Ketika kita wafat, segalanya telah usai. Tapi kisah jenazah ini beda. Diriwayatkan dari Abu Yahya An-Naqidi bahwa ia mendengar al-Hasan bin al-Jarawy berkisah:
Satu saat aku melewati pekuburan saudara perempuanku, kemudian aku membaca Surat Tabarak (Surat Al-Mulk, red) di samping pusaranya. Belum juga aku selesai membacanya, tiba-tiba datang kepadaku seorang lelaki yang berkata:
“Sesungguhnya aku melihat saudara perempuanmu di dalam mimpiku. Ia berkata, ‘semoga Allah membalas kebaikan Abu Ali dengan sebaik-baiknya balasan’.”
Ya, Abu Ali yang dimaksud tak lain adalah al-Hasan bin al-Jarawy itu sendiri. Hal ini kemudian menjadi hujjah bahwa sesungguhnya orang yang sudah meninggal tetap dapat memperoleh kemanfaatan melalui media amal shalih yang dilakukan orang yang masih hidup. Baik itu keluarga, kerabat maupun orang lain yang mungkin mengenal si mayit (orang mati). Dengan cara meniatkan amal baik tersebut untuk kemudian pahalanya dihadiahkan kepada si mayit.
Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani dalam kitabnya, Tahqîqul Amal fî Mâ Yanfa’ul Mayyita minal A’mâl memberikan pemahaman lewat sebuah hadits shahih yang berbunyi:
أَنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ
“Bahwa sesungguhnya mayit itu dapat disiksa sebab tangisan keluarganya.”
Hadits di atas menunjukkan bahwa ternyata orang yang masih hidup itu dapat memberikan pengaruh siksa kepada si mayit atas kuasa Allah. Sedang Allah adalah Dzat yang mahapengasih. Jika Allah memberikan adzab siksa kepada si mayit sebagai konsekuensi dari perbuatan keluarganya di dunia, maka bukankah mungkin jika Allah juga menyampaikan kenikmatan kepada si mayit sebab amal shalih yang dilakukan keluarganya? Demikianlah mafhum mukhalafah (logika sebaliknya) yang dipaparkan oleh Abuya Sayyid Muhammad al-Mliki.
*Bisa juga dibaca selengkapnya di sini