bukanlah persoalan yang gampang. Pada awalnya saya berpikir, untuk menemukannya saya tinggal mencari kemah-kemah jamaah Indonesia. Karena kemah jamaah Indonesia mudah sekali. Jika ada kemah bendera merah putih, dapat di pastikan kalau itu adalah jamaah Indonesia. Tetapi hampir semua perkemahan yang memasang bendera merah putih yang saya datangi, ternyata yang saya cari tidak ketemu juga.
Berhari – hari saya mencari dan terus mencarinya. Saya tidak tahu berapa kali saya wira – wiri Makah – Madinah. Mencari dan terus mencari. Namun yang saya cari tidak juga ketemu. Saya bingung. Cara apa lagi yang akan saya tempuh untuk menemukan ibu saya? Usai melempar Jumrah di Padang Arafah, saya berdoa kepada Tuhan. Doanya sepele saja. Saya tidak menggunakan bahasa Arab , tetapi bahasa Jawa. Saya menilai bahwa Tuhan akan memahami apa yang saya sampaikan, sekalipun saya mengajukan permohonan dalam bahasa Jawa . Saya memohon kepada Tuhan agar dipertemukan dengan ibu dan adik saya.
Dari padang Arafah saya berjalan- jalan. Terus berusaha menemui ibu dan adik saya. Saya berjalan di sekitar Arafah di tengah sengatan matahari. Lama – lama saya kepayahan juga. Saya kemudian beristirahat di depan sebuah rumah. Seorang Syeh datang menghampiri saya. Setelah berbasa – basi sebentar, saya menanyakan siapa saja jamaah yang tinggal dirumahnya . Dia menyebut jamaah dan asal negaranya. Ketika menyebut nama Indonesia, spontan saya meminta izin untuk menengoknya. Tuhan mengabulkan doa saya. Saya bisa menemukan ibu dan adik saya di tempat tersebut.
Doa Minta Duit
Banyak pengalaman unik yang saya temukan ketika menunaikan ibadah haji pertama. Hal serupa mendorong saya untuk melaksanakan ibadah haji lagi di kemudian hari. Pengalaman – pengalaman batin yang mendalam telah saya terima. Disamping pengalaman – pengalaman fisik, bisa bertemu ibu, merupakan suatu kenikmatan tersendiri. Proses panjang menemukan ibu, juga merupakan pengalaman yang mendalam baPengalaman lain yang saya temukan dalam ibadah haji yang pertama adalah kesulitan saya ketika pelaksanaan ibadah haji berakhir. Saya kebingungan, bagaimana saya harus pulang.
Memang selama saya menjadi petugas musiman Kedubes RI, saya mendapatkan uang saku. Namun uang tersebut telah habis digunakan untuk wira – wiri Makah – Madinah untuk mencari ibu saya. Sementara itu ketika berangkat haji kawan – kawan saya menitipkan sesuatu. Ada diantara mereka yang telah memberikan uang kepada saya. Saya dihadapkan kepada persoalan yang begit pelik. Saya bisa pulang tetapi tidak membawa oleh – oleh. Saya benar – benar bingung, Saya membutuhkan uang sekitar 300 Riyal. Pilihan yang gampang adalah menjual cincin yang saya miliki. Cincin itu nilainya 300 Riyal. Ketika saya tawarkan kepada pedagang di sana, mereka hanya menawar 100 Riyal. Tampaknya orang Arab mengetahui siapa saya. Hingga mereka menawar murah. Saya kebingungan sekali. Saya kemudian teringat doa sepele saya yang dikabulkan Tuhan untuk bertemu dengan ibu saya. Tanpa merasa sungkan lagi, saya berdoa. Sederhana saja saya meminta duit kepada Tuhan. Saya tidak merasa risih dengan doa sepele itu. Tuhan mengabulkan doa saya, saya tidak sadar Tuhan telah membimbing saya untuk mendapatkan uang itu. Ketika berjalan – jalan di Jabal Qubas saya dihentikan oleh seseorang. Tampaknya dia tertarik dengan cincin saya. Cincin itu di bayar 600 Riyal , dua kali lipat dari yang saya harapkan, dan saya terbebas dengan persoalan pulang dan oleh – oleh. Doa saya terkabul.
*) Umi Hani, mahasiswi IAIN Syekh Nurjati Cirebon
**) Disarikan dari buku Haji Sebuah Perjalanan Air Mata (Pengalaman Beribadah Haji 30 Tokoh), Mustofa W. Hasyim & Ahmad Munif, (Yogyakarta: Bentang, 1993)